Dalam
skedul Kamis kemarin, pagi saya ada interview di Kedubes AS untuk visa.
Multiple visa lima tahun sudah habis jadi harus apply baru. Karena undangan
bisnis di perusahaan PT Titis Sampurna, saya mewakili dan mengharuskan
berangkat ke New York, Washington DC, Vegas dan LA dari tanggal 20-28 September
ini. Sebuah perjalanan yang padat mengingat Jakarta-New York ditempuh bisa 24
jam dan yang males membayangkannya adalah 24 jam tinggal di dalam pesawat.
Gara-gara
perjalanan ini saya jadi keinget tahun terakhir sahabat saya yang bekerja di
New York University sebelum pindah ke Yale University di tahun 2003 yaitu
Professor Jhon Bargh. Di mana saya waktu itu diundang sebagai salah seorang
responden untuk salah satu riset yang dilakukannya. Sebagai seorang guru besar
psikologi di sana Jhon dikenal dengan sebuah experiment bernama “Bargh Hallway
Theory”. Karyanya demikian terkenal dan saya sangat bangga sebagai sahabatnya
dipercayai untuk ikut di salah satu risetnya tersebut. Karyanya ini juga
ditulis oleh Malcolm Gladwell dalam buku Blink sehingga menjadi mendunia.
Risetnya
ini sederhana. Yaitu menguji kekuatan kata-kata yang
berefek pada tubuh manusia. Dalam riset Bargh, dia bereksperimen terhadap empat
puluh mahasiswa yang telah bersedia melakukan hal yang diperintahkannya untuk
mengulangi dan berkata-kata pada diri sendiri selama tiga puluh hari. Atau
kalau disederhanakan disuruh melakuakn selftalk, bicara dengan diri sendiri
selama tiga puluh hari.
Dari
empat puluh mahasiswa dibagi dua kelompok. Kelompak A dan B. Kelompok A adalah kelompok yang
selama tiga puluh hari selama bangun dan aktif setiap saat harus berkata pada
diri sendiri hal-hal yang baik, yang positif, yang menyenangkan. Misalnya :
hidup indah, hidup enak, cuaca menyenangkan, rezeki lancar, selalu sehat, Tuhan
baik, pemerintah benar, kerja gampang, sehat, lucu asyik, apa pun kata-kata
yang berkonotasi fun, positif, diucapkan diulang-ulang selama tiga puluh hari.
Kelompok
B. Setiap hari mengatakan hal yang negatif, yang sulit, yang tidak
menyenangkan, misalnya Tuhan jahat, memang nasib susah, kerjaan sulit, jaman
gila, pemerintah korup, bangsa bejat, sialan, brengsek, cari kerja susah, jalan
macet, sampah di mana-mana, pemimpin tolol, malas, semua hal yang memberi kesan
marah, kesal, bĂȘte, galau semua dikatakan berulang-ulang selama tiga puluh
hari.
Di
hari ketiga puluh mereka diperintahkan untuk datang ke kampus antara jam
10.00-13.00. Sepanjang hallway (koridor) disiapkan kamera banyak, karena ada
seratus koresponden dari beragam latar belakang hadir untuk menilai. Kita bisa
melihat via monitor, via kaca cermin, yang semua tidak diketahui para peserta.
Saya termasuk di antara seratus koresponden di tahun 2003 tersebut.
Kami
tidak tahu mana yang kelompok A mana yang kelompok B. Kami hanya dikasih kertas
yang ada gambar foto peserta berseta nama, di sana ada dua kolom A dan B. Kita
hanya disuruh melihat gerakan mereka dan menuliskan apa perasaan pada saat itu.
Kira-kira mereka dari kelompok mana. Dicontreng saja A atau B. Sangat
sederhana.
Selama
tiga jam kami berseratus menilai setiap mahasiswa yang jalan melalui koridor
panjang tersebut. Setelah selesai kertas review dikumpulkan dan kami lunch.
Selesai lunch seratus jawaban kami disorotkan ke layar LCD projector. Apa yang
terjadi?!
Kami
berseratus menebak empat puluh peserta tersebut mana yang dari A atau B dengan
ketepatan 100 persen! Kami semua kaget namun kalau dipikir-pikir ekspresi dan
aura atau citra diri mereka demikian jelas terbaca. Kekumuhan pancaran wajah
peserta demikian jelas tergambar, padahal dia pada saat datang menggunakan
three pieces suit atau jas tiga lapis yang perlente. Kesuraman pancaran
tersebut mudah sekali diputuskan bahwa dia dari kelompok B. Di sisi lain lagi
pancaran gloomy atau kilauan wajah berbinar dari salah seorang peserta walau
dia hanya mengenakan jeans dan kaos oblong demikian jelas terlihat sehingga
mudah mengkonfirm bahwa dia dari kelompok A.
Melihat
ketepatan tersebut banyak responden bertanya-tanya mengapa bisa terjadi begini,
termasuk saya yang sangat antusias. Jhon menjelaskan dengan sederhana yang
disederhanakan.
Manusia
memiliki satu satu triliun sel, setiap hari mati kira-kira tiga puluh milyard
sel sehingga di hari ketiga puluh manusia itu berbeda sel dengan tiga puluh
hari yang lalu (note: catatan aslinya sel tersebut billion nano jumlahnya).
Dalam tiga puluh hari tersebut sel yang mati tersebut diganti atau tumbuh sel
baru. Pada saat sel baru itu bertumbuh sel tersebut netral sifatnya. Kita
manusia bisa menulis apa pun
di sel itu dengan pikiran dan kata-kata. Maka kalau dalam tiga puluh hari kita
mengatakan hal yang negatif berulang-ulang tanpa jeda membuat tubuh kita — sel
baru — bereaksi sesuai apa database dituliskan sehingga orang tersebut beraura
kumuh, butek, suram, tidak menyenangkan dan lain sebagainya.
Di
sisi lain kalau selama tiga puluh hari ditulis database yang positif hasilnya
ya positif. Wajah menjadi bersinar, kulit terang, ceria, auranya menyenangkan,
dan kita menjadi ingin dekat dengan orang tersebut. Demikian John menceritakan
dengan versi simple-nya.
Lalu
dalam hati saya berkata, rasanya di ajaran agama semua mengajarkan hal ini deh,
berdzikir, mengingat Tuhan. Bahkan di bulan Ramadhan kalau benar-benar tiga
puluh hari melakukan subconscious reprogramming seperti ini semua orang bisa
menjadi “fitri”,
manusia baru tentunya. Dan setiap agama punya hal ini, bahkan di Islam lebih
jelas namun saya selaku pribadi nggak ngerti sampai John Bargh mengurai dari
sisi science kayak gini. Yah, dasar manusia seperti saya ini memang keminter,
sok pinter. Apa-apa harus logika masuk baru percaya, padahal... mbok percaya
aja ajaran para nabi dan kekasih Alloh
selesai semua hal negatif ya…