Rabu, 28 Oktober 2015

BARGH HALLWAY THEORY



Dalam skedul Kamis kemarin, pagi saya ada interview di Kedubes AS untuk visa. Multiple visa lima tahun sudah habis jadi harus apply baru. Karena undangan bisnis di perusahaan PT Titis Sampurna, saya mewakili dan mengharuskan berangkat ke New York, Washington DC, Vegas dan LA dari tanggal 20-28 September ini. Sebuah perjalanan yang padat mengingat Jakarta-New York ditempuh bisa 24 jam dan yang males membayangkannya adalah 24 jam tinggal di dalam pesawat.
Gara-gara perjalanan ini saya jadi keinget tahun terakhir sahabat saya yang bekerja di New York University sebelum pindah ke Yale University di tahun 2003 yaitu Professor Jhon Bargh. Di mana saya waktu itu diundang sebagai salah seorang responden untuk salah satu riset yang dilakukannya. Sebagai seorang guru besar psikologi di sana Jhon dikenal dengan sebuah experiment bernama “Bargh Hallway Theory”. Karyanya demikian terkenal dan saya sangat bangga sebagai sahabatnya dipercayai untuk ikut di salah satu risetnya tersebut. Karyanya ini juga ditulis oleh Malcolm Gladwell dalam buku Blink sehingga menjadi mendunia.
Risetnya ini sederhana. Yaitu menguji kekuatan kata-kata yang berefek pada tubuh manusia. Dalam riset Bargh, dia bereksperimen terhadap empat puluh mahasiswa yang telah bersedia melakukan hal yang diperintahkannya untuk mengulangi dan berkata-kata pada diri sendiri selama tiga puluh hari. Atau kalau disederhanakan disuruh melakuakn selftalk, bicara dengan diri sendiri selama tiga puluh hari.
Dari empat puluh mahasiswa dibagi dua kelompok. Kelompak A dan B. Kelompok A adalah kelompok yang selama tiga puluh hari selama bangun dan aktif setiap saat harus berkata pada diri sendiri hal-hal yang baik, yang positif, yang menyenangkan. Misalnya : hidup indah, hidup enak, cuaca menyenangkan, rezeki lancar, selalu sehat, Tuhan baik, pemerintah benar, kerja gampang, sehat, lucu asyik, apa pun kata-kata yang berkonotasi fun, positif, diucapkan diulang-ulang selama tiga puluh hari.
Kelompok B. Setiap hari mengatakan hal yang negatif, yang sulit, yang tidak menyenangkan, misalnya Tuhan jahat, memang nasib susah, kerjaan sulit, jaman gila, pemerintah korup, bangsa bejat, sialan, brengsek, cari kerja susah, jalan macet, sampah di mana-mana, pemimpin tolol, malas, semua hal yang memberi kesan marah, kesal, bĂȘte, galau semua dikatakan berulang-ulang selama tiga puluh hari.
Di hari ketiga puluh mereka diperintahkan untuk datang ke kampus antara jam 10.00-13.00. Sepanjang hallway (koridor) disiapkan kamera banyak, karena ada seratus koresponden dari beragam latar belakang hadir untuk menilai. Kita bisa melihat via monitor, via kaca cermin, yang semua tidak diketahui para peserta. Saya termasuk di antara seratus koresponden di tahun 2003 tersebut.
Kami tidak tahu mana yang kelompok A mana yang kelompok B. Kami hanya dikasih kertas yang ada gambar foto peserta berseta nama, di sana ada dua kolom A dan B. Kita hanya disuruh melihat gerakan mereka dan menuliskan apa perasaan pada saat itu. Kira-kira mereka dari kelompok mana. Dicontreng saja A atau B. Sangat sederhana.
Selama tiga jam kami berseratus menilai setiap mahasiswa yang jalan melalui koridor panjang tersebut. Setelah selesai kertas review dikumpulkan dan kami lunch. Selesai lunch seratus jawaban kami disorotkan ke layar LCD projector. Apa yang terjadi?!
Kami berseratus menebak empat puluh peserta tersebut mana yang dari A atau B dengan ketepatan 100 persen! Kami semua kaget namun kalau dipikir-pikir ekspresi dan aura atau citra diri mereka demikian jelas terbaca. Kekumuhan pancaran wajah peserta demikian jelas tergambar, padahal dia pada saat datang menggunakan three pieces suit atau jas tiga lapis yang perlente. Kesuraman pancaran tersebut mudah sekali diputuskan bahwa dia dari kelompok B. Di sisi lain lagi pancaran gloomy atau kilauan wajah berbinar dari salah seorang peserta walau dia hanya mengenakan jeans dan kaos oblong demikian jelas terlihat sehingga mudah mengkonfirm bahwa dia dari kelompok A.
Melihat ketepatan tersebut banyak responden bertanya-tanya mengapa bisa terjadi begini, termasuk saya yang sangat antusias. Jhon menjelaskan dengan sederhana yang disederhanakan.
Manusia memiliki satu satu triliun sel, setiap hari mati kira-kira tiga puluh milyard sel sehingga di hari ketiga puluh manusia itu berbeda sel dengan tiga puluh hari yang lalu (note: catatan aslinya sel tersebut billion nano jumlahnya). Dalam tiga puluh hari tersebut sel yang mati tersebut diganti atau tumbuh sel baru. Pada saat sel baru itu bertumbuh sel tersebut netral sifatnya. Kita manusia bisa menulis apa pun di sel itu dengan pikiran dan kata-kata. Maka kalau dalam tiga puluh hari kita mengatakan hal yang negatif berulang-ulang tanpa jeda membuat tubuh kita — sel baru — bereaksi sesuai apa database dituliskan sehingga orang tersebut beraura kumuh, butek, suram, tidak menyenangkan dan lain sebagainya.
Di sisi lain kalau selama tiga puluh hari ditulis database yang positif hasilnya ya positif. Wajah menjadi bersinar, kulit terang, ceria, auranya menyenangkan, dan kita menjadi ingin dekat dengan orang tersebut. Demikian John menceritakan dengan versi simple-nya.
Lalu dalam hati saya berkata, rasanya di ajaran agama semua mengajarkan hal ini deh, berdzikir, mengingat Tuhan. Bahkan di bulan Ramadhan kalau benar-benar tiga puluh hari melakukan subconscious reprogramming seperti ini semua orang bisa menjadi “fitri”, manusia baru tentunya. Dan setiap agama punya hal ini, bahkan di Islam lebih jelas namun saya selaku pribadi nggak ngerti sampai John Bargh mengurai dari sisi science kayak gini. Yah, dasar manusia seperti saya ini memang keminter, sok pinter. Apa-apa harus logika masuk baru percaya, padahal... mbok percaya aja ajaran para nabi dan kekasih Alloh selesai semua hal negatif ya