Rabu, 28 Oktober 2015

“Di Hati yang damai akan banyak mengundang tawa dan teman”

Otak manusia di takdirkan untuk sebuah format “continues connection” atau berkesinambungan. Jadi kalau ada hal yang “break pattern” perusak pola banyak terjadi (walau untuk sementara waktu) otak manusia jadi “hang”.
Mungkin ini yang terjadi juga dengan saya minggu lalu. Ketika sedang dalam rapat untuk bidang yang lain tahu-tahu mendapat telfon dari mitra saya , yang tentunya saya tidak angkat kerena di tengah pertemuan yang penting dan bidang yang lain.
Ketika berkesempatan untuk menghubunginya maka kalimat me,uncur dari sisi dirinya adalah, bagaimana kalau perusahaan kita PT E kita jual? Sekarang, saya mau “cut and switch” bisnis. Saya faham sekali istilah cut and switch itu. Itu istilah di dunia bursa saham atau pasar uang. Dimana anda dalam posisi tertentu, misalnya anda membeli saham Apple Inc kemudian anda cut (posisi psti merugi) lalu pindah ke saham Airbnb misalnya .
Dalam cut and switch posisi bisasanya analisa terbaru adalah, apa yang anda pegang sekarang tidak terlalu baik dengan apa yang akan anda pegang.
Dalam bisnis kita tidak boleh “jatuh” cinta pada bisnisnya, pada lokasinya, atau apapun. Sangat wajib anda mencintai bisnis anda tapi jangan “jatuh”, jatuh cinta. Yang membuat anda rugi biasanya anda terlalu cinta atau jatuh cinta. Sulit anda move on kalau begitu. Melakukan cut and switch jadi "mission imposible", jadi tidak memungkinkan.
Anda harus lebih “fall” in love pada profit. Karena itu tujuan berbisnis , mendapatkan keuntungan. Sekali lagi, tujuan berbisnis adalah mendapatkan keuntungan. Lalu memamfaatkan keuntung itu urusan lain lagi. Anda mau zakatkan 100% adalah hak anda. Tapi jangan di tengah bisnis lalu anda putuskan “membuang” keuntungan. Di ujung bisnis baru anda lakukan, apa yang akan anda lakukan untuk uang anda.
Jadi taat dengan keuntungan itu poinnya. Cut and switch adalah istilah anda dalam kondisi saat ini pasti rugi sedikit, kalau anda terlalu mencitai maka bagaimana bisa switch dan ini terjadi dengan saya. partner saya memiliki saham mayoritas, dan saya yang membangun dari awal. Ini “baby” saya. saya membangun dan merancang sejak awal. Saya tahu “mur baut” terdalamnya. Lalu di suruh menjual?!
Saya gamang, saya bimbang.
Alasana mitra saya menjual dia memerlukan fresh money untuk bisnis utamanya. Alasan saya tidak mau menjual saya merasa ini bukan saat yang tepat melepas asset dan asset tersebut masih punya “up side “ yang sangat bagus dalam 3 tahun kedepan. Saya memilih “hold” menahan.
Tapi dalam terfon mitra saya tersebut dia menjawab dengan lugas, mas..kayaknya kamu terlalu mencintai PT E ini. Percaya realitas deh. Percaya feeling intuisi saya. ini harus di lepas. Saya pindah, kamu “move on” juga.
Ini hal yang mmebuat saya” hang”. Rapat yang saya hadiri bukan rapat bisnis. Ini adalah rapat yang memerlukan ketrampilan analisis saya di lembaga Negara. Saya memberikan waktu 1 hari dalam 1 bulan untuk dunia ini. Dan sudah saya lakukan selama 15 tahun ini. Sedikit kontribusi buat NKRI. Ketika saya berada di sebuah tempat saya kan total. saya “player” sekali. Dalam continues connection pattern otak saya ini mendadak harus beralih ke bisnis itu sulit. Saya tidak bisa jawab, namun saya faham situasinya.
Saya tidak bisa mengambil keputusan final. Walau di paksa untuk menjawabnya. Dan kalau tidak ada jawaban dari saya di apunya hak voting mayoritas ownership. Dia bisa berjalan dengan keputusannya. Terlepas saya setuju atau tidak setuju. Dia pun bisa melepas porsi kepemilikannya saja. Saya bisa-bisa punya mitra baru yang saya tidak kenal. Persis seperti nikah di jodohin. Iya kalau dapat yang berakhlak baik, kalau tukang kawin khan repot.
Lalu dalam "diam" sejenak saya, diujung telpon tersebut dia bertanya, mas..ini bisnis modalnya kecil, iya khan? Saya jawab iya. Terus ini juga bukan bidang yang kita faham banget, benar khan? Saya jawab iya. Kita sudah untung khan secara pembukuan? Saya jawab iya. Sekarang ekonomi lagi lesu, mas sejutu ya? , yang saya jawab, iya sih. Mas khan perlu juga dong “sedikit fulus” lebihan, bener ya..yang saya jawab, ya pastilah namanya juga kebutuhan , ngak pernah cukup.
Nah, kalau begitu setuju dong kita jual. Saya bisa focus ke bidang utama , dan mas juga bisa “move on” yang lebih produktif lagi, bener khan?..iya sihm saya jawab walau otak berlapis lapis pertanyaan didalamnya. Jadi setuju ya..ok, see u. klik. Telfon di tutup,
Saya melonggo. Saya tadi bilang apa ya? Kayaknya saya ngak setuju tapi kok saya bilang iya ya?!!!.
Saya geleng-gelang kepala ngak percaya atas apa yang barusan saya lakukan. Saya terprogram kalimatnya. Dipakai tehnik continues connection untuk memprogram otak saya, dia tahu manusia otaknya berpola kontinyu. Hadeh, ya sudahlah. Saya hanya geleng-geleng kok bisa saya “kalah” argument.
Saya teringat pola pikiran ini ketika ber experiment di kampus dulu. Saya dengan jhon Gig bawa kamera. Besar banget walaupun ngak nyala. Kami tanya kepada setiap orang yang lewat di downton dalam rush hour siang hari. Lunch time. Apakah anda mau memberi tahu berapa “income” tahunan anda? Atau beraoa gajih anda. Dan dari puluhan responden kami hanya mendapatkan 15% yang mengatakan yes, I would. Atau setuju mengetakan berapa gajihnya ke public, ketelevisi.
Lalu kami tidak merubah pertanyaan, namun merubah “cara” bertanyanya. Teknik ini bernama “nodding effect”. Nodding atau mengangguk memeiliki arti harafiah sebagai ya atau yes.
Jadi kami bertanya hal yang sama dengan gerakan “fisik” wajah dan badan sedikit menganguk. Hi sir, nice tie you have , kami mengangguk, dia mengangguk lalu kami bertanya, this is tv survey, do you agree to tell us how much your salary?
Ternyata nooding effect memberikan jawabanya berlawanan dengan pertanyaan yang sama namun kita berdiri kaku, stiff. Mengangguk angguk sambil tersenyum dan bertanya membuat respond mengiyakan. Mau membeberkan rahasia dapurnya. Hampir 80% menyatakan, ya, kami bersedia memberikan informasi gajih bulanan saya di televise ( public).
Hal inilah yang dilakukan pebisnis handal mitra saya tersebut ketika di telfon. Dia membuat pertanyaan yang saya hanya bisa jawab, ya, ya, ya (nodding). Sehingga ketika dia memberikan pertanyaan terakhir itu bukan pertanyaan (sebenarnya), itu adalah "ide" dia, jual perusahaan ya? ( itu bukan oertanyaan khan) tapi otak saya lagi "di runut oleh dia". Saya jawab iya, karena “iya” adalah continues connection di kepala saya.
Jadi, bagi sahabat pebisnis yang membaca tulisan ini silahkan pakai sedikit ilmu ini untuk tujuan kebaikan bersama. Untuk para jomblo silahkan pakai untuk merubah status. namun, awas bagi yang sudah punya pasangan, jangan pikir macem-macem ya. Ini ramadhan. # may pece be upon us.