Rabu, 28 Oktober 2015

DESIGN ULANG RUMAH




Saat ini saya sedang terfikir untuk menambah ruang di rumah kami kafiah sebenarnya karena kami mempunyai anak empat dan mereka semakin besar. Besar dalam arti harfiah sebenarnya fisiknya membesar. Dulu keempatnya adalah anak-anak dengan ukuran anak, namun dua anak kami pertama sudah SMA dalam waktu cepat. Tahu-tahu kalau keempat anak ini sedang jalan saja di rumah, terasa rumah menjadi penuh.
Saya dan istri sampai mbatin, “Kok kayaknya rumah ini sesak banget. Ke mana-mana ada orang ya?!”
Melihat aktivitas keseharian anak saja sudah ribet banget. Pagi hari yang kakak-kakaknya sudah gedebukan sejak jam lima. Lalu kedua adiknya jam delapan masuk sekolah sehingga sesi berikut setelah kakaknya mandi dan siap-siap adiknya mulai aktif.
Lalu saya mulai bergerak jam 8.30 ngantor. Jam 11.30 si bungsu Malkia pulang sekolah, jam 12. 30 Chevo pulang. Jam 13.00 Malkia les balet, jam 14.00 Chevo les musik. Jam 15.00 kakaknya pulang. Lalu ada yang futsal, les Bahasa Inggris, les masak dan lain sebagainya. Setiap hari aktivitas kayaknya banyak sekali dan crowded. Untuk itu menambah ruangan salah satu solusi.
Dengan lahan terbatas maka penambahan ruang yang dimungkinkan hanya ke atas. Saya memanggil sahabat arsitek saya — Mas Uke — untuk me-design dan merancang bangunan. Hasilnya...
“Mas, kayaknya nggak mungkin Anda membuat lantai di atas tanpa membongkar pondasi bawah. Bahkan pondasi inject saja tidak kuat. Rumah ini rumah lama. Bangunan berdiri mungkin tahun 1970-an akhir atau 1980-an awal. Berdasar hasil tes bangunan membuktikan hal itu,” Mas Uke menjelaskan.
“Membongkar pondasi sama dengan membuat baru,” kata saya dalam hati. Sementara memiliki ruang tambahan adalah sebuah keniscayaan, keharusan. Anak-anak tumbuh dewasa. Privasi semakin tinggi. Mereka memerlukan space sendiri untuk bertumbuh. Ruang beraktivitas, musik, perpustakaan, ruang kerja, dan lainnya sudah harus ada.
“Kalau dipaksa dibangun, garansi rubuh, Mas. Saran saya bangun baru, bongkar struktur yang ada, design sesuai kebutuhan dan masa depan rumah berserta perkembangannya yang panjang sesuai dengan isi penghuni rumah,” Mas Uke memberikan saran. “Memang biaya menjadi naik, memang menjadi rumit, bahkan penghuni harus pindah dulu. Ada waktu terbuang, ada tenaga ekstra, ada biaya ekstra , namun ini jauh lebih efektif, lebih benar.”
Kepala saya masih belum bekerja dengan baik, harus siapkan dana, siapkan sarana lain untuk pindah sementara, dan banyak hal berkelebatan di kepala. Atau kami memilih seperti ini saja. Setiap hari rebutan kamar mandi. Suara bising kakak mengganggu adik, suara adik mengganggu suasana belajar kakak. Bau masakan masuk ke kamar dan banyak lagi hal yang tidak nyaman.
Memilih mengganti pondasi untuk bangunan baru, kokoh dan sesuai kebutuhan yang tidak membuat nyaman awalnya atau tetap begini-begini, tidak ada hal baru namun dipaksa menerima ketidaknyamanan. Hal itu berbanding bolak-balik terus di pikiran.
Kayaknya Mas Uke tahu apa isi kepala saya, lalu dia berkata, “Mas... dulu pernah cerita kepada saya bahwa Mas dulu pernah mengalami hal buruk beruntun dalam hidup, shit happens in your life. Lalu Mas putuskan rombak ulang kehidupan. Mas memulai dengan merombak habis belief system Mas Wowiek. Mas pergi ke Ramtha’s School of Mind di Australia. Di sana dibongkar total struktur berfikir Mas. Sehingga setelahnya Mas melihat see things from broader persprective, melihat sesuatu dari sudut lebih luas. Menurut Mas Wowiek tanpa membongkar belief system maka cara pandang seperti itu tidak mungkin terjadi.”
“Rumah ini juga punya filosofi sama persis. Membangun paksa dengan struktur yang ada adalah tidak mungkin. Pasti rubuh. Memulai hidup baru tanpa merubah belief system juga sama. Itu khan ajaran Anda sendiri, Mas?”
Waduh, skak mat saya! Mas Uke benar! Dan dalam proses pengambilan keputusan saat ini saya tidak perlu berpanjang-panjang pikir, follow my heart.
“Mas Uke, sekarang design baru, bangun baru!”