Saat ini saya sedang terfikir untuk
menambah ruang di rumah kami kafiah
sebenarnya karena kami mempunyai anak empat dan mereka semakin besar. Besar
dalam arti harfiah sebenarnya fisiknya membesar. Dulu keempatnya adalah anak-anak
dengan ukuran anak, namun dua anak kami pertama sudah SMA dalam waktu cepat.
Tahu-tahu kalau keempat anak ini sedang jalan saja di rumah, terasa rumah
menjadi penuh.
Saya dan istri sampai mbatin, “Kok
kayaknya rumah ini sesak banget. Ke mana-mana ada orang ya?!”
Melihat aktivitas keseharian anak
saja sudah ribet banget. Pagi hari yang kakak-kakaknya sudah gedebukan sejak
jam lima. Lalu kedua adiknya jam delapan masuk sekolah sehingga sesi berikut
setelah kakaknya mandi dan siap-siap adiknya mulai aktif.
Lalu saya mulai bergerak jam 8.30
ngantor. Jam 11.30 si bungsu Malkia pulang sekolah, jam 12. 30 Chevo pulang.
Jam 13.00 Malkia les balet, jam 14.00 Chevo les musik. Jam 15.00 kakaknya
pulang. Lalu ada yang futsal, les Bahasa Inggris, les masak dan lain
sebagainya. Setiap hari aktivitas kayaknya banyak sekali dan crowded. Untuk itu
menambah ruangan salah satu solusi.
Dengan lahan terbatas maka
penambahan ruang yang dimungkinkan hanya ke atas. Saya memanggil sahabat
arsitek saya — Mas Uke — untuk me-design dan merancang bangunan. Hasilnya...
“Mas, kayaknya nggak mungkin Anda
membuat lantai di atas tanpa membongkar pondasi bawah. Bahkan pondasi inject
saja tidak kuat. Rumah ini rumah lama. Bangunan berdiri mungkin tahun 1970-an akhir
atau 1980-an awal. Berdasar hasil tes bangunan membuktikan hal itu,” Mas Uke
menjelaskan.
“Membongkar pondasi sama dengan
membuat baru,” kata saya dalam hati. Sementara memiliki ruang tambahan adalah
sebuah keniscayaan, keharusan. Anak-anak tumbuh dewasa. Privasi semakin tinggi.
Mereka memerlukan space sendiri untuk bertumbuh. Ruang beraktivitas, musik,
perpustakaan, ruang kerja, dan lainnya sudah harus ada.
“Kalau dipaksa dibangun, garansi
rubuh, Mas. Saran saya bangun baru, bongkar struktur yang ada, design sesuai
kebutuhan dan masa depan rumah berserta perkembangannya yang panjang sesuai
dengan isi penghuni rumah,” Mas Uke memberikan saran. “Memang biaya menjadi
naik, memang menjadi rumit, bahkan penghuni harus pindah dulu. Ada waktu
terbuang, ada tenaga ekstra, ada biaya ekstra , namun ini jauh lebih efektif,
lebih benar.”
Kepala saya masih belum bekerja
dengan baik, harus siapkan dana, siapkan sarana lain untuk pindah sementara,
dan banyak hal berkelebatan di kepala. Atau kami memilih seperti ini saja.
Setiap hari rebutan kamar mandi. Suara bising kakak mengganggu adik, suara adik
mengganggu suasana belajar kakak. Bau masakan masuk ke kamar dan banyak lagi
hal yang tidak nyaman.
Memilih mengganti pondasi untuk
bangunan baru, kokoh dan sesuai kebutuhan yang tidak membuat nyaman awalnya
atau tetap begini-begini, tidak ada hal baru namun dipaksa menerima
ketidaknyamanan. Hal itu berbanding bolak-balik terus di pikiran.
Kayaknya Mas Uke tahu apa isi
kepala saya, lalu dia berkata, “Mas... dulu pernah cerita kepada saya bahwa Mas
dulu pernah mengalami hal buruk beruntun dalam hidup, shit happens in your
life. Lalu Mas putuskan rombak ulang kehidupan. Mas memulai dengan merombak
habis belief system Mas Wowiek. Mas pergi ke Ramtha’s School of Mind di
Australia. Di sana dibongkar total struktur berfikir Mas. Sehingga setelahnya
Mas melihat see things from broader persprective, melihat sesuatu dari sudut
lebih luas. Menurut Mas Wowiek tanpa membongkar belief system maka cara pandang
seperti itu tidak mungkin terjadi.”
“Rumah ini juga punya filosofi sama
persis. Membangun paksa dengan struktur yang ada adalah tidak mungkin. Pasti
rubuh. Memulai hidup baru tanpa merubah belief system juga sama. Itu khan
ajaran Anda sendiri, Mas?”
Waduh, skak mat saya! Mas Uke
benar! Dan dalam proses pengambilan keputusan saat ini saya tidak perlu berpanjang-panjang
pikir, follow my heart.
“Mas Uke, sekarang design baru,
bangun baru!”