Rabu, 28 Oktober 2015

DI MANA NASIB? (seri ramtha)



Sebagai seorang yang memahami sedikit kerja otak, usulan seorang sahabat cukup membuat saya berfikir keras. Pernyataannya singkat namun memberikan saya waktu untuk menjawabnya. Dia menyatakan bahwa budaya bisnis bangsa Indonesia masih sangat hijau. Masih bermental pedagang kaki lima. Buktinya ada empat puluh juta saudara kita yang bertumpu dari bisnis paling bawah ini. Kalau dihitung satu orang menghidupi empat orang maka sepuluh saudara kita berfikir demikian. Sisanya...tidak berfikir ke arah bisnis sama sekali.
Menurutnya, adakah ini kesalahan sistem kerajaan yang berkuasa di banyak wilayah Indonesia sehingga rakyat kebanyakan adalah manut ikut saja? Atau pemahaman agama yang disalahartikan seakan harta membuat sengsara? Harta membuat persaingan. Harta dianggap cinta dunia. Harta membuat berjarak dengan Tuhan. Harta sumber perpecahan dan lain sebagainya. Atau pemahaman lainnya.
Adakah pemahaman ini membuat otak menjadi tidak memiliki PROSPERITY CONSCIOUS? Cukup luas matrik pertanyaan tersebut. Hanya dari sebuah pernyataan, dasar pemikiran kebanyakan bangsa Indonesia bukan bisnis. Entah itu pemahaman agamanya, pemahaman kultur budayanya, dasarnya adalah berjarak dengan bisnis.
Saya tidak setuju dengan pemahaman tersebut. Namun saya tidak menolaknya. Saya kenal sekali perilaku universal terhadap penolakan. Kita tidak akan mendapat kebenaran. Maksudnya begini. Suatu hari kita bertanya pada anak kita tentang hasil ulangannya. Dia bilang belum dibagikan. Kita tahu dia berbohong. Kita mendesaknya atau kita memberinya waktu untuk menyiapkan sebuah kebenaran. Jika kita tekan pada saat itu. Dia akan tertekan. Dia akan takut. Dia akan menjadi tertutup. Kita tidak akan mendapat kebenaran.
Saya tahu sedikit tentang ilmu otak manusia ini. Empat tahun belajar di Negeri Paman Sam untuk bidang ini, psychology terapan untuk bisnis. Tahun 1990-an pulang dari belajar tersebut bekerja sebagai profesional di dunia keuangan sebelum berwira usaha di pertengahan tahun 1996. Sejak tahun 2000-an membantu banyak perusahaan dalam bisnis konsultan kemudian memberanikan diri menulis beberapa tulisan untuk Anda. Mudah-mudahan ilmu yang sedikit ini bermanfaat.
Jadi ilmu yang akan banyak saya tuangkan adalah ilmu kemanusiaan. Ilmu otak manusia bekerja. Ilmu respons dalam dunia bisnis di Indonesia.Saya tidak akan terlalu repot dengan ilmu tinggi ekonomi yang berdasar pada transaksi di negara maju. Saya cukup bangga dengan produk lokal. Kita punya kebijaksanaan lokal sendiri. Kita harus bisa menguasai pasar dengan kebijaksanaan lokal tersebut.
Saya akan memulai dengan PROSPERITY CONSCIOUS.
Kesadaran kaya. Kaya adalah pilihan. Cara otak bekerja adalah pilihan. Ini sekilas fakta tentang otak. Bangsa mana pun di dunia ukuran otaknya (volume), ukuran panjang syaraf, jumlah pengantar kimia dalam otak, sensor, semua sama. Kecepatan kemampuan berfikir yang oleh sebagaian orang disebut IQ juga tidak berbeda jauh. Kemampuan menyimpan data, sama. Anggap otak itu komputer. Anggap otak itu HARDWARE. Semua manusia sama.
Lalu di mana perbedaannya?
Mengapa yang satu lebih sehat dari yang lain? Mengapa yang satu mudah tertawa, mengapa manusia yang lain mudah mendapat jodoh, mengapa dia lebih cepat mendapat uang?
Ada sebuah fakta. Jika 375 nama orang yang saya sebutkan ini hartanya digabungkan semua sama dengan kekayaan tiga milyar umat manusia.
Sekali lagi, 375 orang sama dengan tiga milyar manusia!
Bill Gates, Donald Trump, Warren Buffet, Laxmi Mittal, Paul Ellen, Mark Cuban, Jeff Bazos, Rupert Murdock, Sam Walton, dan terus berlanjut hingga 375 orang demikianlah jumlah kekayaan mereka, sama dengan gabungan tiga milyar manusia.
Otak sama, nasib beda?
Nasib?
Ini batu sandungan pertama. Ada sebuah sistem pada manusia yang namanya belief system. Sistem keyakinan. Ini ditanam di subconscious seseorang. Jika sudah ditanam di posisi ini, merubahnya memerlukan teknik khusus. Cara biasa tak akan pernah berubah.
Misalnya kebiasaan merokok. Maaf saya mengambil contoh merokok karena mudah dipahami. Saya tidak merokok, namun saya bukan anti orang perokok. Prinsip saya merokok itu baik, tidak merokok lebih baik. Itu hanya sebuah pemahaman dan pengambilan posisi melihat sesuatu.
Kembali merokok sebagai contoh. Dalam iklan di TV secara vulgar ditulis MEROKOK BISA MENYEBABKAN KANKER,GAGAL JANIN, PENYAKIT PARU-PARU dan lain sebagainya.
Dibacakah oleh setiap perokok? Ya.
Berhenti karena takutkah mereka? Tidak.
Mengapa? Inilah kerja otak.
Otak conscious yang menguasi informasi pengetahuan hanya menguasai 12 persen dari sebuah tindakan. Subconscious-nya 88 persen. Informasi tadi hanya menempel di conscious tidak menjadi gerak. Otak subconscious... merokok itu nikmat. Itulah yang dilakukan.
Kita kembali ke prosperity conscious, kesadaran kemakmuran, IQ kaya, tulang kaya, balung sugih, apapun itu, bagi mind master ini adalah software kaya yang mereka miliki. Kesadaran kaya adalah software, 375 orang kaya memiliki software ultra kaya tersebut. Tiga milyar sisanya tidak memiliki.
Bisa menerima? Masih berat? Di mana nasib?
Ya... ini pertanyaan kecil dari kelompok besar. Ini pertanyaan saya pula. Saya mengalami jalan kehidupan yang turun naik seperti gelombang laut selagi badai. Saya pernah memiliki materi berlimpah yang tiga tahun kemudian tinggal di rumah kontrakan dengan masih menanggung hutang besar. Kemudian kembali berlimpah materi yang kemudian kembali terpuruk. Balik lagi naik ke atas lalu terbalik di puncak dengan beragam kisah.
Saya banyak bertanya urusan ini. Urusan jalan hidup!
Hingga saya memutuskan belajar, belajar, belajar, ke mana pun dan mencari ke mana pun untuk mendapatkan jawabannya. Sampai pula saya belajar ke Ramtha’s Mind di Australia tahun 2001. Di sinilah semua terungkap. Setidaknya menjawab pencarian saya. Jadilah sebuah pelajaran bisnis ala Mardigu. Pengalaman-pengalaman pribadi.