Tuiiiiiiit...
peluit panjang terdengar menggema di seluruh quarry kapur. Kami semua merapat
ke safety area. Dalam hitungan detik, BOOOOM!! Terdengar ledakan besar disertai
serpihan batu ke sana kemari, asap hitam mengepul tipis. Itu adalah kerjaan
rutin di quarry kapur Calsindo
setiap minggu dua
kali melakukan blasting.
Hal
ini rupanya menarik perhatian pihak aparat keamanan. Hingga suatu hari ada dua perwira muda polisi berpangkat
kapten datang ke tambang kapur kami. Tujuan utama bermaksud melakukan
pelarangan dan penghentian tindakan blasting tersebut.
“Kami
bermaksud mempertanyakan penggunaan blasting yang Anda lakukan. Kami mendapat
laporan dari warga bahwa sering terjadi peledakan di bukit kapur ini,” kata perwira yang lebih tinggi
badannya.
“Apakah
dilarang,
Pak?”
“Tidak,
jika ada izin penggunaannya.”
“Ya,
kami punya lengkap,
Pak,” sambil
saya memerintah staf legal mengambilnya. Kami bahkan sudah memiliki izin untuk
hi explosive yang menggunakan TNT. Kedua polisi itu mengecek seleuruh dokumen
legal kami, lengkap!
Lalu
saya menceritakan bahwa jenis batuan kapur hardness- nya tidak sekeras batu
split, di mana kalau di tambang batu banyak yang pakai TNT atau hi explosive
lainnya maka kalau kapur dikasih TNT kapurnya bisa jadi debu, hancur dan tidak
bisa dipakai.
“Kalau
langsung digaruk pakai excavator terlalu keras, rusak scoop dari back hoe
kami,” saya menjelaskan kondisi lapangan mengapa Calsindo memakai blasting
teknik dikombinasi dengan back hoe dan tenaga masyarakat yang mengumpul batu
serpihan.
“Lalu
bagaimana Anda meracik low explosive?” kata polisi yang kecil yang banyak senyum.
“Ada
lima macam
teknik, Mas,” saya
menjelaskan (saya memanggil mas stelah tahu usia saya hanya terpaut 3-5 tahun
lebih muda).
Saya
menceritakan asal muasal bagaimana kami memiliki berbagai macam teknik
pengeboman plus bahan dasarnya yang berbeda-beda.
“Saya
memiliki seorang ayah yang menjadi tentara di Angkatan Udara, dia merupakan alumni ITB dari
jurusan perminyakan, lulus ITB tahun 1964. Mengabdi pada Angkatan Udara dengan pangkat kapten
pensiunnya, dia mengajukan pensiun
dini. Karirnya di militer sebagai kepala laboratorium membuat sepanjang karir militernya adalah
mengembangkan sumber-sumber
untuk
bahan bakar militer dan amunisi.”
“Karena
ketrampilan kimia tersebut ayah kami untuk memenuhi kebutuhan harian rumah
selalu membuat sabun sendiri, detergen sendiri, shampoo sendiri dan banyak hal yang
ayah saya buat. Termasuk ketika lebaran. Yang namanya petasan, kembang api
bahkan roket buat firework yang meledak di atas dan berwarna-warni kami buat
sendiri. Di usia pensiunnya
pada tahun 1996 tersebut beliau saya perlukan tenaganya. Beliau kami pekerjakan
untuk mengajari tiga anak
pabrik untuk bisa mengerjakan blasting atau dibuat sebagai ahli peledakan.”
Perlu
dicatat 70 persen pegawai pabrik Calsindo adalah anak pesentren. Dan tiga pakar
bom yang dididik ayah saya tidak terkecuali. Inilah yang membuat saya di tahun
2000-an terindikasi beraliran garis keras mendukung terorisme (diterangkan di tulisan lainnya). Karena memahami
bom dan menjadikan anak-anak pabrik masuk daftar awas. Mereka adalah Alimin,
Syamsuri dan Budi Handaya.
Salah
satu legacy yang diajarkan ayah saya almarhum Bapak Trisunu yaitu meracik bom
dengan bahan dasarnya adalah pupuk tanaman biasa. Biasa terjual di pasaran
seperti sodium nitrate, arang (charcoal) dan sulfur atau di apotek disebut
tepung sulfur. Dengan takaran tertentu maka daya ledaknya sesuai dengan yang
dibutuhkan.
Yang
membuat dua teman
di kepolisian heran adalah bahannya beragam pilihan. Misalnya tidak ada sodium
nitrate maka digunakan bahan lain yaitu potassium chlorite, bahan buat odol.
Potassium chlorite ini bahkan lebih keras ledakannya dibanding sodium nitrate.
Dan ayah saya memberikan lebih dari lima macam racikan, semua dari bahan umum, seperti garam industri,
dan lain-lain. Ini membuat masalah di mata rekan polisi. Karena di tahun 1996
hal ini belum diatur dengan baik alias tidak ada aturannya. Kalau hi explosive
seperti TNT, C4 , bom plastik, sudah
ada
aturannya dan harus terdaftar dan membelinya terbatas lewat Pindad misalnya. Sedangkan low
explosive seperti yang Calsindo
kerjakan saat itu masih dianggap mercon besar saja.
Baru
sekarang ketika banyak bom teroris maka low explosive ditata aturannya karena
fakta didapat dari lebih tiga
puluh bom yang diledakkan
teroris sejak bom natal tahun 2000, bom Bali I. bom Bali II, bom Marriot hingga bom pipanya group Pepi tahun 2010, semua low explosive
yang membedakan hanya dosisnya. Kalau kayak bom Bali II di Paddy’s CafĂ© itu hampir beratnya 500
kg. Jelas
saja efeknya kayak hi explosive!
Pokoknya
anak-anak bagian
blaster bisa buat dari semua unsur kimia yang masuk kategori oksidator kuat.
Seperti KClO3 potasium nitrate dan lain-lain, intinya oksigen murni bisa
dilepas disambar percik api...
BOOM !!!
Ada
lagi yang membuat sobat polisi bertanya-tanya, karena ignition-nya — pemicu
residu —, resin atau bisa pakai teknik apa aja, press and release atau electrik.
Yang tersering adalah sistem electrik menggunakan baterai accu. Lama mereka
berdua di pabrik dan sejak saat itu mereka sering mampir bolak-balik. Mereka
sungguh-sungguh terpesona dengan mainan bom Calsindo. Sering kami demokan hal
yang aneh-aneh pada
saat blasting day .
Selain
mempelajari mereka juga curhat. Salah satunya, polisi seakan warga negara kelas
dua.
Dulu AD dan ABRI lebih bertaring. Polisi anak bawang. Sehingga di tahun 1995/1996
di masa mereka berdua kapten mereka hampir tidak ada kerjaan. Praktis
membosankan dunia polisi kala itu, demikian curhatan mereka berdua.
Suatu
hari saya menyarankan mereka untuk ambil sekolah lagi. Ambil master lanjutin
sekolah lagi, dan saya sarankan jurusan bom, intelegen dan terrorisme supaya di jajaran polisi ada bomb squad. Minta negara bayarin. Ternyata mereka
mengajukan dan ternyata disetujui. Yang jangkung ke Australia dan Amerika. Yang pendekan dan berbadan kecil ke
Inggris dan Amerika. Bahkan si badan kecil sampai doctoral S3. Sekolah bom dan terorisme plus keilmuan psikologi. Keduanya
serius memanfaatkan masa belajar. Sekolah intelegen MI6, ke FBI, NSA dididik
langsung oleh trainer Mossad dan lain-lain. Dari 1996-1999 adalah periode ke sana
kemari belajar. Di tahun 1999-2000 salah satunya berada di posisi konflik Ambon-Poso. Yang satu selalu ada di TV
jika ada bom terjadi,
di mana sejak mereka kembali dan tahun 2000 aktivitas teroris terjadi. Karir
mereka meroket naik. Secara kepangkatan, AKBP, Kombes, semua jabatan strategis
dengan cepat mereka lalui. Bahkan saat ini salah satunya sudah jendral berbintang dan yang satu si
jangkung akan berbintang pula. Masih Kombes namun posisinya di Bareskrim sangat
vital.
Kedua
sahabat inilah sebenarnya yang mengajari saya ditahun 1996-2000 keilmuan
intelegen, kursus paramiliter adalah rekomendasi mereka, beberapa kursus
related kepada kriminal khususnya extra ordinary crime adalah keilmuan mereka.
Data dari merekalah membuat saya seakan menjadi pakar teroris kawakan. Jujur
saja, tadinya hanya hobby-hobbyan,
belajar-belajaran,
diskusi literature, dan tidak disangka di tahun 2006-2011 saya malah aktif
menjadi terlibat. Bahkan beberapa tempat TKP masih hangat kejadiannya saya sudah di sana. Sehingga sewaktu rekan-rekan
media tanya, saya sudah dapat
berita fakta dari tangan pertama.
Dari
pertemuan tidak sengaja lebih dari lima belas tahun yang lalu. Dari percakapan
pertemanan, dari sharing ilmu, dari diskusi dan data fakta jadilah sebuah
rangkaian yang kami sendiri tidak pernah menyangka akan terjadi. Adanya
jaringan teroris di Indonesia yang menggunakan bom sebagai episentrumnya. Siapa
yang menyangka, keilmuan yang tidak populer mendadak ada di baris depan dalam
menangani teroris.