“Pagi, Pak, saya Rasminto. Bapak bisa
datang ke pabrik? Penting, Pak, mengenai peristiwa tadi malam,” itu
adalah suara Sersan Rasminto dari Satuan Kala Hitam Bogor yang menjaga pabrik hydrated lime PT Calsindo Perkasa.
Semenjak pabrik kami tutup dan kami fokus mencari peminat untuk menjual pabrik
atau setidaknya mesin pabrik untuk membayar sisa kewajiban hutang bank yang
pindah ke BPPN, maka pabrik dijaga oleh enam orang yang berjaga bergantian 24
jam. Keenam penjaga tersebut terdiri dari dua satuan Angkatan Darat, satu Kala Hitam Bogor, satu
lagi Kopasus Cilodong.
Alasanya adalahperusahaan besar di
samping kami PT. Bukaka Teknik Utama milik
Fadel Muhammad habis dirampok beberapa minggu sebelum kami menempatkan satuan
jaga. Rampok habis, bahkan sampai gudang-gudangnya di-disamble, dicopot-copot. Dua gudang besar plus isinya.
Ini dilakukan dalam dua hari. Kami tadinya berfikir mereka akan pindah pabrik,
lengkap dengan crane, dan lain sebagainya perampokan terjadi. Penjaganya
diikat. Pabrik tersebut adalah pabrik mesin, dan juga tutup terimbas devaluasi
rupiah 1998. Untuk urusan penjagaan ini, kebetulan sejak tahun 1996 saya
menjadi dosen terbang rutin bulanan di beberapa lembaga kemiliteran. Saya hanya
mengajarkan bidang yang kebetulan saya kuasai, yaitu criminal mind and forensic
investigator plus beberapa kursus keilmuan intelijen, sehingga topik yang saya
ajarkan adalah enscripted code, crypthograph (ilmu sandi dan pemecah kode), dan satu lagi Powerful
Investigative Interview. Keilmuan ini mengisi waktu luang saya di hari Sabtu
atau Minggu. Saya sempatkan mengajar, hingga sekarang. Jadi, daripada saya bingung mencari
penjaga, ya manfaatkan tenaga profesional tentara yang saya ajukan surat
permohonan resmi ke Mabes AD Cilangkap. Peristiwa Rasminto menelpon di atas
adalah tahun 2001.
Tiba di pabrik Cileungsi jam
sembilan pagi.
“Ini nggak salah, Pak, selongsong
peluru sampai ratusan begini?” saya
bertanya penuh heran. “Kalian perang memangnya tadi malam?!”
Saya memeriksa tiga lokasi di mana butiran peluru laras panjang
menumpuk. Satu di atas kiln (tanur pembakar/ burner, red), satu di pusat kontrol komputer
lantai dua. Satu lagi tersebar di sepanjang pagar.
“Bagaimana kejadiannya nih, Pak
Rasminto?”
“Siap, Pak,” Rasminto mengawali cerita dengan
sikap sempurna, kedua tumit diadu dan kaki rapat sehingga terdengan suara “duk”... hak sepatu larasnya bertemu. “Tadi malam kebetulan saya jaga
bertiga. Biasanya berdua. Kami datang jam enam. Lalu Sersan Kris yang piket
siang (dari satuan Kopassus) sedang tidak enak badan jadi
tidak pulang, minta istirahat di ruang komputer. Kebetulan seharian gerimis dan
mendung.”
“Malam jam satu saya patroli. Lalu
saya melihat ada satu mobil seperti kijang di kejauhan berhenti di pagar
sebelah sana, –sambil menunjuk kearah gunung kapur. Kendaraan itu tidak pakai
lampu, Pak. Ini yang membuat kami curiga.
Lalu saya melihat ada dua orang yang menaiki pagar pabrik kita, Pak. Lalu saya lepaskan tembakan
peringatan dua kali ke atas
pakai pistol.”
“Dua orang ini terlihat diam. Di posisi jongkok. Lalu maju lagi, Pak, dengan posisi setengah tertunduk
mencari tempat sembunyi namun posisinya maju. Bagi saya, Pak, itu formasi
tempur. Artinya si perampok tahu cara berperang, Pak.”
“Lalu saya bel Sersan Slamet di atas
menara kiln pake walky talky. Posisi stand by dan lampu pabrik saya matikan,
Pak. Lalu ada dua orang lagi melompati pagar, Pak, saya tembak langsung ke arah dua orang tersebut. Mereka
langsung tiarap dan bergerak maju. Walau gelap kami bisa melihat gerakan
tersebut. Ditembaki memang tidak boleh diam harus bergerak, namun tiarap sambil
maju adalah gerakan orang terlatih perang, Pak. Dan mereka artinya sangat terlatih. Juga tidak takut suara tempakan
pistol FN senjata organik tentara (note : kalibernya jauh lebih besar dari
sejata polisi).”
“Lalu dari empat posisi kami
ditembaki balik, Pak. Dan suaranya bukan dari pistol tapi dari senjata laras
panjang, kemungkinan AK, Pak, kalau M16 kami kenal. Karena mereka membalas
menembak saya lari ke atas
gudang. Saya lihat posisi kami bertiga sudah di atas semua, apalagi Sersan Slamet. Saya perintahkan jangan
tembak dulu. Saya minta Sersan Kris nembak dari posisi dia karena dia dekat
lampu sorot bisa dinyalakan lampu sorot oleh Kris sambil menembak. Dibalas oleh
keempat orang itu
dengan menembak ke lampu
sorot sehingga pabrik kembali gelap.”
“Akhirnya kami ambil posisi atas,
semua laras panjang kami siapkan dan kami salvo bareng-bareng dari tiga posisi. Semua disetel otomatis jadi kami berondong mereka.
Tak lama mereka mundur lalu lompat pagar lagi dan kabur ke arah gunung, Pak. Mungkin mereka nggak nyangka
kalau ternyata kita bersenjata lengkap. Bayangkan, Pak, kalau kami pakai pistol
bertiga, sementara mereka berempat dengan senjata lebih lengkap, kami tidak
bisa tahu.”
Saya memperhatikan dengan seksama
longsongan peluru kaliber 5,56 mm dari M16 senjata organik TNI, dan beberapa longsongan 7,62
mm ini biasanya adalah senjata AK Kalashnikov! Ini benar-benar gila. Siapa ya mereka?! Mau apa mereka
dengan pabrik kapur yang sudah berhenti produksi ini?
Sejak peristiwa itu akhirnya kami
tidak menjual pabrik tetapi seluruh mesin pabrik, peralatan produksi, silo, kiln, kami urai karena kebetulan ada
pembeli dari Tuban yang meminta 80 persen dari equipment tersebut ternyata
sesuai dengan pabrik yang mereka sedang bangun, pabrik copper smelter (peleburan tembaga, red) di
Tuban. Kami menjual semua dan hanya kami sisakan lahan kapurnya saja hingga
saat ini. Lahan kapur seluar 11 Ha tersebut masih di sana, masih milik kami tidak diapa-apain sudah sepuluh tahun, surat lengkap SIPD, dan
lain-lain. Yang
menarik, hampir setiap bulan tempat itu dipakai buat iklan, karena terrain-nya,
medannya mirip seperti gurun, buat iklan mobil, rokok, sinetron, sampai video
klip lagu-lagu, puluhan sudah yang menggunakannya. Lokasi, desa Klapa Nunggal Cileungsi.