Ini
adalah kisah nyata saya di bulan Ramadhan 2008 dan sahabat saya seorang
pengusaha hiburan, Helmy Yahya. Saya berada di Palembang bersama mitra saya,
Helmy Yahya. Kami sedang melakukan perjalanan untuk bertemu dengan maestro
pujaanku, untuk sebuah pekerjaan idealis. Kami akan bertemu dengan pengarang
lagu anak legendaris, AT Mahmud.
Terdengar
bunyi telepon yang langsung diangkat Helmy dengan speaker mode. “Boss, kita
belum dapat talent buat acara naik haji gratis,” suara di seberang telepon
terdengar galau.
“Kok
bisa?” Helmy berkata dengan nada tinggi, “sudah tiga hari shooting kok bisa gak
nemu?”
Setelah
itu Helmy diam mendengarkan argumen dari timnya yang panjang. Wajahnya memerah.
Bibirnya merapat dan jari tangannya didekatkan dan digigit. Itu kebiasaanya
kalau panik.
“Untung
lagi di Palembang, saya gak tahu kalau ada anak Triwarsana di sini. Kita ke
tempat shooting dulu,” demikian sebuah kata terucap dari mulutnya dan setelah
itu diam. Setiba di lokasi, sebuah rumah yang disewa sebagai tempat tersembunyi
dari hidden kamera yang sedang menguji kelayakan seorang talent untuk berangkat
haji gratis sesuai tema acara tersebut.
Helmy
memiliki standar yang ketat. Seseorang tersebut bukan “layak” bukan karena
rekomendasi dari orang lain saja tapi dia harus lulus tes. Ini memang memakan
biaya, memang memakan waktu. Tapi inilah kesempurnaan yang menjadi cirinya.
“Mana
data shooting talent hidden kamera kemarin-kemarin?” katanya lagi. Dalam
sekejap kami menyaksikan video rekaman para talent tersebut dites berbagai cara.
Dengan hidden kamera kita memperhatikan. Ustadz ini, bapak anu, ujung-ujungnya
tidak ada yang layak. Lalu saya disuruh menilai. “Mas Wowiek... kamu lihat tuh
yang dites pas sebelum jumatan... dua ustad,” Helmy keluar dengan muka merah.
Saya turuti perintahnya dan menyaksikan.
Biasa
kami menggunakan penguji si Rini, spesialis penguji. Cantik, dewasa, anggun.
Lengkap dengan jilbab dan kerendahan hatinya. Dia melakukan aksi ujiannya. Di
depan ustad yang dimaksud dia datang jam 11.30, lalu berkata, “Saya ada masalah
dengan perkawinan, suami saya...” dan seterusnya dia bercerita sangat
meyakinkan.
Sang
ustadz talent mulai berdalih, mulai mewejang. Dan menyaksikan adegan tersebut,
saya cukup tahu ekspresi wajah, maka tahu sekali mimik wajah dan gerak mata
seseorang yang “berminat”. Darah saya naik. “Kok begini sih?”
Ini
orang terpandang di daerahnya yang direkomendasi banyak orang. Menggeser
duduknya dekat-dekat si Rini. Hidden kamera menangkap seluruh adegan dengan
jelas. Dan yang mengherankan.... dia abaikan sholat jumat! Huh... hilang sudah
rasa di hati, “Dasar buaya”, saya berkata dalam hati.
Di
video satunya. Setali tiga uang, sama saja, malah pakai pegang-pegang pundak si
Rini. Setiap berapa kalimat menyentuh apa bagian tubuh si Rini, tangan, seperti
menepis kotoran dari jilbab, yang rasanya gak ada apa-apanya. Darah emosi saya
naik memuncak. “Gile nih... sama aja... dasar bandot semua!” saya mendadak
sangat marah. Sebagai pria, tahu banget niat laki-laki macam itu, saya jadi
emosi banget.
Saya
keluar ruang. Helmy nafasnya turun naik dengan cepat. “Gila nih... besok harus
naik tayang jam empat sore. Belum ada talent! Di mana Rini?”
“Lagi
ada talent, deket sini, Pak,” seorang staf Triwarsana menjawab.
“Nih,
lagi kita tes. Live tuh di ruang belakang.”
Bergegas
kami melihat. Seluruh kru berharap-harap cemas. Muka semuanya tegang. “Jauh gak
dari sini?” saya bertanya.
“Enggak,
Mas, paling lima ratus meter,” jawab kamerawan Triwarsana.
“Siapa
dia?” tanya saya lagi.
“Dia
guru Bahasa Indonesia, kalau sore ngajar ngaji.”
Dalam
monitor terlihat seorang bapak sedang duduk, kelelahan. Habis mengajar ngaji
dia. Di masjid. Masuk si Rini. Dengan gayanya yang meyakinkan dia berkata,”Pak,
saya ada anak angkat usianya delapan tahun kelas dua SD. Saya sudah tidak kuat
merawatnya.”
Dipotongnya
kalimat, ditambah emosinya, “Nakal banget, Pak. Saya mau buang, saya mau kasih
bapak saja,” si Rini menyelesaikan kalimatnya dengan muka memerah. Dan
membetulkan jilbabnya. Sehingga seluruh lekuk tubuhnya sengaja terbentuk kesan
seksi.
Sang
bapak membuang muka, kemudian menunduk sambil menjawab, “Aku terima.”
“Maksud,
Bapak?” kata Rini lagi.
“Ya,
bawa sini anak itu, aku rawat dia, ini pasti kehendak Alloh. Aku ikhlas,” dia
menjawab sambil tetap menundukkan wajahnya.
Muka
Rini terlihat gugup, “Boleh saya beri anak itu hari ini? Rumah kami jauh di
Tujuh Ulu,” Rini menambahkan bobot ceritanya.
Sang
bapak memiringkan pantatnya, dirogoh sakunya, ada uang ribuan berlembar-lembar,
kira-kira lima belas lembar. Dia berkata, “Uangku hanya segini,” diberikan ke
Rini semua. “Kamu ambil angkot bawa anak itu kemari,” tuturnya dengan santun.
Setiap
adegan itu kami saksikan dengan tegang, bahkan penduduk sekitar mulai
menggerombol di tempat kami. Sesak udara ruangan monitor. “Ayo kita ke sana,
full kamera,” kata Helmy memecah ketegangan.
Bergegas
kami berangkat. Penduduk sekitar mengikuti gerak kru sebanyak lima belas orang
tiga kamera, dua sound boom. Sangat menarik perhatian warga kampung sekitar.
Setiba kami di lokasi masjid kamera langsung keluar dari segala penjuru. Sang
bapak terkejut. Wajahnya bingung. Kemudian Helmy Yahya muncul dengan
mengatakan, “Alhamdulillah bapak dapat hadiah naik haji gratis!”
Sang
bapak terkejut bukan main. Wajahnya tergetar, giginya bergemerutuk... tak bisa
berkata-kata. Bersujud di sajadah berkali-kali. Dan selang beberapa menit hadir
penduduk sekitar kira- kira lima ribu- an warga kampung sekitar tersebut tanpa
komando mengumandangkan, “Labbaik allauhumma labbaik...” lima ribu orang lebih
meneriakkan kata-kata tersebut berulang. Bergetar kami semua.
Air
mata saya turun tanpa sebab. Saya bertanya pada seorang ibu yang berdiri
menangis, “Siapa dia, Bu?” tanya saya.
”Oh,
dia Pak Rahmat. Dia guru Bahasa Indonesia di SD sini. Setiap bulan dia
memberikan setengah dari gajinya untuk membayar anak-anak dengan permen atau
apa pun supaya mereka mau mengaji,” jawab sang ibu sambil menggendong anaknya yang sudah agak besar.
”Setengah?!”
saya terperanjat.
“Iya,
Mas,” lanjut ibu tadi, “dan itu dia sudah lakukan 25 tahun kira-kira, saya
adalah muridnya pertama-tama. Karena sangat miskin kami tak sanggup belajar.
Tapi dia membimbing kami. Sekarangpun anakku belajar ngaji sama Pak Rahmat. Dan
masih diberi bonus hadiah supaya rajin mengaji.”
Saya
tersentak. Saya menyaksikan seorang bapak, yang lagi dipakaikan kain ihrom.
Dikumandangkan talbiyah, labbaik allahumma labbaik, oleh separoh warga kampung
yang mencintainya. Diarak beramai-ramai dari masjid ke rumahnya. Tempat
kediamannya berjarak dua ratus meter dari masjid. Untuk dipamitkan dan mohon izin
ke sang istri. Setiba di rumah yang masih beralas tanah... sepasang suami istri
renta berpelukan. Saya masih mendengar sang bapak berkata, “Alloh mengabulkan
doa kita, Bu... aku berhaji... aku yang miskin ini berhaji,” suaranya lirih,
“mohon izin ya...”
Tersungkur
di tanah saya seketika mendengar kata-katanya. “Terima kasih Yaa Alloh...
terima kasih... masih ada orang seperti Pak Rahmat engkau sisakan untuk
kami....” tak henti-henti saya bersyukur.