Rabu, 28 Oktober 2015

PAK RAHMAT


Ini adalah kisah nyata saya di bulan Ramadhan 2008 dan sahabat saya seorang pengusaha hiburan, Helmy Yahya. Saya berada di Palembang bersama mitra saya, Helmy Yahya. Kami sedang melakukan perjalanan untuk bertemu dengan maestro pujaanku, untuk sebuah pekerjaan idealis. Kami akan bertemu dengan pengarang lagu anak legendaris, AT Mahmud.
Terdengar bunyi telepon yang langsung diangkat Helmy dengan speaker mode. “Boss, kita belum dapat talent buat acara naik haji gratis,” suara di seberang telepon terdengar galau.
“Kok bisa?” Helmy berkata dengan nada tinggi, “sudah tiga hari shooting kok bisa gak nemu?”
Setelah itu Helmy diam mendengarkan argumen dari timnya yang panjang. Wajahnya memerah. Bibirnya merapat dan jari tangannya didekatkan dan digigit. Itu kebiasaanya kalau panik.
“Untung lagi di Palembang, saya gak tahu kalau ada anak Triwarsana di sini. Kita ke tempat shooting dulu,” demikian sebuah kata terucap dari mulutnya dan setelah itu diam. Setiba di lokasi, sebuah rumah yang disewa sebagai tempat tersembunyi dari hidden kamera yang sedang menguji kelayakan seorang talent untuk berangkat haji gratis sesuai tema acara tersebut.
Helmy memiliki standar yang ketat. Seseorang tersebut bukan “layak” bukan karena rekomendasi dari orang lain saja tapi dia harus lulus tes. Ini memang memakan biaya, memang memakan waktu. Tapi inilah kesempurnaan yang menjadi cirinya.
“Mana data shooting talent hidden kamera kemarin-kemarin?” katanya lagi. Dalam sekejap kami menyaksikan video rekaman para talent tersebut dites berbagai cara. Dengan hidden kamera kita memperhatikan. Ustadz ini, bapak anu, ujung-ujungnya tidak ada yang layak. Lalu saya disuruh menilai. “Mas Wowiek... kamu lihat tuh yang dites pas sebelum jumatan... dua ustad,” Helmy keluar dengan muka merah. Saya turuti perintahnya dan menyaksikan.
Biasa kami menggunakan penguji si Rini, spesialis penguji. Cantik, dewasa, anggun. Lengkap dengan jilbab dan kerendahan hatinya. Dia melakukan aksi ujiannya. Di depan ustad yang dimaksud dia datang jam 11.30, lalu berkata, “Saya ada masalah dengan perkawinan, suami saya...” dan seterusnya dia bercerita sangat meyakinkan.
Sang ustadz talent mulai berdalih, mulai mewejang. Dan menyaksikan adegan tersebut, saya cukup tahu ekspresi wajah, maka tahu sekali mimik wajah dan gerak mata seseorang yang “berminat”. Darah saya naik. “Kok begini sih?”
Ini orang terpandang di daerahnya yang direkomendasi banyak orang. Menggeser duduknya dekat-dekat si Rini. Hidden kamera menangkap seluruh adegan dengan jelas. Dan yang mengherankan.... dia abaikan sholat jumat! Huh... hilang sudah rasa di hati, “Dasar buaya”, saya berkata dalam hati.
Di video satunya. Setali tiga uang, sama saja, malah pakai pegang-pegang pundak si Rini. Setiap berapa kalimat menyentuh apa bagian tubuh si Rini, tangan, seperti menepis kotoran dari jilbab, yang rasanya gak ada apa-apanya. Darah emosi saya naik memuncak. “Gile nih... sama aja... dasar bandot semua!” saya mendadak sangat marah. Sebagai pria, tahu banget niat laki-laki macam itu, saya jadi emosi banget.
Saya keluar ruang. Helmy nafasnya turun naik dengan cepat. “Gila nih... besok harus naik tayang jam empat sore. Belum ada talent! Di mana Rini?”
“Lagi ada talent, deket sini, Pak,” seorang staf Triwarsana menjawab.
“Nih, lagi kita tes. Live tuh di ruang belakang.”
Bergegas kami melihat. Seluruh kru berharap-harap cemas. Muka semuanya tegang. “Jauh gak dari sini?” saya bertanya.
“Enggak, Mas, paling lima ratus meter,” jawab kamerawan Triwarsana.
“Siapa dia?” tanya saya lagi.
“Dia guru Bahasa Indonesia, kalau sore ngajar ngaji.”
Dalam monitor terlihat seorang bapak sedang duduk, kelelahan. Habis mengajar ngaji dia. Di masjid. Masuk si Rini. Dengan gayanya yang meyakinkan dia berkata,”Pak, saya ada anak angkat usianya delapan tahun kelas dua SD. Saya sudah tidak kuat merawatnya.”
Dipotongnya kalimat, ditambah emosinya, “Nakal banget, Pak. Saya mau buang, saya mau kasih bapak saja,” si Rini menyelesaikan kalimatnya dengan muka memerah. Dan membetulkan jilbabnya. Sehingga seluruh lekuk tubuhnya sengaja terbentuk kesan seksi.
Sang bapak membuang muka, kemudian menunduk sambil menjawab, “Aku terima.”
“Maksud, Bapak?” kata Rini lagi.
“Ya, bawa sini anak itu, aku rawat dia, ini pasti kehendak Alloh. Aku ikhlas,” dia menjawab sambil tetap menundukkan wajahnya.
Muka Rini terlihat gugup, “Boleh saya beri anak itu hari ini? Rumah kami jauh di Tujuh Ulu,” Rini menambahkan bobot ceritanya.
Sang bapak memiringkan pantatnya, dirogoh sakunya, ada uang ribuan berlembar-lembar, kira-kira lima belas lembar. Dia berkata, “Uangku hanya segini,” diberikan ke Rini semua. “Kamu ambil angkot bawa anak itu kemari,” tuturnya dengan santun.
Setiap adegan itu kami saksikan dengan tegang, bahkan penduduk sekitar mulai menggerombol di tempat kami. Sesak udara ruangan monitor. “Ayo kita ke sana, full kamera,” kata Helmy memecah ketegangan.
Bergegas kami berangkat. Penduduk sekitar mengikuti gerak kru sebanyak lima belas orang tiga kamera, dua sound boom. Sangat menarik perhatian warga kampung sekitar. Setiba kami di lokasi masjid kamera langsung keluar dari segala penjuru. Sang bapak terkejut. Wajahnya bingung. Kemudian Helmy Yahya muncul dengan mengatakan, “Alhamdulillah bapak dapat hadiah naik haji gratis!”
Sang bapak terkejut bukan main. Wajahnya tergetar, giginya bergemerutuk... tak bisa berkata-kata. Bersujud di sajadah berkali-kali. Dan selang beberapa menit hadir penduduk sekitar kira- kira lima ribu- an warga kampung sekitar tersebut tanpa komando mengumandangkan, “Labbaik allauhumma labbaik...” lima ribu orang lebih meneriakkan kata-kata tersebut berulang. Bergetar kami semua.
Air mata saya turun tanpa sebab. Saya bertanya pada seorang ibu yang berdiri menangis, “Siapa dia, Bu?” tanya saya.
”Oh, dia Pak Rahmat. Dia guru Bahasa Indonesia di SD sini. Setiap bulan dia memberikan setengah dari gajinya untuk membayar anak-anak dengan permen atau apa pun supaya mereka mau mengaji,” jawab sang ibu sambil menggendong anaknya yang sudah agak besar.
”Setengah?!” saya terperanjat.
“Iya, Mas,” lanjut ibu tadi, “dan itu dia sudah lakukan 25 tahun kira-kira, saya adalah muridnya pertama-tama. Karena sangat miskin kami tak sanggup belajar. Tapi dia membimbing kami. Sekarangpun anakku belajar ngaji sama Pak Rahmat. Dan masih diberi bonus hadiah supaya rajin mengaji.”
Saya tersentak. Saya menyaksikan seorang bapak, yang lagi dipakaikan kain ihrom. Dikumandangkan talbiyah, labbaik allahumma labbaik, oleh separoh warga kampung yang mencintainya. Diarak beramai-ramai dari masjid ke rumahnya. Tempat kediamannya berjarak dua ratus meter dari masjid. Untuk dipamitkan dan mohon izin ke sang istri. Setiba di rumah yang masih beralas tanah... sepasang suami istri renta berpelukan. Saya masih mendengar sang bapak berkata, “Alloh mengabulkan doa kita, Bu... aku berhaji... aku yang miskin ini berhaji,” suaranya lirih, “mohon izin ya...”
Tersungkur di tanah saya seketika mendengar kata-katanya. “Terima kasih Yaa Alloh... terima kasih... masih ada orang seperti Pak Rahmat engkau sisakan untuk kami....” tak henti-henti saya bersyukur.