Rabu, 28 Oktober 2015

“ If you can’t be better, don’t judge”

Dalam chating dengan sahabat saya di belahan timur Indonesia, dari kota makasar bang Akhyar menulis, kayaknya peserta makasar memberikan 50% isi kelas ya. Yang saya jawab sepertinya begitu tapi 2 hari ini bisa jebol tembok, saya menjawab. Ini adalah kalimat “kiasan” yang memberikan maksud bahwa 2 hari kedepan peserta bisa melonjak.
Lalu dia bertanya lagi, berapa peserta yang akan ikut MM di hari mingggu besok?. Saya mengatakan kalau tidak salah yang dari catatan ada 52 yang daftar 38 sudah bayar, 45 questionaire jawaban masuk. Target di bulan puasa hanya 50 orang saja kok, Alhamdulillah.
Ini adalah komunikasi hari rabu selasa lalu via chating di FB.
Lalu di hari kamis terdaftar 72 orang! Dimana jumat pagi bang Akhyar menulis lagi via chating, wah jebol tembok beneran ya mas? Saya menjawab . lah ini kerjaan saya yang membikin kerjaan panitia jadi nambah, makanan kurang, kaos kurang, ruangan yg pakai meja di rubah mungkin ngak pake meja, makalah di tambah, mengerjakan questionaire di tambah. Yah begini dinamika nya mas, di nikmati temen-teman panitia. Mereka sudah biasa dengan surprise, keterkejutan seperti ini.
Mereka ngak heran dengan strategi saya yang namanya “social validation” itu.
Nah ini yang jadi banyak pertanyaan mungkin dari para sahabat, apaan lagi itu “social validation”?. Ini sebenranya ilmu dasar di dunia psikologi. Bisa tanya dengan teman-teman yang ambil ilmu psikologi. Ini ilmu awal-awal banget.
Atau teman-teman yang mengajar atau trainer, mereka semua tahu ilmu ini. Apalagi pakar NLP, hypnotherapy dan lain sebagainya, tahu banget ilmu ini. Saya mencoba menerangkan namun kalau perlu penjelasan lanjut, sahabat tahu kemana bertanya khan?.
Inti dari “social validatation” adalah keputusan seseorang tergantung oleh keputusan orang lain.
Misalnya, mengapa di buku laris, di belakangnya banyak komentar dari orang, terutama orang terkenal, ada artis, ada penyanyi, ada sosialita, ada dosen, ada menteri ada orang sukses yang mengisi komentar buku itu. Ketika kita membaca komentar di belakang buku tersebut membuat sepercik kata dalam otak kecil kita yang membaca, wah kayaknya buku ini bagus. Banyak orang besar yang berkomentar. Beli ah!
Itu social validation. Keputusan anda karena secara social ini buku pasti valid.
Atau ketika anda datang ke sushi tei resorant jeoang, makan ramen mie jepang, selalu mengantri di depannya. Dan dalam pilihan anda akan ikut mengantri walaupun agak lama menikmati ramen tersebut karena di kepala anda akan terbetik perkataan, kalau rame pasti enak. Dan anda pun mengantri, walau anda laper sekali dan di resto sebelahnya kosong.
Pengusaha jepang pandai sekali menggunakan social validation ini. Di dalam walaupun belum terlalu banyak orang, maka pelayan akan mondar mandir menyiapkan meja, merapihkan, seakan sibuk. Padahal itu hanya efek psikologis saja menunggu antrian panjangan sedikit yang dalam sebuah mall, “crowd gathering” seperti ini mudah, memang orang nya yang datang banyak, tinggak di “catch” di tangkap. Strategi menangkapnya dengan “social validation” ini.
Disaat buka resto atau café pelayan akan melakan tamu sesuai unsur psikologi manusia. Bisa anda banyangkan, masuk kerestorant di mana anda tahu resti anda harga murah, rasa enak, tempat nyaman sebagai stretegi anda, namun terlihat kosong. Orang ngak akan masuk, terutama orang baru.
Jadi strategi nya adalah, tamu awal-awal taruhnya didudukan dekat jendela. Sehingga dari luar telihat ramai. Dan ketika orang masuk di tahan dulu dengan meja kecil di depan yang mencatat berapa orang dan nama, teknik membuat antrian. Lalu suruh mereka meunggu sebentar. Seakan meja sedang disiapkan. Buat pelayan jalan kesana kemari dengan tergesa-gesa. Seakan akan melayani raja. Begitu ada antrian kedua, maka yang pertama dipersilahkan masuk. Begitu banyak yang lihat maka putaran social validationnya mulai bekerja. Resto penuh!
Dalam pelajaran di kampus dulu, setelah sesi pelajaran ini biasa otak liar si Jhon selalu iseng. Dalam kelas di asudah melempar-lempar kertas yang di punter-puntir kea rah saya. dan saya tahu pasti ada experiment iseng di kepalanya. Saya saya jawan dengan middle finger saya naikin, common man, f**k it!, males saya sebenarnya. Tapi dia persistent banget kalau sudah ada mau, ngotot banget.
What’s up? Itu yang keluar singkat dari mulut saya. you know what… now I know why we have to salting the tips jar, katanya dengan gaya bicaranya seperti mata BJ habibie mantan presiden kita yang berbinar-binar kalau dapet ide.
Tapi kalimat, “meng-garamin gelas toples” apa lagi ini anak punya istilah. Itu isi otak saya bertanya dalam hati.
Jhon melanjutkan, I get this idea when professor Steadler tell story of social validation is using by Nixon. Steadler adalah dosen psikologi social favorit kami yang selalu memberikan “personal story” yang menarik di setiap contoh kasus. Salah satunya dia penasehat mantan president amerika Nixon.
Waktu itu demo besar-besaran di amerika menetang invasi amerika di Vietnam. Gallop poll mencatat bahwa 60 % warga amerika tidak ingin melanjutkan perang di Vietnam. Dan akan di adakan referendum. Diaman masyarakat akan mengambil pendapat dengan voting suara.
Sehari sebelum hari H, referendum tersebut, Nixon berbicara di TV nasional. Dia menggunakan “istilah” social validation. Nixon memberi kata demikian, terima kasih kepada “great fellow American” yang memilih silent dan tidak berkoar-koar demo di depan umum selama ini. Besok saya memanggil anda untuk melakukan referendum. Suara anda menetukan apakah kita akan melanjutkan perang di Vietnam melawan komunis atau kita pulang dengan kekalahan.
Kata-kata Great Fellow American dan silent majority adalah memanipulasi otak pemirsa bahwa, iya juga ya,.yang berkoar-koar adalah pecundang yang sedikit, mereka screaming minoritas sebenranya.
Anda pasti tahu kelanjutan cerita ini, dimana hasil referendum mendapatkan suara 77% setuju rakyat amerika berperang di Vietnam di lanjutkan. Itulah keputusan seseroang berdasar “kepopuleran” , great fellow, majority yang di image kan.
Jadi, ketika jhon bilang dia dapat ide dari cerita Nixon saya ngak nyambung, test apa yang bakal dilakukan dengan “saliting the jar”?
This what we gonna do at student center. Find me a nice pretty girl. 2 of them minimum. Coucasion but tan, brunette dan dia merinci detail, harus bule, tapi matanya agak orientalis sipit – puppy eyes, rambut hitam, jangan terlalu tinggi, bola mata hitam atau dark brown.
Saya bilang, why its so jhon, you creazy gigs..creazy gig adalah nickname jhon yang saya kasih.
Blond girl , blue eye, itu cantik tapi tidak mewakili banyak ras dan etnic, rambut hitam di dunia ini 70%, mata kecil 55%, tan color skin bahkan gelap warna kulit merupakan 70% manusia, bola mata hitam dan coklat juga 70% manusia dunia. Jadi seseroang dengan spesifikasdi itu disukai mayoritas. Ingat kita sedang membuat analisa berdasarkan populeritas, social validation.
Yang saya jawab, where do I get this kind of girls? ..i don’t know, use your intuition rowing guy, because you your self are almost represent those human liking possibility. Wah begitu jhon bilang saya juga mewakili “kesukaan” manusia terbanyak yaitu mata sipit, rambut hitam, ngak terlalu tinggi, geer banget ogut, walking on the moon, terbaaaaang.
Jalan saya langsung chest up, dada membusung, superhero efeect langsung saya main kan. Saya jalan dengan percaya diri, saya sudah di sihir sama si Jhon ontohod itu. Jadi ketika ketemu cewe dengan spesifikasi tersebut saya langsung sapa dengan pedenya. Execuse me, would you like to be one of our respondences on social psycholgy experiment? It’s a call “ salting the tipping jar”.
Dan heran saya, 5 cewe saya dekati dan memintanya, semua mereka jawab, ok, its sound nice, sound great?!..saya heran kok pada mau ya. Dan ini membuat saya geer berlebihan, kayaknya memang saya masuk “most human liking possibility” haha. Dikemudian hari ternyata saya tahu, yang meng-hipnotis mereka adalah kata-kata ngak umum “meng-garemin topless” nya lah yang mempengaruhi otak seseroang, bukan saya ...
Hari H experiment. Cewe cantik tadi suruh stand still berdiri diam saja dan tersenyum. Di depan nya ada jar toples, dan di belakangnya ada spanduk lingkungan hidup. Dan kita, saya dan jhon menyapa orang yang lewat.
Kita bertanya kepada yang lewat..hai mohon waktu sebentar..kami mohon bantuan anda. gadis cantik ini sedang “mengumpulkan dana” fund raising untuk lingkungan. Kira-kira menurut anda..orang-orang akan menyumbang berapa di dalam jar toples ini?
Mereka menjawab, 1 dollar?, lalu yang lainya , 2 dollar?, lainya lagi 50 cent?. Satu dolar, a bug, a nickel? Begitu seterusnya.
Lalu jhon ganti jar topless nya dan kami memberikan pertanyaan yang sama. Kira-kira, berapa donasi yang akan di berikan oelh orang untuk membantu gadis ini dalam mengmpulkan dana sumbangan lingkuungan hidup> yang di jawab oleh respondence berikutnya, maybe 50 dollar?, 10 dollar? 20 dolar< dan begitu seterusnya.
Survey 3 jam bagi jhon cukup. Apa lagi buat saya. lalu mengapa ada dua jawaban berbeda dari 2 jar berbeda. Kehadiran gadis cantik tadi membuat respondende mau dan berhenti jalan dan melaksanakan survey. Wajah cantik gadis tadi membuat focus mata orang kegsdis tersebut. Itu semua gimmick. Dalam topless oleh jhon yang pertama, di isi dengan koin, receh, 1 cent, penny, nikle, cent cent-an, dan yangpalingbesar coin 1 dollar.
Ternyata responden melirik isi jar secara tidka sadar, walu mata ke gadis cantik tetapi bawah sadar seseroang memerlukan popular decision, memerlukan cosial validation. Coin receh itu refensinya, karena itu mereka menjawab receh.
Begitu jar di ganti dengan uang kertas, 50 dollar, 10 dollar, refernsi bawah sadar kelompok kedua dalam pengambilan putusan yang popular adalah uang kertas tadi.
Itulah sebabbya kalau kita datang ke starbuck, dalam toples pasti buat Tips ada uang kertasnya, banyak, sehingga sewaktu anda ingin memberi tips bukan recehan tetapi uang kertas. Itulah teori “salting the tiping jar”nya jhon. Mudah-mudahan cerita ini manfaat. ‪#‎may‬ peace be upon us