Dalam chating dengan sahabat saya di belahan timur Indonesia, dari
kota makasar bang Akhyar menulis, kayaknya peserta makasar memberikan
50% isi kelas ya. Yang saya jawab sepertinya begitu tapi 2 hari ini bisa
jebol tembok, saya menjawab. Ini adalah kalimat “kiasan” yang
memberikan maksud bahwa 2 hari kedepan peserta bisa melonjak.
Lalu dia bertanya lagi, berapa peserta yang akan ikut MM di hari mingggu
besok?. Saya mengatakan kalau tidak salah yang dari catatan ada 52 yang
daftar 38 sudah bayar, 45 questionaire jawaban masuk. Target di bulan
puasa hanya 50 orang saja kok, Alhamdulillah.
Ini adalah komunikasi hari rabu selasa lalu via chating di FB.
Lalu di hari kamis terdaftar 72 orang! Dimana jumat pagi bang Akhyar
menulis lagi via chating, wah jebol tembok beneran ya mas? Saya
menjawab . lah ini kerjaan saya yang membikin kerjaan panitia jadi
nambah, makanan kurang, kaos kurang, ruangan yg pakai meja di rubah
mungkin ngak pake meja, makalah di tambah, mengerjakan questionaire di
tambah. Yah begini dinamika nya mas, di nikmati temen-teman panitia.
Mereka sudah biasa dengan surprise, keterkejutan seperti ini.
Mereka ngak heran dengan strategi saya yang namanya “social validation” itu.
Nah ini yang jadi banyak pertanyaan mungkin dari para sahabat, apaan
lagi itu “social validation”?. Ini sebenranya ilmu dasar di dunia
psikologi. Bisa tanya dengan teman-teman yang ambil ilmu psikologi. Ini
ilmu awal-awal banget.
Atau teman-teman yang mengajar atau
trainer, mereka semua tahu ilmu ini. Apalagi pakar NLP, hypnotherapy dan
lain sebagainya, tahu banget ilmu ini. Saya mencoba menerangkan namun
kalau perlu penjelasan lanjut, sahabat tahu kemana bertanya khan?.
Inti dari “social validatation” adalah keputusan seseorang tergantung oleh keputusan orang lain.
Misalnya, mengapa di buku laris, di belakangnya banyak komentar dari
orang, terutama orang terkenal, ada artis, ada penyanyi, ada sosialita,
ada dosen, ada menteri ada orang sukses yang mengisi komentar buku itu.
Ketika kita membaca komentar di belakang buku tersebut membuat sepercik
kata dalam otak kecil kita yang membaca, wah kayaknya buku ini bagus.
Banyak orang besar yang berkomentar. Beli ah!
Itu social validation. Keputusan anda karena secara social ini buku pasti valid.
Atau ketika anda datang ke sushi tei resorant jeoang, makan ramen mie
jepang, selalu mengantri di depannya. Dan dalam pilihan anda akan ikut
mengantri walaupun agak lama menikmati ramen tersebut karena di kepala
anda akan terbetik perkataan, kalau rame pasti enak. Dan anda pun
mengantri, walau anda laper sekali dan di resto sebelahnya kosong.
Pengusaha jepang pandai sekali menggunakan social validation ini. Di
dalam walaupun belum terlalu banyak orang, maka pelayan akan mondar
mandir menyiapkan meja, merapihkan, seakan sibuk. Padahal itu hanya efek
psikologis saja menunggu antrian panjangan sedikit yang dalam sebuah
mall, “crowd gathering” seperti ini mudah, memang orang nya yang datang
banyak, tinggak di “catch” di tangkap. Strategi menangkapnya dengan
“social validation” ini.
Disaat buka resto atau café pelayan
akan melakan tamu sesuai unsur psikologi manusia. Bisa anda banyangkan,
masuk kerestorant di mana anda tahu resti anda harga murah, rasa enak,
tempat nyaman sebagai stretegi anda, namun terlihat kosong. Orang ngak
akan masuk, terutama orang baru.
Jadi strategi nya adalah, tamu
awal-awal taruhnya didudukan dekat jendela. Sehingga dari luar telihat
ramai. Dan ketika orang masuk di tahan dulu dengan meja kecil di depan
yang mencatat berapa orang dan nama, teknik membuat antrian. Lalu suruh
mereka meunggu sebentar. Seakan meja sedang disiapkan. Buat pelayan
jalan kesana kemari dengan tergesa-gesa. Seakan akan melayani raja.
Begitu ada antrian kedua, maka yang pertama dipersilahkan masuk. Begitu
banyak yang lihat maka putaran social validationnya mulai bekerja. Resto
penuh!
Dalam pelajaran di kampus dulu, setelah sesi pelajaran
ini biasa otak liar si Jhon selalu iseng. Dalam kelas di asudah
melempar-lempar kertas yang di punter-puntir kea rah saya. dan saya tahu
pasti ada experiment iseng di kepalanya. Saya saya jawan dengan middle
finger saya naikin, common man, f**k it!, males saya sebenarnya. Tapi
dia persistent banget kalau sudah ada mau, ngotot banget.
What’s
up? Itu yang keluar singkat dari mulut saya. you know what… now I know
why we have to salting the tips jar, katanya dengan gaya bicaranya
seperti mata BJ habibie mantan presiden kita yang berbinar-binar kalau
dapet ide.
Tapi kalimat, “meng-garamin gelas toples” apa lagi ini anak punya istilah. Itu isi otak saya bertanya dalam hati.
Jhon melanjutkan, I get this idea when professor Steadler tell story
of social validation is using by Nixon. Steadler adalah dosen psikologi
social favorit kami yang selalu memberikan “personal story” yang
menarik di setiap contoh kasus. Salah satunya dia penasehat mantan
president amerika Nixon.
Waktu itu demo besar-besaran di amerika
menetang invasi amerika di Vietnam. Gallop poll mencatat bahwa 60 %
warga amerika tidak ingin melanjutkan perang di Vietnam. Dan akan di
adakan referendum. Diaman masyarakat akan mengambil pendapat dengan
voting suara.
Sehari sebelum hari H, referendum tersebut, Nixon
berbicara di TV nasional. Dia menggunakan “istilah” social validation.
Nixon memberi kata demikian, terima kasih kepada “great fellow American”
yang memilih silent dan tidak berkoar-koar demo di depan umum selama
ini. Besok saya memanggil anda untuk melakukan referendum. Suara anda
menetukan apakah kita akan melanjutkan perang di Vietnam melawan komunis
atau kita pulang dengan kekalahan.
Kata-kata Great Fellow
American dan silent majority adalah memanipulasi otak pemirsa bahwa, iya
juga ya,.yang berkoar-koar adalah pecundang yang sedikit, mereka
screaming minoritas sebenranya.
Anda pasti tahu kelanjutan cerita
ini, dimana hasil referendum mendapatkan suara 77% setuju rakyat
amerika berperang di Vietnam di lanjutkan. Itulah keputusan seseroang
berdasar “kepopuleran” , great fellow, majority yang di image kan.
Jadi, ketika jhon bilang dia dapat ide dari cerita Nixon saya ngak
nyambung, test apa yang bakal dilakukan dengan “saliting the jar”?
This what we gonna do at student center. Find me a nice pretty girl. 2
of them minimum. Coucasion but tan, brunette dan dia merinci detail,
harus bule, tapi matanya agak orientalis sipit – puppy eyes, rambut
hitam, jangan terlalu tinggi, bola mata hitam atau dark brown.
Saya bilang, why its so jhon, you creazy gigs..creazy gig adalah nickname jhon yang saya kasih.
Blond girl , blue eye, itu cantik tapi tidak mewakili banyak ras dan
etnic, rambut hitam di dunia ini 70%, mata kecil 55%, tan color skin
bahkan gelap warna kulit merupakan 70% manusia, bola mata hitam dan
coklat juga 70% manusia dunia. Jadi seseroang dengan spesifikasdi itu
disukai mayoritas. Ingat kita sedang membuat analisa berdasarkan
populeritas, social validation.
Yang saya jawab, where do I get
this kind of girls? ..i don’t know, use your intuition rowing guy,
because you your self are almost represent those human liking
possibility. Wah begitu jhon bilang saya juga mewakili “kesukaan”
manusia terbanyak yaitu mata sipit, rambut hitam, ngak terlalu tinggi,
geer banget ogut, walking on the moon, terbaaaaang.
Jalan saya
langsung chest up, dada membusung, superhero efeect langsung saya main
kan. Saya jalan dengan percaya diri, saya sudah di sihir sama si Jhon
ontohod itu. Jadi ketika ketemu cewe dengan spesifikasi tersebut saya
langsung sapa dengan pedenya. Execuse me, would you like to be one of
our respondences on social psycholgy experiment? It’s a call “ salting
the tipping jar”.
Dan heran saya, 5 cewe saya dekati dan
memintanya, semua mereka jawab, ok, its sound nice, sound great?!..saya
heran kok pada mau ya. Dan ini membuat saya geer berlebihan, kayaknya
memang saya masuk “most human liking possibility” haha. Dikemudian hari
ternyata saya tahu, yang meng-hipnotis mereka adalah kata-kata ngak
umum “meng-garemin topless” nya lah yang mempengaruhi otak seseroang,
bukan saya ...
Hari H experiment. Cewe cantik tadi suruh stand
still berdiri diam saja dan tersenyum. Di depan nya ada jar toples, dan
di belakangnya ada spanduk lingkungan hidup. Dan kita, saya dan jhon
menyapa orang yang lewat.
Kita bertanya kepada yang lewat..hai
mohon waktu sebentar..kami mohon bantuan anda. gadis cantik ini sedang
“mengumpulkan dana” fund raising untuk lingkungan. Kira-kira menurut
anda..orang-orang akan menyumbang berapa di dalam jar toples ini?
Mereka menjawab, 1 dollar?, lalu yang lainya , 2 dollar?, lainya lagi 50 cent?. Satu dolar, a bug, a nickel? Begitu seterusnya.
Lalu jhon ganti jar topless nya dan kami memberikan pertanyaan yang
sama. Kira-kira, berapa donasi yang akan di berikan oelh orang untuk
membantu gadis ini dalam mengmpulkan dana sumbangan lingkuungan
hidup> yang di jawab oleh respondence berikutnya, maybe 50 dollar?,
10 dollar? 20 dolar< dan begitu seterusnya.
Survey 3 jam bagi
jhon cukup. Apa lagi buat saya. lalu mengapa ada dua jawaban berbeda
dari 2 jar berbeda. Kehadiran gadis cantik tadi membuat respondende mau
dan berhenti jalan dan melaksanakan survey. Wajah cantik gadis tadi
membuat focus mata orang kegsdis tersebut. Itu semua gimmick. Dalam
topless oleh jhon yang pertama, di isi dengan koin, receh, 1 cent,
penny, nikle, cent cent-an, dan yangpalingbesar coin 1 dollar.
Ternyata responden melirik isi jar secara tidka sadar, walu mata ke
gadis cantik tetapi bawah sadar seseroang memerlukan popular decision,
memerlukan cosial validation. Coin receh itu refensinya, karena itu
mereka menjawab receh.
Begitu jar di ganti dengan uang kertas, 50
dollar, 10 dollar, refernsi bawah sadar kelompok kedua dalam
pengambilan putusan yang popular adalah uang kertas tadi.
Itulah
sebabbya kalau kita datang ke starbuck, dalam toples pasti buat Tips ada
uang kertasnya, banyak, sehingga sewaktu anda ingin memberi tips bukan
recehan tetapi uang kertas. Itulah teori “salting the tiping jar”nya
jhon. Mudah-mudahan cerita ini manfaat. #may peace be upon us