Di tahun 1995 tepat tiga tahun perusahaan PT Megasino
Investama berjalan, sebuah usaha yang kami buat untuk seorang investor kalau
punya uang lebih tidak perlu meletakkan di bank, tapi dapat diputar langsung di
divisi treasury yang kami retail dan secara legalitas perusahaan memang
seharusnya hanya bank yang boleh lakukan hal tersebut. Namun kami melihat hal ini masih grey
area sehingga kami berani mengambil momentum tersebut walaupun tidak didukung
legalitas yang memang belum ada juklaknya, seperti rumusan entrepreneur, berani saja dulu nanti pasti keluar
ilmu survive-nya. Ini sebuah pelajaran yang mendalam buat saya pribadi hingga
saat ini untuk hal-hal yang berbau legalitas.
Kami bertumbuh sangat pesat bahkan
modal investasi kami kembali dalam tempo hanya tiga bulan, sehingga bagi seorang
bujangan seperti saya semuanya bagaikan too good to be true, terlalu indah untuk bisa dipercaya.
Kami bermain dengan tanpa kompetitor. Memiliki 150 karyawan, 40 orang berpendidikan S2 dan 50 persen adalah mereka yang menamatkan
studinya di luar negeri. Bagi saya sebuah prestasi yang cukup baik.
Pertumbuhan bisnis kami yang cepat
membuat beberapa bank cemas karena banyaknya klien yang berpindah ke tempat
kami karena gain yang kami berikan lebih baik. Memiliki banyak profesional,
menuntut
saya mengejar banyak hal seperti up date informasi dan pengetahuan sehingga
banyak seminar dan short course saya lahap untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman. Bekerja sambil belajar ini membuat tekanan kerja yang sangat
tinggi. Sebagai direktur operasi dan pemilik saham saya dikejar oleh target
pribadi dan korporat yang tinggi.
Olahraga seminggu tiga kali diusahakan di tengah-tengah
keseharian bukan menghilangkan stress tapi hanya memindahkan tekanan tersebut.
Di tahun kedua ini kompetitor mulai
melancarkan serangan promosi dan inovasi produk yang menarik. Namun ada hal yang paling parah
adalah adanya surat panggilan dari delapan departemen yang terkait menanyakan
status hukum perusahaan kami. Yang seharusnya bernaung di bawah lembaga
keuangan. Kejaksaan, Deperindag, Depkeu, Kepolisian, dan sisanya saya lupa,
memanggil saya dalam sebuah rapat yang tak lain adalah pemvonisan. Saya dan
beberapa manajemen inti ditanyakan, yang secara teknis, kami bisa menjawab.
Namun tekanan kekhawatiran di kantor membuat karyawan ragu untuk bekerja,
jangan-jangan akan ditutup perusahaan ini. Mereka mulai melakukan tekanan pada manajemen
untuk uang pesangon dan hak lainnya. Tidak ada yang menjalankan roda bisnis
sehingga untuk membayar overhead kantor, maka tambahan dana equity call bagi
share holder harus keluar kembali dari kantong pemilik. Kompetitor yang
legalitasnya solid menggerogoti profesional kami yang sedang oleng belief-nya.
Tekanan demi tekanan saya hadapi
sehingga stress yang tinggi ini saya putuskan, saya likuidasi, perusahaan stop operasi
karena keputusan perizinan yang mengambang dan susahnya memutar roda bisnis karena
keyakinan semua orang rendah. Segala persiapan sudah dilakukan. Bagi seorang
yang baru menjadi pengusaha yang saat itu berumur 28 tahun saya tidak punya
siapa-siapa untuk berharap dan meminta bantuan. Saya ingat satu-persatu kami harus menuntaskan banyak
persoalan dan dengan hati gundah. Keputusan saya menutup perusahaan yang telah banyak mengajari
saya akan entrepreneurship terjadi, berakhir sudah jaman keemasan tersebut.
Saya merasakan tekanan bertubi-tubi,
bagaimana memberi pesangon karyawan yang mencapai 150 orang, bagaimana
menghadapi nasabah, bagaimana menghadapai manajemen puncak dan pemegang saham, bagaimana
berhadapan dengan delapan departemen yang setiap departemen melakukan tekanan. Sisi
legal perusahaan saya tidak ada, saya tidak menyiapkan diri untuk badai seperti
ini.
Satu-persatu saya hadapi masalah dan yang saya
fokuskan yang keluar dulu, masalah hukum, izin dan pemegang birokrasi. Lalu
yang internal saya carikan solusi yaitu memperkerjakan karyawan saya ke teman
yang membutuhkan. Dengan kata lain saya carikan kerjaan. Dalam dua bulan saya lakukan sendiri dan
sampailah tinggal beberapa karyawan saja. Yang tersisa juga masih tertinggal
lima orang expatriate — warga asing — karyawan saya. Lalu saya menghadapi seluruh nasabah
satu-persatu saya jelaskan kondisi perusahaan, dan akhirnya saya putuskan
secara resmi ditutup.
Saya putuskan jam sembilan pagi kala itu, sehingga sampai
siang saya bisa menyelesaikan seluruh tanggung jawab perusahaan kepada
internal. Jam empat
sore seorang kurir
datang menemui saya. Dia
berkata dengan sopan, “Saya mau ketemu dengan direktur atau pemilik perusahaan.”
“Ya saya, ada apa, Mas?”
“Oo, ini Pak, surat resmi dari pihak kejaksaan
dan departemen terkait masalah perusahaan bapak. Minta tanda tangan sebagai
bukti tanda terima, Pak.”
Dengan santai saya langsung buka
surat tersebut yang ditandatangani seluruh pimpinan departemen terkait yang
memanggil kami.Tertulis
begini, menimbang… mengingat… memutuskan… PT Megasino Investama tidak
ditemukan unsur yang merugikan dan diwajibkan melengkapi perizinan depertemen
terkait yang kesemuanya sudah disetujui dengan surat ini perusahaan DAPAT
MENJALANKAN BISNIS SEPERTI BIASA, terima kasih.
Lemas saya seketika, seluruh tulang
saya seakan copot. Saya terdiam lama, nasi telah menjadi bubur. Ternyata masih
boleh berbisnis. Namun saya sudah membuat keputusan. Sebuah keputusan yang buru-buru. Sebuah tindakan tanpa pikir
panjang dalam stress dan kepanikan. Hal ini saya bayar dengan mahal, SDM
terbaik sudah pindah, peralatan sudah dijual, infrasturktur sudak tidak siap,
dan peristiwa ini selalu teringat dalam diri saya sebagai sebuah pengayaan
pengalaman dan mental.