Rabu, 28 Oktober 2015

PT. MEGASINDO INVESTAMA



Di tahun 1995 tepat tiga tahun perusahaan PT Megasino Investama berjalan, sebuah usaha yang kami buat untuk seorang investor kalau punya uang lebih tidak perlu meletakkan di bank, tapi dapat diputar langsung di divisi treasury yang kami retail dan secara legalitas perusahaan memang seharusnya hanya bank yang boleh lakukan hal tersebut. Namun kami melihat hal ini masih grey area sehingga kami berani mengambil momentum tersebut walaupun tidak didukung legalitas yang memang belum ada juklaknya, seperti rumusan entrepreneur, berani saja dulu nanti pasti keluar ilmu survive-nya. Ini sebuah pelajaran yang mendalam buat saya pribadi hingga saat ini untuk hal-hal yang berbau legalitas.
Kami bertumbuh sangat pesat bahkan modal investasi kami kembali dalam tempo hanya tiga bulan, sehingga bagi seorang bujangan seperti saya semuanya bagaikan too good to be true, terlalu indah untuk bisa dipercaya. Kami bermain dengan tanpa kompetitor. Memiliki 150 karyawan, 40 orang berpendidikan S2 dan 50 persen adalah mereka yang menamatkan studinya di luar negeri. Bagi saya sebuah prestasi yang cukup baik.
Pertumbuhan bisnis kami yang cepat membuat beberapa bank cemas karena banyaknya klien yang berpindah ke tempat kami karena gain yang kami berikan lebih baik. Memiliki banyak profesional, menuntut saya mengejar banyak hal seperti up date informasi dan pengetahuan sehingga banyak seminar dan short course saya lahap untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Bekerja sambil belajar ini membuat tekanan kerja yang sangat tinggi. Sebagai direktur operasi dan pemilik saham saya dikejar oleh target pribadi dan korporat yang tinggi.
Olahraga seminggu tiga kali diusahakan di tengah-tengah keseharian bukan menghilangkan stress tapi hanya memindahkan tekanan tersebut.
Di tahun kedua ini kompetitor mulai melancarkan serangan promosi dan inovasi produk yang menarik. Namun ada hal yang paling parah adalah adanya surat panggilan dari delapan departemen yang terkait menanyakan status hukum perusahaan kami. Yang seharusnya bernaung di bawah lembaga keuangan. Kejaksaan, Deperindag, Depkeu, Kepolisian, dan sisanya saya lupa, memanggil saya dalam sebuah rapat yang tak lain adalah pemvonisan. Saya dan beberapa manajemen inti ditanyakan, yang secara teknis, kami bisa menjawab. Namun tekanan kekhawatiran di kantor membuat karyawan ragu untuk bekerja, jangan-jangan akan ditutup perusahaan ini. Mereka mulai melakukan tekanan pada manajemen untuk uang pesangon dan hak lainnya. Tidak ada yang menjalankan roda bisnis sehingga untuk membayar overhead kantor, maka tambahan dana equity call bagi share holder harus keluar kembali dari kantong pemilik. Kompetitor yang legalitasnya solid menggerogoti profesional kami yang sedang oleng belief-nya.
Tekanan demi tekanan saya hadapi sehingga stress yang tinggi ini saya putuskan, saya likuidasi, perusahaan stop operasi karena keputusan perizinan yang mengambang dan susahnya memutar roda bisnis karena keyakinan semua orang rendah. Segala persiapan sudah dilakukan. Bagi seorang yang baru menjadi pengusaha yang saat itu berumur 28 tahun saya tidak punya siapa-siapa untuk berharap dan meminta bantuan. Saya ingat satu-persatu kami harus menuntaskan banyak persoalan dan dengan hati gundah. Keputusan saya menutup perusahaan yang telah banyak mengajari saya akan entrepreneurship terjadi, berakhir sudah jaman keemasan tersebut.
Saya merasakan tekanan bertubi-tubi, bagaimana memberi pesangon karyawan yang mencapai 150 orang, bagaimana menghadapi nasabah, bagaimana menghadapai manajemen puncak dan pemegang saham, bagaimana berhadapan dengan delapan departemen yang setiap departemen melakukan tekanan. Sisi legal perusahaan saya tidak ada, saya tidak menyiapkan diri untuk badai seperti ini.
Satu-persatu saya hadapi masalah dan yang saya fokuskan yang keluar dulu, masalah hukum, izin dan pemegang birokrasi. Lalu yang internal saya carikan solusi yaitu memperkerjakan karyawan saya ke teman yang membutuhkan. Dengan kata lain saya carikan kerjaan. Dalam dua bulan saya lakukan sendiri dan sampailah tinggal beberapa karyawan saja. Yang tersisa juga masih tertinggal lima orang expatriate warga asing karyawan saya. Lalu saya menghadapi seluruh nasabah satu-persatu saya jelaskan kondisi perusahaan, dan akhirnya saya putuskan secara resmi ditutup.
Saya putuskan jam sembilan pagi kala itu, sehingga sampai siang saya bisa menyelesaikan seluruh tanggung jawab perusahaan kepada internal. Jam empat sore seorang kurir datang menemui saya. Dia berkata dengan sopan, “Saya mau ketemu dengan direktur atau pemilik perusahaan.”
Ya saya, ada apa, Mas?
Oo, ini Pak, surat resmi dari pihak kejaksaan dan departemen terkait masalah perusahaan bapak. Minta tanda tangan sebagai bukti tanda terima, Pak.
Dengan santai saya langsung buka surat tersebut yang ditandatangani seluruh pimpinan departemen terkait yang memanggil kami.Tertulis begini, menimbang… mengingat… memutuskan… PT Megasino Investama tidak ditemukan unsur yang merugikan dan diwajibkan melengkapi perizinan depertemen terkait yang kesemuanya sudah disetujui dengan surat ini perusahaan DAPAT MENJALANKAN BISNIS SEPERTI BIASA, terima kasih.
Lemas saya seketika, seluruh tulang saya seakan copot. Saya terdiam lama, nasi telah menjadi bubur. Ternyata masih boleh berbisnis. Namun saya sudah membuat keputusan. Sebuah keputusan yang buru-buru. Sebuah tindakan tanpa pikir panjang dalam stress dan kepanikan. Hal ini saya bayar dengan mahal, SDM terbaik sudah pindah, peralatan sudah dijual, infrasturktur sudak tidak siap, dan peristiwa ini selalu teringat dalam diri saya sebagai sebuah pengayaan pengalaman dan mental.