Saya
keinget tahun 2009 ketika Mas Kirdi
datang ke rumah saya dan mukanya bĂȘte. Nggak ada ba-bi-bu langung banting
amplop di meja dan duduk di sofa batu bale bengong di halaman belakang rumah.
“Mas, ini harus ada yang dikoreksi dari ilmu yang kita pelajari…” kata Kirdi
sambil memonyongkan bibirnya ke arah amplop. Tiket naik haji.
“Emang
kenapa?” saya bertanya sambil mengambil tiket naik haji Kirdi dan membukanya.
“Iya,
khan saya sering mengajarkan ada yang namanya teori broadcasting, bahwa kita
mendapat apa yang kita inginkan. Apa yang kita dapatkan tergantung dari apa
yang kita broadcast (kirim),” Kirdi menjawab.
“Betul
dan setuju,” saya jawab.
“Nah,
saya tidak pernah menganggap berangkat haji itu harus. Sampai saat ini saya
malah menganggapnya wasting money. Saya tidak pernah berniat naik haji. Tidak
ada dalam benak saya untuk naik haji,” kata Kirdi.
“Terus?”
“Iya…
berarti teori kita ada yang salah. Saya tidak pernah berniat naik haji, tapi
kenapa ada orang yang memberi saya tiket untuk naik haji? Bulan depan harus
berangkat. Bagaimana menjelaskannya? Saya tidak pernah me-broadcast haji!”
Kirdi masih mengejar jawaban yang memuaskan hatinya.
Lama
saya terdiam.
Tiba-tiba
saya teringat sesuatu di tahun 2002. “Sebentar… sebentar. Inget nggak Kirdi
pernah mengucapkan sesuatu sewaktu kita traning tujuh hari di Gowa, India,
tahun 2002?!”
Kirdi
termenung.
“Rasanya
waktu itu kalau nggak salah denger Kirdi ngucap... pengen merasakan training
dahsyat jauh lebih dahsyat dari training di Gowa-India ini. Yang menurut Kirdi rasanya nggak bakalan ada training
yang lebih dahsyat impact-nya, pengaruhnya, dari training di Gowa ini.
Bener khan?” saya bertanya.
“Lalu,
pernah nggak Kirdi menantang semesta untuk menunjukkan sebuah waktu, sebuah
tempat yang dapat mengubah diri lebih dahsyat dari terapi apa pun dari training
apa pun yang membentuk manusia baru dengan drastis? Atau adakah keinginan yang
kuat untuk melakukan sesuatu yang baru sehingga bisa menjadi manusia baru yang
lebih baik?”
“Pernah.
Khan sudah pernah sering saya ucapkan. Saya ingin berada di suatu tempat yang
membuat saya berubah drastis jauh lebih hebat dari semua training yang saya
pernah dapati. Persis seperti yang saya sampaikan setelah training tujuh hari
di Gowa-India,” Kirdi menjawab.
“Nah, kamu menentukan nggak tempatnya di
mana?”
“Nggak, saya cuma ingin berada di suatu
tempat saja,” Kirdi kayaknya mulai menemukan sebuah gambaran.
“Nah, kamu memohon ke alam semesta, dan
semesta menjawabnya. Naik haji itu jawaban alam semesta,” saya mencoba
menjelaskan.
“Maksudnya…?”
Kirdi masih bingung, tapi rasanya mulai ada sesuatu dalam pikirannya.
“Ya…
alam semesta kadang memberikan jawaban pada inti esensi, jadi sering tidak sama
dengan yang kita gambarkan. Apalagi untuk permohonan-permohonan yang abstrak
dan normatif,” saya mencoba menjelaskan.
“Naik
haji itu yang akan mengubah kamu dalam sekejap, percayalah.”
Kirdi
terdiam, pikirannya bekerja, wajahnya melunak, duduknya santai, nafasnya
perlahan…
Sepulang
haji…
Rasanya
badan dia masih bau onta dah... langsung dia ke kantor saya di Jalan Sanjaya.
“Mas…ini
pengalaman gila. Ini asli aplikasi ilmu hypnotherapy.”
Waduh...
kenapa nih Kirdi.
“Bayangin,
Mas, waktu wukuf di Arafah, itu khan teknik time line... jadi saya regresi
mundur pelan-pelan, dari waktu hidup saya sekarang sampai waktu nol bayi.
Setiap sesi masa regresi saya lakukan forgive of self dan forgive of other.
Wuuiiih, dahsyat badan rasanya ringaaaaan banget. Abis itu lempar jumrah... itu
khan terapi magic ball. Visualkan dan buang tuh masalah, problem, benci, takut,
dan lain-lain.”
“Kemudia
thawaf... itu khan circle of exelence, kelima teknik semua saya kerjakan, saya
praktekkan, saya lakukan aja circle di depan Multazam, di Hijir Ismail, di
Hajar Aswad broadcast ini itu, script ini itu di-implant deh,” Kirdi nyerocos
kayak senapan mesin Jerman.
Banyak
lagi teknik hypnotherapy yang dia utarakan atau disinonimkan dengan kegiatan
ibadah haji baik yang wajib juga yang sunnah. Sa’i, qurban, miqod, ihram, dan
lain sebagainya dengan nama-nama hypnotherapy yang nggak habis-habis dia
uraikan rasanya.
Lanjutnya,
“Thawaf wada terakhir itu khan projected imaginary... Wah, segala broadcast dihajar sudah.
Wah, dahsyat, Mas! Ternyata Nabi Ibrahim itu seorang hypnotherapy. Nggak banyak
teori kayak saya, ngajar dua ratus jam ilmu hypnotherapy. Nabi Ibrahim praktek
langsung. Ikuti haji sama dengan ikut sesi terapi yang merubah manusia menjadi
orang baru, mesin di-tune up. Saya ngajar dan terapi sudah ke sana kemari. Ehh,
dengan haji... blas semua terang, jelas, sembuh, happy, instant. Dan benar,
Mas... pengalaman haji is the best.”
Ya
begini lah kalo hypnotherapist naik haji… kata saya dalam hati.
Kirdi
berangkat dan pulang berhaji pastinya menjadi salah satu jamaah yang paling
menikmati perjalanan hajinya. Ilmu hypnotherapy yang didalaminya seolah
berulang di Rumah Allah. Setiap detiknya seperti me-charge jiwanya. Lebih dari
100 persen ilmu hypnotherapy yang dipelajarinya mewujud dalam setiap ibadah
haji, mulai dari thawaf, jumrah, sa’i dan semuanya. Kirdi seperti masuk kelas
lagi, seperti di sesi terapi tetapi kali ini dengan
kecepatan tinggi.
Kirdi
pernah meminta, dan dijawab Alloh dengan jawaban yang lebih indah, lebih
nikmat, dan di ujungnya dia menyesali dan meminta
ampun atas prasangka buruknya sebelum berhaji. Setelah berhaji
bersyukur nggak berhenti-henti yang membuat nikmat makin bertambah.
Jangan
berhenti meminta sesuatu kepada Alloh,me-broadcast
kepada pemilik semesta. Dan selalu bersiap untuk surprise dengan jawabnya yang
datang dengan berbagai bentuk hanya untuk membuat kita semua selalu rendah
hati.