Rabu, 28 Oktober 2015

HYPNOTHERAPIST NAIK HAJI




Saya keinget tahun 2009 ketika Mas Kirdi datang ke rumah saya dan mukanya bĂȘte. Nggak ada ba-bi-bu langung banting amplop di meja dan duduk di sofa batu bale bengong di halaman belakang rumah. “Mas, ini harus ada yang dikoreksi dari ilmu yang kita pelajari…” kata Kirdi sambil memonyongkan bibirnya ke arah amplop. Tiket naik haji.
“Emang kenapa?” saya bertanya sambil mengambil tiket naik haji Kirdi dan membukanya.
“Iya, khan saya sering mengajarkan ada yang namanya teori broadcasting, bahwa kita mendapat apa yang kita inginkan. Apa yang kita dapatkan tergantung dari apa yang kita broadcast (kirim),” Kirdi menjawab.
“Betul dan setuju,” saya jawab.
“Nah, saya tidak pernah menganggap berangkat haji itu harus. Sampai saat ini saya malah menganggapnya wasting money. Saya tidak pernah berniat naik haji. Tidak ada dalam benak saya untuk naik haji,” kata Kirdi.
“Terus?”
“Iya… berarti teori kita ada yang salah. Saya tidak pernah berniat naik haji, tapi kenapa ada orang yang memberi saya tiket untuk naik haji? Bulan depan harus berangkat. Bagaimana menjelaskannya? Saya tidak pernah me-broadcast haji!” Kirdi masih mengejar jawaban yang memuaskan hatinya.
Lama saya terdiam.
Tiba-tiba saya teringat sesuatu di tahun 2002. “Sebentar… sebentar. Inget nggak Kirdi pernah mengucapkan sesuatu sewaktu kita traning tujuh hari di Gowa, India, tahun 2002?!”
Kirdi termenung.
“Rasanya waktu itu kalau nggak salah denger Kirdi ngucap... pengen merasakan training dahsyat jauh lebih dahsyat dari training di Gowa-India ini. Yang menurut Kirdi rasanya nggak bakalan ada training yang lebih dahsyat impact-nya, pengaruhnya, dari training di Gowa ini. Bener khan?” saya bertanya.
“Lalu, pernah nggak Kirdi menantang semesta untuk menunjukkan sebuah waktu, sebuah tempat yang dapat mengubah diri lebih dahsyat dari terapi apa pun dari training apa pun yang membentuk manusia baru dengan drastis? Atau adakah keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang baru sehingga bisa menjadi manusia baru yang lebih baik?”
“Pernah. Khan sudah pernah sering saya ucapkan. Saya ingin berada di suatu tempat yang membuat saya berubah drastis jauh lebih hebat dari semua training yang saya pernah dapati. Persis seperti yang saya sampaikan setelah training tujuh hari di Gowa-India,” Kirdi menjawab.
“Nah, kamu menentukan nggak tempatnya di mana?”
“Nggak, saya cuma ingin berada di suatu tempat saja,” Kirdi kayaknya mulai menemukan sebuah gambaran.
“Nah, kamu memohon ke alam semesta, dan semesta menjawabnya. Naik haji itu jawaban alam semesta,” saya mencoba menjelaskan.
“Maksudnya…?” Kirdi masih bingung, tapi rasanya mulai ada sesuatu dalam pikirannya.
“Ya… alam semesta kadang memberikan jawaban pada inti esensi, jadi sering tidak sama dengan yang kita gambarkan. Apalagi untuk permohonan-permohonan yang abstrak dan normatif,” saya mencoba menjelaskan.
“Naik haji itu yang akan mengubah kamu dalam sekejap, percayalah.”
Kirdi terdiam, pikirannya bekerja, wajahnya melunak, duduknya santai, nafasnya perlahan…

Sepulang haji…
Rasanya badan dia masih bau onta dah... langsung dia ke kantor saya di Jalan Sanjaya.
“Mas…ini pengalaman gila. Ini asli aplikasi ilmu hypnotherapy.”
Waduh... kenapa nih Kirdi.
“Bayangin, Mas, waktu wukuf di Arafah, itu khan teknik time line... jadi saya regresi mundur pelan-pelan, dari waktu hidup saya sekarang sampai waktu nol bayi. Setiap sesi masa regresi saya lakukan forgive of self dan forgive of other. Wuuiiih, dahsyat badan rasanya ringaaaaan banget. Abis itu lempar jumrah... itu khan terapi magic ball. Visualkan dan buang tuh masalah, problem, benci, takut, dan lain-lain.”
“Kemudia thawaf... itu khan circle of exelence, kelima teknik semua saya kerjakan, saya praktekkan, saya lakukan aja circle di depan Multazam, di Hijir Ismail, di Hajar Aswad broadcast ini itu, script ini itu di-implant deh,” Kirdi nyerocos kayak senapan mesin Jerman.
Banyak lagi teknik hypnotherapy yang dia utarakan atau disinonimkan dengan kegiatan ibadah haji baik yang wajib juga yang sunnah. Sa’i, qurban, miqod, ihram, dan lain sebagainya dengan nama-nama hypnotherapy yang nggak habis-habis dia uraikan rasanya.
Lanjutnya, “Thawaf wada terakhir itu khan projected imaginary... Wah, segala broadcast dihajar sudah. Wah, dahsyat, Mas! Ternyata Nabi Ibrahim itu seorang hypnotherapy. Nggak banyak teori kayak saya, ngajar dua ratus jam ilmu hypnotherapy. Nabi Ibrahim praktek langsung. Ikuti haji sama dengan ikut sesi terapi yang merubah manusia menjadi orang baru, mesin di-tune up. Saya ngajar dan terapi sudah ke sana kemari. Ehh, dengan haji... blas semua terang, jelas, sembuh, happy, instant. Dan benar, Mas... pengalaman haji is the best.”
Ya begini lah kalo hypnotherapist naik haji… kata saya dalam hati.
Kirdi berangkat dan pulang berhaji pastinya menjadi salah satu jamaah yang paling menikmati perjalanan hajinya. Ilmu hypnotherapy yang didalaminya seolah berulang di Rumah Allah. Setiap detiknya seperti me-charge jiwanya. Lebih dari 100 persen ilmu hypnotherapy yang dipelajarinya mewujud dalam setiap ibadah haji, mulai dari thawaf, jumrah, sa’i dan semuanya. Kirdi seperti masuk kelas lagi, seperti di sesi terapi tetapi kali ini dengan kecepatan tinggi.
Kirdi pernah meminta, dan dijawab Alloh dengan jawaban yang lebih indah, lebih nikmat, dan di ujungnya dia menyesali dan meminta ampun atas prasangka buruknya sebelum berhaji. Setelah berhaji bersyukur nggak berhenti-henti yang membuat nikmat makin bertambah.
Jangan berhenti meminta sesuatu kepada Alloh,me-broadcast kepada pemilik semesta. Dan selalu bersiap untuk surprise dengan jawabnya yang datang dengan berbagai bentuk hanya untuk membuat kita semua selalu rendah hati.