Di Ramtha School, hari pertama seratus
sepuluh orang murid hadir. Dari sepuluh negara. Ada India, Australia,
Philipina, Malaysia, Kamboja, Hongkong, Jepang, Amerika, Inggris, terakhir dari
Iran. Saya satu-satunya dari
Indonesia.
Hari pertama perkenalan, masing-masing cerita jalan hidup mereka, masing-masing sharing — berbagi
— sedetail dan serinci mungkin. Wah... seperti
film drama. Ceritanya seram-seram.
Menegangkan. Taruhan nyawa hilang dan anggota keluarga yang meninggal terbunuh
hal yang biasa. Parah semua kondisinya. Ada yang usia 55 tahun, selama empat
puluh tahun bekerja hanya untuk membayar hutang, ada yang bangkrut berhutang
dengan gank mafia, ada yang dikejar-kejar triad dan dibunuh keluarganya, ada
yang ditipu habis-habisan oleh keluarga sendiri, wah sulit dibayangkan cerita
jalan hidup mereka. Bahkan seratus kali mendengar cerita masing-masing, seratus
kali saya menangis. Saya tentu tidak boleh menceritakan rincian cerita mereka
karena ini menjadi rahasia di antara
kami.
Di mana kami seakan sudah menjadi saudara
sependeritaan, common sorrow. Jalan hidup saya jika mendengar cerita mereka
menjadi tak sebanding, tak ada apa-apanya.
Hari berikutnya, sang instruktur
menceritakan jalan hidup mereka. Sama saja awalnya kusut semua. Mereka berlima.
Masih muda. Yang paling tua baru 35 tahun. Namun rekening mereka paling sedikit
AUD $ 6.000.000.
“Diampuuut...!” ujar saya dalam hati berkali-kali.
Milionaire mindset diajar oleh millionaire. Ok, ini benar. Ini adil. Kami
dilihatkan ke ATM dana mereka. Mereka tidak dusta. Diperlihatkan keesokan
harinya bagaimana uang itu datang ke mereka.
Mulai melek mata saya. Mulai lompatan-lompatan kecil liar di otak berjalan. Aha... aha... itu berkali-kali.
Hari berikutnya. Pelajaran dimulai. Formasi setengah lingkaran. Tanpa meja.
Pelajaran trespassing namanya. Teritori ego kami akan diterabas, akan dicross,
akan dilewati, siap-siap marah,
siap-siap
tersusuk hatinya. Kami
peserta diberi pertanyaan, “How is the money come to you? Bagaimana uang datang ke Anda?”
Seluruh peserta mendapat giliran,
kalau disamaratakan semua menjawab “DENGAN BEKERJA”.
Pertanyaan berikutnya, “Kalau Anda tidak ada uang apa yang Anda
lakukan?”
Seluruh peserta berbicara
bergantian, kesimpulan... “Mencari kerjaan. Karena dengan bekerja kita mendapat
uang.”
Pertanyaan berikutnya, “Kalau Anda
bekerja apa yang Anda peroleh?”
Seluruh peserta menjawab, “UANG!”
Pertanyaan berikutnya, “JADI
BEGITULAH CARA KERJA OTAK ANDA! Untuk mendapat uang Anda harus bekerja.”
Kita stop sebentar. Ada yang salah
dari pernyataan di atas?
Tentu tidak bukan?
Inilah pertanyaan dan pernyataan
selanjutnya. Bisakah Anda tidak bekerja, Anda dapat uang? Otak saya kram,
macet.
Kemudian terdengar suara instruktur
melanjutkan...“Karena Anda berfikir uang datang kalau bekerja, kalau tidak
punya uang Anda mencari kerjaan, dan Anda pikir Anda mendapat uang, padahal itu
hanya menyambung hidup, di akhir bulan uang Anda habis lagi, dan Anda bekerja
lagi, begitu roda kehidupan yang Anda putar, BENAR?”
Otak saya berhenti. Rasanya tidak
ada yang salah. Bukankah itu pemahaman yang umum? Uang didapat dengan bekerja.
Gak kerja ya gak dapat duit.
Pertanyaan berikut agak menohok
saya. “Anda ber-Tuhan, Mr
Mardigu, Anda percaya Tuhan?”
“Ya, pasti.”
“Tuhan Anda bisa apa?”
Duh, kalau ini bukan pelajaran
trespassing sudah ngamuk saya. “Tuhan saya bisa segalanya. Tak terhingga,”
jawab saya dengan nada tidak nyaman.
Instruktur bernama Geoff mendekat,
“Tuhanmu tak terhingga bisa ngapain aja, bisa semuanya? Bisakah Anda meminta pada Tuhan. Kamu di
rumah, duduk dengan orang yang mencitaimu dan yang kamu cintai, mengerjakan
sesuatu menjadi kesukaanmu, UANGMU TAK TERHINGGA. Bisa gak?!”
Saya gelagepan.
Ditekan lagi saya, “Bisakah Tuhanmu
mendatangkan uang padamu tanpa kerja? Hanya mengerjakan yang kau cintai, DAPAT
UANG TAK TERHINGGA, bisakah?”
“Bisa!” jawab saya keras
“Kenapa kamu tidak minta itu?
Kenapa kamu tidak minta kepada Tuhan, ‘Yaa Tuhan... saya mau berkumpul dengan
orang yang saya cintai, mengerjakan sesuatu yang saya sukai, menyenangkan
banyak orang, santai, membuat sehat, membuat pinter, membantu alam, dan dapat
duit tak terhingga...’ kenapa nggak minta kayak gitu? Kenapa nggak taruh kata-kata
itu dalam pikiranmu? Kenapa
malah milih yang repot, yang capek,
yang buat frustasi hanya untuk dapat
duit?! Kenapa minta kerja baru dapat uang?!” nada suaranya meninggi dan
mengeras.
Saya tidak menjawab, saya ya juga
bingung. Kenapa saya mau dapat uang harus kerja? Kenapa nggak diem aja atau
mengerjakan sesuatu yang enak dan santai aja? Tapi kenyataanya khan orang harus
kerja juga apa pun itu? Buktinya
banyak orang yang santai-santai malah masuk jurang kemiskinan. Ini maksudnya
saya harus apa ya?!
Geoff menekan saya lagi, “Kalau
Anda datang ke sini masih
mempertahankan dan mempertanyakan hal-hal dasar, Anda siap-siap kecewa. Kalau Anda percaya Anda yang
menentukan nasib Anda, siap-siap terkejut.
Kalau Anda percaya nasib bukan di tangan
Anda, Anda pasti kecewa. Kalau Anda percaya Tuhan bisa melakukan apa pun Anda pasti mendapat sesuatu. Kalau
Anda percaya garis tangan sudah ditentukan sebelumnya Anda pasti frustasi,
kalau Anda percaya Anda menulis jalan hidup Anda sendiri Anda pasti menemukan
jalan keluar. Kalau Anda banyak berfikir dan mepertanyakan metode pengajaran
selama tujuh hari ke depan siap-siap angkat koper karena Anda tidak mendapatkan
apa-apa, kalau Anda pasrah dan percaya Anda sangat diuntungkan karena semua
akan mudah. Kalau Anda percaya inilah jawaban atas doa Anda, Anda pasti
menikmati setiap proses di kelas ini. Kalau Anda masih memegang kukuh belief system
Anda yang lama Anda akan persis menjadi seperti Anda sekarang. Kalau Anda meruntuhkan seluruh bangunan
Anda dan bersiap membangun pondasi belief baru siap-siap melihat diri Anda yang anggun yang
sesuai dengan maunya Anda.”
Kemudian nada suaranya melunak dan
makin pelan... “Anda ke sini
sudah membuang waktu, membuang tenaga, membuang pikiran, membuang uang ... apa yang tersisa dari Anda hanya pola
pikiran saja, kalau Anda mau membuang pola tersebut kita akan melanjutkan
pelajaranya. Siap-siap akan
sakit, sakit hati karena semua yang Anda pegang bisa lepas bahkan harus lepas.
Bahkan kebenaran yang Anda pegang akan di-challenge, ditantang ke batas ujung.
Diri Anda akan didorong ke batas yang Anda merasa apakah mungkin, apakah masuk
di akal, masak sih, bagaimana bisa, pernyataan dan pertanyaan logika belief
lama akan ditantang. Kalau ternyata tidak teruji, rubuhkan. Ingat, kebenaran
yang terbenar adalah kebenaran yang teruji, kebenaran yang terbenar adalah
kebenaran yang tidak “menohok/menyinggung” siapa pun, kalau ada yang sakit hati
gara-gara kebenaran ini, pelajaran kebenaran ini salah. Dan kebenaran yang paling
terbenar
ia membela dirinya
sendiri...”