Dalam sebuah seminar saya didaulat
menjadi salah seorang narasumber. Seminar ini berjudul “Exist Di Tengah Krisis”. Seminar diselenggarakan Januari 2010. Disponsori beberapa perusahaan seperti bank, airline dan
banyak lagi. Narasumber lain adalah orang-orang kompeten di bidangnya. Ada pengusaha,
entertainer, profesional yang telah membuktikan pengalamannya melewati krisis
1997/1998 (semua negara
jatuh dalam krisis resesi, negara ASEAN devaluasi, bahkan rupiah terdevaluasi hingga 500
persen dari USD/ Rp 2.500 hingga USD/Rp 12.500), hingga krisis 2009 (diawali
dengan krisis Mortgage
Loan perumahan di Amerika yang merubuhkan Lehman Brother dan AIG) yang berpengaruh ke seluruh
dunia.
Seminar terbuka, umum dan gratis ini
dihadiri berbagai kalangan. Dari mahasiswa, pedagang kaki lima, ibu rumah
tangga, pengusaha menengah, bahkan banyak profesional dan pengusaha atas. Topik yang saya bicarakan adalah
millionaire mindset.
Seminar dari jam 09.00-17.00 diisi oleh enam narasumber. Hingga giliran saya
berbicara tepat setelah makan siang. Peserta cukup antusias sehingga semua
mengisi ruangan segera. Setelah moderator memperkenalkan nama dan CV ringkas
saya, saya pun membuka dengan sapaan rutin.
Belum sempat saya berbicara panjang
seorang di barisan depan mengambil mic dan mengajukan pertanyaan sekaligus pernyataan. “Pak Mardigu ini diundang kapasitas
sebagai apa? Millionaire mindset itu hubungannya apa dengan seminar ini? Kalau tidak ada hubungan sebaiknya
dilewati saja!”
Saya terkejut! Dan belum berhenti
keterkejutan saya, peserta lain mengajukan pernyataan senada dengan menggunakan mic satu lagi, dia berada di posisi
barisan tengah. “Apa
hubungan seorang pengamat teroris dan intelijen dengan seminar ‘Exist Di Tengah Krisis?’ Lalu membawakan tema millionaire
mindset. Apakah dia seorang milioner?” peserta tersebut memprotes
mempertanyakan keabsahan keilmuan dengan korelasi isi seminar.
Saya agak kebingungan begitu juga
moderator. Belum saya bisa mengendalikan suasana seorang ibu mengatakan dengan
keras tanpa mic
namun suaranya terdengar di seluruh ruangan, “Ngapain tukang hipnotis ada disini?!
Apa hubungannya hipno-hipnoan dengan millionaire dan seminar ini?!”
Peserta yang pertama bersuara
menambahkan, “Apakah
Anda pebisnis? Apa buktinya Anda pebisnis dan milioner? Jangan sampai Anda mengada-ada! Apa
hubunganya hipno sama mindset? Seminar ini tentang exist di tengah krisis ! Apa hubungan narasumber ini? Tadi
dari Kacang Garuda menceritakan pengalamannya dan kami sangat terinspirasi, lalu
Pak Siuw Bok dari Triwarsana dunia entertainment membuktikan kepakarannya, lalu
terakhir pak siapa itu dari bank, yang dia angkat dari bawah hingga berhasil.”
(note : beliau Pak
Agus Martowardoyo).
“Anda membawakan milionaire mindset
sementara kami kenal Anda seorang pakar teroris, pencuci otak teroris, apa kami
mau dicuci otak?!”
Saya tersentak. Panitia gelagepan.
Moderator menengahi, “Baik, Pak, biar Pak Mardigu menjelaskan.”
Lalu saya menceritakan sedikit
hubungan saya dengan kepolisian dan militer, lalu saya ceritakan sedikit
tentang pikiran (mindset). Tapi ada beberapa peserta rupanya tetap tidak puas.
Mereka mendesak sesi acara saya di-skip. Karena poin yang mereka harapkan
adalah pengalaman dan praktisi tidak mau wacana-wacana atau pelajaran teori-teori
tidak aplikatif, buat apa?
“Kalau Mardigu seorang business coach harap
dibuktikan perusahaan yang dipunyai dan apa prestasinya? Kalau hanya mindset wacana ya rubah judul
sesi ini menjadi ‘Apa
itu mindset untuk bisnis’ dan ini bisa sebagai selingan, nggak penting!”
Rontok seluruh tulang saya rasanya
mendengar komentar-komentar tersebut. Saya tidak sempat defence bertahan banyak
namun buat apa saya bertahan kalau bombardir pertanyaan dan pernyataan tersebut
sepertinya memang bukan mengharapkan solusi.
Sesi tetap dilanjutkan namun
berdasar kesepakatan minta diringkas. Saya lakukan, tetap dengan semangat. Ini
bukan the end of the world, bukan kiamat, ini cambuk positif. Ini mungkin the
hardest stone to sharpen my knife, pastinya ini batu asahan terkeras yang akan
membuat pisau saya lebih tajam. Bagi saya moral story atau hikmah yang saya
dapat adalah tidak semua orang suka dengan saya, tidak semua orang kenal dengan
saya, tidak semua orang kenal dengan produk saya, tidak semua orang nyaman
dengan keberpihakan saya. Tapi itulah hidup, c’est
la vie.
Jujur, saya gemetar
dan gentar di seminar tersebut, karena di balik senyum dan perkataan dalam sesi
saya di kala itu saya sedang mengalami masalah keuangan yang cukup besar. Ayah saya almarhum mempunyai mitra
dagang. Untuk usaha mereka menjaminkan rumah almarhum ayah saya. Begitu ayah
saya meninggal mitra tersebut kabur tak bertanggung jawab membawa investasi.
Tinggal saya sebagai anak tertua yang menanggung biaya pinjaman bank dan
pokoknya, dan berusaha keras agar tidak disita bank rumah satu-satunya yang
ditinggali ibu saya yang sudah tua, yang tidak mengerti apa-apa. Saya harus
kerja extra di kala itu plus mengingat masa tersebut masa krisis. Saya tidak
menyesali semua kejadian tersebut hanya saja semoga semuanya mendapat hikmah
tersembunyi karena kehidupan itu misteri. Menarik, indah.