Rabu, 28 Oktober 2015

TAK SEMUA MENGENAL




Dalam sebuah seminar saya didaulat menjadi salah seorang narasumber. Seminar ini berjudul “Exist Di Tengah Krisis”. Seminar diselenggarakan Januari 2010. Disponsori beberapa perusahaan seperti bank, airline dan banyak lagi. Narasumber lain adalah orang-orang kompeten di bidangnya. Ada pengusaha, entertainer, profesional yang telah membuktikan pengalamannya melewati krisis 1997/1998 (semua negara jatuh dalam krisis resesi, negara ASEAN devaluasi, bahkan rupiah terdevaluasi hingga 500 persen dari USD/ Rp 2.500 hingga USD/Rp 12.500), hingga krisis 2009 (diawali dengan krisis Mortgage Loan perumahan di Amerika yang merubuhkan Lehman Brother dan AIG) yang berpengaruh ke seluruh dunia.
Seminar terbuka, umum dan gratis ini dihadiri berbagai kalangan. Dari mahasiswa, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pengusaha menengah, bahkan banyak profesional dan pengusaha atas. Topik yang saya bicarakan adalah millionaire mindset.
Seminar dari jam 09.00-17.00 diisi oleh enam narasumber. Hingga giliran saya berbicara tepat setelah makan siang. Peserta cukup antusias sehingga semua mengisi ruangan segera. Setelah moderator memperkenalkan nama dan CV ringkas saya, saya pun membuka dengan sapaan rutin.
Belum sempat saya berbicara panjang seorang di barisan depan mengambil mic dan mengajukan pertanyaan sekaligus pernyataan. Pak Mardigu ini diundang kapasitas sebagai apa? Millionaire mindset itu hubungannya apa dengan seminar ini? Kalau tidak ada hubungan sebaiknya dilewati saja!
Saya terkejut! Dan belum berhenti keterkejutan saya, peserta lain mengajukan pernyataan senada dengan menggunakan mic satu lagi, dia berada di posisi barisan tengah. Apa hubungan seorang pengamat teroris dan intelijen dengan seminar ‘Exist Di Tengah Krisis? Lalu membawakan tema millionaire mindset. Apakah dia seorang milioner? peserta tersebut memprotes mempertanyakan keabsahan keilmuan dengan korelasi isi seminar.
Saya agak kebingungan begitu juga moderator. Belum saya bisa mengendalikan suasana seorang ibu mengatakan dengan keras tanpa mic namun suaranya terdengar di seluruh ruangan, Ngapain tukang hipnotis ada disini?! Apa hubungannya hipno-hipnoan dengan millionaire dan seminar ini?!
Peserta yang pertama bersuara menambahkan, Apakah Anda pebisnis? Apa buktinya Anda pebisnis dan milioner? Jangan sampai Anda mengada-ada! Apa hubunganya hipno sama mindset? Seminar ini tentang exist di tengah krisis ! Apa hubungan narasumber ini? Tadi dari Kacang Garuda menceritakan pengalamannya dan kami sangat terinspirasi, lalu Pak Siuw Bok dari Triwarsana dunia entertainment membuktikan kepakarannya, lalu terakhir pak siapa itu dari bank, yang dia angkat dari bawah hingga berhasil.” (note : beliau Pak Agus Martowardoyo).
Anda membawakan milionaire mindset sementara kami kenal Anda seorang pakar teroris, pencuci otak teroris, apa kami mau dicuci otak?!
Saya tersentak. Panitia gelagepan. Moderator menengahi, “Baik, Pak, biar Pak Mardigu menjelaskan.
Lalu saya menceritakan sedikit hubungan saya dengan kepolisian dan militer, lalu saya ceritakan sedikit tentang pikiran (mindset). Tapi ada beberapa peserta rupanya tetap tidak puas. Mereka mendesak sesi acara saya di-skip. Karena poin yang mereka harapkan adalah pengalaman dan praktisi tidak mau wacana-wacana atau pelajaran teori-teori tidak aplikatif, buat apa?
“Kalau Mardigu seorang business coach harap dibuktikan perusahaan yang dipunyai dan apa prestasinya? Kalau hanya mindset wacana ya rubah judul sesi ini menjadi ‘Apa itu mindset untuk bisnis’ dan ini bisa sebagai selingan, nggak penting!”
Rontok seluruh tulang saya rasanya mendengar komentar-komentar tersebut. Saya tidak sempat defence bertahan banyak namun buat apa saya bertahan kalau bombardir pertanyaan dan pernyataan tersebut sepertinya memang bukan mengharapkan solusi.
Sesi tetap dilanjutkan namun berdasar kesepakatan minta diringkas. Saya lakukan, tetap dengan semangat. Ini bukan the end of the world, bukan kiamat, ini cambuk positif. Ini mungkin the hardest stone to sharpen my knife, pastinya ini batu asahan terkeras yang akan membuat pisau saya lebih tajam. Bagi saya moral story atau hikmah yang saya dapat adalah tidak semua orang suka dengan saya, tidak semua orang kenal dengan saya, tidak semua orang kenal dengan produk saya, tidak semua orang nyaman dengan keberpihakan saya. Tapi itulah hidup, c’est la vie.
Jujur, saya gemetar dan gentar di seminar tersebut, karena di balik senyum dan perkataan dalam sesi saya di kala itu saya sedang mengalami masalah keuangan yang cukup besar. Ayah saya almarhum mempunyai mitra dagang. Untuk usaha mereka menjaminkan rumah almarhum ayah saya. Begitu ayah saya meninggal mitra tersebut kabur tak bertanggung jawab membawa investasi. Tinggal saya sebagai anak tertua yang menanggung biaya pinjaman bank dan pokoknya, dan berusaha keras agar tidak disita bank rumah satu-satunya yang ditinggali ibu saya yang sudah tua, yang tidak mengerti apa-apa. Saya harus kerja extra di kala itu plus mengingat masa tersebut masa krisis. Saya tidak menyesali semua kejadian tersebut hanya saja semoga semuanya mendapat hikmah tersembunyi karena kehidupan itu misteri. Menarik, indah.