Mau lanjut sekolah di mana mas fatur? Demikian suara nge bass dari sang pak de kepada anak saya keponakannya.
Masih usaha naikin nilai TOEFL pak de
Loh, mau sekolah keluar ta? Ciri bahasa jawa malang an yang banyak
menggunakan akhiran “a” buka seperti bahasa jawa umumnya yang
menggunakan huruf akhiran “o”. pak de nya ini kakak sepupu saya yang
profesinya pengacara. Minggu lalu menyempatkan hadir di rumah kami di
bilangan radio dalam
Dari malang langsung radio dalam. Dia pun
lanjut bertanya, mau ambil apa kamu tur? Yang di jawab dengan lancar
oleh fatur, mau ambil jurusan bisnis pak de, biar cepet dapet duit.
Loh, kamu salah kalau gitu tur!, kata pak denya yang ceplas ceplos ciri jawa timuran
Ngak ngono carane mikir golek duit, mas fatur! Nah ini..gaya kera
ngalamnya keluar sudah. Ber intonasi meledak ledak di mulai monolognya.
Kowe kalau mau cari duit atau mau kaya modalnya bukan sekolah, modal
nya gigih, bukan pinter. Sekolah itu untuk pinter, untuk pengetahuan,
bukan untuk kaya, salah kamu tur.
Di ceramihin begini fatur hanya
cengengesan. Saya tahu fatur ngak terima tapi saya tahu fatur juga ngak
ngerti-ngerti banget kalimat pak de nya ini. Sebenarnya ini bahasa
tinggi, bahasa sanepo, bahasa kiasan kromo di tatan an jawa.
Budaya berbahasa kromo adalah bahasa keseharian seorang prabu kepada
kawulanya. Banyak kiasan, banyak sindiran namun tidak satir, tidak
sarkas, halus sekali mendidik dan mengajari. Walau di bungkus dengan
meledak meledak intonasi dan liukan kata di lagukan.
Karena
komunikasi seperti begini banyak hilang di generasi “thumbies” jadi
kehadiran sang pak de saya manfaatkan untuk kembali ke kebiasaan kami
dulu di kampung di bantaran blimbing malang. Bicara dengan pini sepuh
dalam remang lampu sentir
Kalau saya sudah hafal kemana arah bicaranya, namun anak muda sekarang kayaknya perlu pembiasaan.
Benarlah bagi yang memperhatikan kata-kata , bahwa pemilihan kata “kamu
salah tur!”, “ngak ngono ngolek duwik iku?!”. Adalah kalimat langsung
atau bahasa kerenanya direct language namun di kata “gigih” ini kunci
saneponya.
Buat apa sekarang kamu sekolah tur? Pak de nya bertanya ulang
Biar pinter?! Fatur menjawab setengah ragu dia. Lah tadi katanya mau
kaya. Biar kaya? Masih tetap mau kaya khan? Pak de nya bertanya dari
sisi lain yang bisa membuat seseroang “twist mind”
Iya pak de, aku pengen kaya juga
Ngak usah sekolah tur kalau pengen kaya, kunci kaya itu gigih tok, itu
saja cukup, ngerti kamu. Sekolah nanti Cuma bikin kamu pinter, bikin
kamu sibuk dengan ilmu, bikin kamu jadi ribet sama keilmuan, jadi pinter
terus keminter.
Ilmu malah bisa bikin kamu keblinger. Ilmu itu
bener, tapi membawanya sulit tur. Kewajiban manusia itu berilmu tapi
bukan pinter.
Mendengar kalimat pak de nya yang terakhir, ini yang sebenarnya kunci yang saya tunggu-tungu .
Pinter itu nilai quantifikasi. Pinter itu karena pas hafal apa yang di
tanya. Orang berilmu beda denagn orang pinter. Orang berilmu tahu kapan
menggunakan ilmunya, bisa mempraktekan ilmunya. Orang pinter itu yan
hanya pinter. Belum tentu ngerti mengerjakan sesuatu. Belum tentu “bisa”
mempraktekan ilmunya.
Memperoleh ilmu itu susah tur. Memperoleh ilmu itu harus gigih. Fokusnya di ilmunya bukan di pinternya.
Bagi yang dewasa pasti sudah memahami kearah mana sang pak de ini
bicara. Namun bagi keponakanya dan anaknya pak de yang baru 18 tahun ,
apakah kedua anak tersebut mengerti? . saya hanya menikmati setiap
komunikasi minggu sore itu.
Begini tur pak de cerita sedikit
sejarah mahabarata, Alkisah pencarian Wahyu Cakraningrat oleh Raden
Abimanyu putra Arjuna, Raden Lesmana Mandrakusuma putra mahkota Kerajaan
Hastina, dan Raden Sombo putra Prabu Kresna
Dalam hati saya,”
here we go…” sang pak de memulai cerita yang akan menyamakan situasi
dengan kedua anak remaja itu. Dia mulai melakukan “framing”
communcation.
Sang pak de malanjutakan kisahnya, Ketiganya
sama-sama berambisi besar menjadi Raja. Untuk itu, mereka harus
bertarung dan mendapat gelar ”Wahyu Cakraningrat”. Namun mendapatkan
Wahyu Cakraningrat tidaklah mudah karena sejumlah syarat harus dipenuhi
agar Wahyu Cakraningrat bisa majing atau sejiwa dengan satria terpilih.
Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah: mampu handayani (membuat
contoh yang baik) kepada rakyat, berpegang pada kejujuran, mampu
memberikan keteladanan, mampu memberikan rasa tenteram kepada rakyat,
mampu memberi rasa kasih sayang pada rakyat, mempunyai perilaku amanah,
mampu merekatkan seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang, agama,
ras dan budaya, serta harus peduli terhadap lingkungan.
Ketiganya berangkat dari tempat berbeda. Mereka melakukan “laku” atau tirakat atau sebuah perilaku mejaga diri, samadi.
Raden Lasmana Mandrakumara dikawal petinggi kurawa seperti arya
sengkuni dan resi drone. Makanan minuman lengkap agar dia tidak
kesusahan. Perilaku manja tersebut ternyata tidak membuahkan apa-apa.
hanya mmebuang waktunya saja. Dia tidak banyak samadinya tapi makan
minum seakan berpesta.
Lain lagi dengan putra mahkota Dwarawati
satriya Parang Garuda Raden Samba. Dia satriya yang pemberani juga ingin
bertapa di dalam hutan Gangga Warayang untuk meraih Wahyu Cakraningrat.
Kebertangkatannya seorang diri dengan berjalan kaki. Ketika dalam
perjalanan, Raden Samba bertemu wanita cantik yang rupanya adalah
bidadari yang di utus menggoda, ternyata dia gagal. Dia tergoda. Sehigga
gagal semedinya , betara cakraningrat berbelok tidak memberinya.
Raden Abimanyu atau nama lain nya raden Angkawijaya sebelum berangkat
dia bertanya pada para Punokawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, yang
merupakan para pini sepuh yang bijak. Dia mendengarkan nasehat para
punakawan yang turuan betara narada yaitu eyang semar.
Dimana
dia mendapatkan wejangan bahwa “Batara Cakraningrat selalu mencari dan
mencari ‘kurungan kencana’ yang bersih lahir batin, yang cerdas, yang
tahan godaan, yang tahan fitnahan, yang “sepi ing pamrih – rame ing
gawe”, berbudi luhur, jujur, dapat dipercaya, mempunyai kesabaran
tinggi, dan kepekaan sosial yang tinggi”. Wahyu cakraningrat adalah
hanya untuk orang yang gigih.
Itulah yang lakukan abimanyu, yang
akhirnya dia dapat kan kurungan kencana itu. Karena wahyunya itulah
akhirnya kerajaan astina, amarta, indrapasta dan lainnya bersatu d
bawah panji sang raja putra abimanyu setelah perang baratayudha berakhir
bernama parikesit
Beitu kira-kira cerita wayangan singkatnya mas fatur. Mudah-mudahan kamu faham dongeng pak de ini ya.
Jadi merantau itu mencari ‘kurungan kencana’ ya pak de, agar wakyu
cakraningrat bisa di dapat. Untuk mendapatkannya kita harus gigih, gitu
khan pak de.
Kiro-kiro ngono tur, jadi nantinya kamu sadar bahwa
Apa saja kamu geluti dengan gigih kamu pasti kaya tur. Percaya omongan
pak de. # may peace be upon us