Rabu, 28 Oktober 2015

HATI TAK BERSUDUT




Di bulan Ramadhan ini saya teringat di masa saya masih aktif di sebuah perusahaan penjualan langsung. Tadinya hanya iseng-iseng, namun ketika satu tahun dijalani eh ternyata sebagai income sampingan gede juga dapatnya. Hanya tiga tahun saya di dunia MLM ini, yaitu Amway. Dari tahun 1996-1999. Bukan bisnisnya yang mau saya ceritakan namun sisi lain lagi.
Anda semua tahu bahwa setiap agama memiliki hari di mana semua jamaah berkumpul beribadah. Seperti hari Jumat bagi kaum muslim, Minggu bagi kristiani, Sabtu bagi advent, dan lain-lain. Maka pertemuan mingguan bagi para sales tujuannya sama, mendapatkan siraman rohani, siraman semangat, menyaksikan kesaksian success story dari rekan- rekan sehingga semangat terjaga di atas terus, berjuang menjual.
Namun terkadang jumatan saja kurang bagi kaum muslimin, atau mingguan saja kurang bagi kaum nasrani sehingga untuk memotivasi mereka berumrah, menapaktilasi perjalanan awal para orang-orang suci. Memodel, me-mirror, sehingga terduplikasi perilaku kemuliaan mereka. Nah, di dunia sales kami melakukan hal yang kami sebut malam apresiasi. Asal mulanya sebenarnya hanya ingin membuat acara di mana semua bisa berkumpul dan semua bisa sharing berbagi. Dan ini berangkat dari kegelisahan kami melihat seorang downline bernama Doni.
Dia gigih sekali berjualan ke sana kemari, dalam tiga bulan pertama mungkin lebih dari seratus orang dia datangi, dia prospek, dia dekati, dan lain-lain. Namun tidak ada satu pun yang close, yang bergabung! Doni tidak pernah mengeluh sedikit pun, namun kami sebagai upline yang tergerak tersentuh melihat semangatnya. Lalu saya panggil untuk bicara dari hati ke hati, berdua. Doni adalah ex preman, atau mungkin masih bisa dikatakan masih preman saat itu. Rumahnya di Kampung Makasar bisa dikatakan tough neighborhood, atau komunitas yang keras. Berantem bisa setiap hari, katanya. Masa lalu Doni kelam sekali, keras. Sehingga karakternya kasar bisa dimengerti.
Dia bercerita, “Saya ini dianggap anak setan sama keluarga di rumah. ‘Anakku cuma empat orang. Pergi kamu dari sini…..!’ itu kata bapak saya, Mas.
Doni diusir dari rumah. Dia adalah anak kelima dari lima bersaudara. Ayahnya sudah tidak menganggap dia sebagai anak lagi. Pulang atau tidak sudah tidak diharapkan lagi oleh keluarganya. Kenakalannya yang menurut orang tuanya sudah di ambang batas, membuat dia diusir dari rumah, dianggap tidak ada. Hidup mati sudah tak penting.
Rasa sedih dan sakit hati itu membuat Doni terjerembab lebih dalam di kehidupan liar luar rumah. Itu juga yang membentuk aura preman-nya.
Lalu apa tujuan hidup kamu ke depan?” saya bertanya.
Saya ingin membahagiakan orang tua saya, saya ingin dianggap anak lagi. Saya kesepian, saya ingin sukses. Saya capek miskin, capek tidak punya teman, capek tidak ada saudara, capek hidup selalu kuda-kuda!
Saya terdiam lama mendengar ceritanya. Dari cerita inilah saya mendapat ide. Membuat malam apresiasi. Saya undang seluruh network jaringan saya dan beberapa leader lainnya. Di acara tersebut seseorang dibawa ke atas panggung, diberi waktu bicara selama lima menit tentang perjuangannya dan apa yang telah diperoleh agar tertular ke rekan-rekan lainnya. Itu saja intinya. Dan saya harus panggungkan Doni!
Bersama beberapa rekan, saya mencari alamat ibu Doni. Sampailah saya ke rumah tua di daerah padat penduduk di dekat Halim. Saya ceritakan bahwa ada undangan buat bapak ibu atas prestasi seorang anaknya. Sang ibu bertanya, “Anak yang mana? Semua anak saya merantau. Anak saya empat-empatnya tidak ada di rumah.
Kami yang hadir saat itu miris sekali mendengar kalimat “anak kami empat”, karena kami tahu ada lima. Dia tidak menganggap si Doni! Alhamdulilah sang ibu bersedia hadir asalkan dijemput. Kami turuti.
Ketika diadakan malam apresiasi di mana sang ibu datang duduk di samping saya sejak awal acara, sang ibu bertanya, “Ini acara apa?”
Saya menginformasikan, “Ini acara malam penghargaan, Bu.
Sang ibu diam.
Setelah puluhan orang mengungkapkan testimoni kesuksesaannya, maka MC menghadirkan ‘surprise’ dengan menampilkan seseorang.
“Berikut akan hadir di hadapan kita, seorang yang nggak pernah closing, nggak punya downline, tapi terus gigih berjuang… Anda tahu siapa dia… sahabat kita, rekan kita…
Nada suara meninggi. Seribu-an orang hening. Senyap. Surprise. Karena di kepala mereka semua tahu pastinya, orang itu pasti Doni. Doni yang selama ini dijadikan sebagai bahan ejekan. Dan keheningan kemudian pecah, ketika beberapa orang mulai meneriakkan nama Doni.
“Doni… Doni… Doni…!” diiringi ratusan orang lainnya. Hingga semuanya menyebut nama Doni.
Saya lihat Doni tersentak. Dia tidak menyangka dijadikan pembicara, karena yang dia tahu hanya yang sukses saja yang berbicara, dia merasa tidak sukses. Matanya menatap ke sana kemari mencari dukungan. Sampai akhirnya dia berada di panggung.
Sang ibu di samping saya gelisah luar biasa. Itu Doni?! Ekspresinya berubah. Menyadari bahwa anaknya menjadi bagian dari malam itu. Menjadi seseorang.
Doni maju ke panggung. Langkahnya mantap.
Doni mulai bicara. Suaranya bergetar. Suasana sangat hening. Bagai di kuburan.
“Saya… berdiri di depan sini, hanya ingin membuktikan kepada orang tua saya, bahwa ada anak kelima mereka yang berusaha untuk tetap hidup, menjadi lebih baik dan paling penting… Ingin kembali ke rumah untuk menjadi bagian dari keluarga. Sebenci apa pun mereka kepada saya, saya tetap mencintai mereka.”
Suaranya makin bergetar. Beberapa orang di gedung itu mulai menyeka air matanya. Beberapa terisak.
“Utamanya buat ibu saya… semoga ibu masih punya sedikit saja cinta untuk saya.”
Doni mengakhiri testimoninya dan hendak turun dari turun dari panggung.
Surprise berlanjut. Lampu tiba-tiba padam. Lampu sorot hanya menyinari dua titik. Satu titik ke Doni yang berjalan turun, dan satu titik lagi ke ibunda Doni yang sedang duduk di samping saya. Kemudian saya bimbing sang ibu berdiri untuk berjalan mendekati Doni, naik panggung. Doni kaget karena di sorot lampu di hadapannya ada ibunya. Sementara ibunya berjalan mendekati Doni.
Ketika dua titik itu bertemu… Doni bersimpuh di kaki ibunya. Ibunya membungkuk dan memeluk dengan sangat erat. Pelukan yang merangkul hati. Pengakuan.
“Ibu… maafin Doni, Bu Doni kangen ibu, Doni salah, Bu. Doni anak ibu, anak bapak, Doni tobat, Bu... Doni capek jadi orang susah. Doni mau sukses. Doni mohon ridho ibu, Doni mohon ampun dan maaf ibu…terus dia berkata lirih di kaki sang ibu disaksian ribuan pasang mata.
"Kamu anakku, Ibu mencintaimu. Ibu juga minta maaf.
Saya mendengar lirih suara sang ibu di antara tangisnya.
Tak ada kata-kata. Yang terdengar hanya tangisan diiringi tumpahan air mata.
Doni dan ibunya tidak berdua saja menangis. Semua orang di gedung itu pun menangis. Malam yang tak mungkin dilupakan bagi semua yang hadir malam itu.
Kini Doni sudah melanglang buana, tinggal di sebuah kota pegunungan di Jawa Barat dengan usaha pertanian yang luas, gemuk subur badannya sesubur lahannya dan barusan dia sms saya menyatakan, “Mas, selamat berpuasa, semoga ibadah tahun ini lebih baik dan terbaik dari sebelum-sebelumnya. Saya keinget Ramadhan di malam apresiasi dulu, Mas.”
Doa seorang ibu yang ikhlas adalah password kesuksesan Doni. Mengingatkannya pada malam apresiasi yang luar biasa. Rupanya sejak itu, ibu Doni yang sudah ‘terbeli hatinya’ senantiasa berdoa untuk kesuksesan Doni. Hati ibunya memang tidak bersudut, sehingga mudah tersentuh dari sisi mana pun. Sentuhan itu akan membuat hati memancarkan keikhlasan ke alam semesta, dan menjawabnya dengan rupa yang tidak terduga.
Seringkali sekeras apa pun usaha seseorang, tidak menemukan jalan sukses. Sukses memiliki banyak dimensi. Kegigihan saja kadang tidak berbuah sukses, tapi dengan keihklasan seorang ibu berdoa, kelapangan pun segera terbuka.