Di
bulan Ramadhan ini saya teringat di masa saya masih aktif di sebuah perusahaan
penjualan langsung. Tadinya hanya iseng-iseng, namun ketika satu tahun
dijalani eh ternyata sebagai income sampingan gede juga dapatnya. Hanya tiga tahun saya di dunia MLM ini, yaitu
Amway.
Dari tahun 1996-1999. Bukan bisnisnya yang mau saya ceritakan namun sisi lain
lagi.
Anda
semua tahu
bahwa setiap agama memiliki hari di
mana
semua jamaah berkumpul beribadah. Seperti hari Jumat bagi kaum muslim, Minggu bagi kristiani, Sabtu bagi advent, dan lain-lain. Maka pertemuan
mingguan bagi para sales tujuannya sama, mendapatkan siraman rohani, siraman
semangat, menyaksikan kesaksian success
story dari rekan- rekan sehingga
semangat terjaga di atas
terus, berjuang menjual.
Namun
terkadang jumatan saja kurang bagi kaum muslimin, atau mingguan saja kurang
bagi kaum nasrani sehingga untuk memotivasi mereka berumrah, menapaktilasi
perjalanan awal para orang-orang suci. Memodel, me-mirror, sehingga terduplikasi perilaku
kemuliaan mereka. Nah, di dunia sales kami melakukan hal yang kami sebut malam
apresiasi. Asal mulanya sebenarnya hanya ingin membuat acara di mana semua bisa berkumpul dan semua
bisa sharing berbagi. Dan ini berangkat dari kegelisahan kami melihat seorang
downline bernama Doni.
Dia
gigih sekali berjualan ke sana
kemari, dalam tiga
bulan pertama mungkin lebih
dari seratus
orang dia datangi, dia prospek,
dia dekati, dan lain-lain.
Namun tidak ada satu pun yang close, yang bergabung!
Doni tidak pernah mengeluh sedikit
pun,
namun kami sebagai upline yang tergerak tersentuh melihat semangatnya. Lalu saya panggil untuk
bicara dari hati ke hati, berdua. Doni adalah ex
preman, atau mungkin masih bisa dikatakan masih preman saat itu. Rumahnya di Kampung Makasar bisa dikatakan tough
neighborhood, atau komunitas yang keras. Berantem bisa setiap hari, katanya.
Masa lalu Doni kelam sekali, keras. Sehingga karakternya kasar bisa dimengerti.
Dia
bercerita, “Saya
ini dianggap anak setan sama keluarga di rumah. ‘Anakku cuma empat orang. Pergi kamu dari sini…..!’
itu kata bapak saya, Mas.”
Doni
diusir dari rumah. Dia adalah anak kelima dari lima bersaudara. Ayahnya sudah
tidak menganggap dia sebagai anak lagi. Pulang atau tidak sudah tidak
diharapkan lagi oleh keluarganya. Kenakalannya yang menurut orang tuanya sudah
di ambang batas, membuat dia diusir
dari rumah, dianggap tidak ada. Hidup mati sudah tak penting.
Rasa
sedih dan sakit hati itu membuat Doni
terjerembab lebih dalam di kehidupan
liar luar rumah. Itu juga yang membentuk aura preman-nya.
“Lalu
apa tujuan hidup kamu ke depan?” saya bertanya.
“Saya
ingin membahagiakan orang tua saya, saya ingin dianggap anak lagi. Saya
kesepian, saya ingin sukses. Saya capek miskin, capek tidak punya teman, capek
tidak ada saudara, capek hidup selalu kuda-kuda!”
Saya
terdiam lama mendengar ceritanya.
Dari
cerita inilah saya mendapat ide. Membuat malam apresiasi. Saya undang seluruh
network jaringan saya dan beberapa leader lainnya. Di acara tersebut seseorang dibawa ke atas panggung, diberi waktu bicara
selama lima
menit tentang perjuangannya dan apa yang telah diperoleh agar tertular ke rekan-rekan lainnya. Itu saja
intinya. Dan saya harus panggungkan Doni!
Bersama
beberapa rekan, saya mencari alamat ibu Doni. Sampailah saya ke rumah tua di daerah padat penduduk
di dekat Halim.
Saya ceritakan bahwa ada undangan buat bapak ibu atas prestasi seorang anaknya.
Sang ibu bertanya, “Anak
yang mana?
Semua
anak saya merantau. Anak saya empat-empatnya tidak ada di rumah.”
Kami
yang hadir saat itu miris sekali mendengar kalimat “anak kami empat”, karena
kami tahu
ada lima. Dia tidak menganggap si Doni! Alhamdulilah sang ibu bersedia hadir
asalkan dijemput. Kami turuti.
Ketika
diadakan malam apresiasi
di mana sang ibu datang duduk di samping
saya sejak awal acara,
sang
ibu bertanya, “Ini
acara apa?”
Saya
menginformasikan, “Ini
acara malam penghargaan,
Bu.”
Sang
ibu diam.
Setelah
puluhan orang mengungkapkan testimoni kesuksesaannya, maka MC menghadirkan
‘surprise’ dengan menampilkan seseorang.
“Berikut
akan hadir di hadapan kita, seorang yang nggak pernah closing, nggak punya downline, tapi terus gigih
berjuang… Anda
tahu
siapa dia… sahabat
kita, rekan kita…”
Nada
suara meninggi. Seribu-an orang hening. Senyap. Surprise.
Karena di kepala
mereka semua tahu pastinya, orang itu pasti Doni. Doni yang selama ini dijadikan sebagai bahan ejekan. Dan keheningan kemudian pecah, ketika
beberapa orang mulai meneriakkan nama Doni.
“Doni… Doni… Doni…!”
diiringi ratusan orang lainnya. Hingga semuanya menyebut nama Doni.
Saya
lihat Doni tersentak. Dia tidak menyangka dijadikan pembicara, karena yang dia tahu
hanya yang sukses saja yang berbicara, dia merasa tidak sukses. Matanya menatap
ke sana kemari mencari dukungan.
Sampai akhirnya dia berada di panggung.
Sang
ibu di samping saya gelisah luar biasa. Itu Doni?! Ekspresinya berubah.
Menyadari bahwa anaknya menjadi bagian dari malam itu. Menjadi seseorang.
Doni
maju ke panggung. Langkahnya mantap.
Doni
mulai bicara. Suaranya bergetar. Suasana sangat hening. Bagai di kuburan.
“Saya…
berdiri di depan sini, hanya ingin membuktikan kepada orang tua saya, bahwa ada
anak kelima mereka yang berusaha untuk tetap hidup, menjadi lebih baik dan
paling penting… Ingin kembali ke rumah untuk menjadi bagian dari keluarga.
Sebenci apa pun mereka kepada saya, saya tetap mencintai mereka.”
Suaranya
makin bergetar. Beberapa orang di gedung itu mulai menyeka air matanya. Beberapa terisak.
“Utamanya
buat ibu
saya… semoga ibu
masih punya sedikit saja cinta untuk saya.”
Doni
mengakhiri testimoninya dan hendak turun dari turun dari panggung.
Surprise
berlanjut. Lampu tiba-tiba padam. Lampu sorot hanya menyinari
dua titik. Satu titik ke Doni yang berjalan turun, dan
satu titik lagi ke ibunda
Doni yang sedang duduk di samping
saya.
Kemudian
saya bimbing
sang ibu berdiri untuk berjalan mendekati Doni, naik panggung. Doni kaget
karena di sorot lampu di hadapannya
ada ibunya. Sementara ibunya berjalan mendekati Doni.
Ketika
dua titik itu bertemu… Doni bersimpuh di kaki ibunya. Ibunya membungkuk dan
memeluk dengan sangat erat. Pelukan yang merangkul hati. Pengakuan.
“Ibu… maafin Doni, Bu… Doni
kangen ibu, Doni salah,
Bu.
Doni anak ibu, anak bapak, Doni tobat, Bu... Doni capek jadi orang susah. Doni mau sukses.
Doni mohon ridho ibu, Doni mohon ampun dan maaf ibu…” terus dia berkata lirih di kaki
sang ibu disaksian ribuan pasang mata.
"Kamu anakku, Ibu mencintaimu. Ibu juga minta maaf.”
Saya
mendengar lirih suara sang ibu di
antara
tangisnya.
Tak
ada kata-kata.
Yang terdengar hanya tangisan diiringi
tumpahan air mata.
Doni
dan ibunya
tidak berdua saja menangis. Semua orang di gedung itu pun menangis. Malam yang
tak mungkin dilupakan bagi semua yang hadir malam itu.
Kini
Doni sudah melanglang buana, tinggal di sebuah kota pegunungan di Jawa Barat dengan usaha pertanian yang
luas, gemuk subur badannya sesubur lahannya dan barusan dia sms saya
menyatakan, “Mas,
selamat berpuasa, semoga ibadah tahun ini lebih baik dan terbaik dari sebelum-sebelumnya. Saya keinget Ramadhan
di malam apresiasi dulu, Mas.”
Doa
seorang ibu yang ikhlas adalah password kesuksesan Doni. Mengingatkannya pada
malam apresiasi yang luar biasa. Rupanya sejak itu, ibu Doni yang sudah
‘terbeli hatinya’ senantiasa berdoa untuk kesuksesan Doni. Hati ibunya memang
tidak bersudut, sehingga mudah tersentuh dari sisi mana pun. Sentuhan itu akan
membuat hati memancarkan keikhlasan ke alam semesta, dan menjawabnya dengan
rupa yang tidak terduga.
Seringkali
sekeras apa pun usaha seseorang, tidak menemukan jalan sukses. Sukses memiliki
banyak dimensi. Kegigihan saja kadang tidak berbuah sukses, tapi dengan
keihklasan seorang ibu berdoa, kelapangan pun segera terbuka.