“Ohayōgozaimasu,” seorang sekretaris
kantor rekanan menyapa kehadiran saya yang sudah dijanjikan jadwalnya, tubuhnya
yang kecil membungkuk sembilan puluh derajat lama sekali. Hari ini saya
dijadwalkan
untuk bertemu dengan seseorang yang dikatakan bisa membantu saya dalam urusan
keuangan yang sedang saya hadapi.
Setelah memutuskan mengganti sistem
pabrik kapur dengan sistem fludized bed kiln maka saya dihadapakan dengan
masalah berikutnya,
kekurangan
modal. Bank sudah tidak
mau mengucurkan dana, equity pemegang saham sudah sampai ke
limit. Jaminan sudah dipakai 100 persen
dan yang pasti tidak ada yang mau meminjamkan dana tanpa jaminan, atau
paripasu, jaminan bersama apalagi, jauh deh nggak ada yang mau. Apalagi ini
proyek belum terbukti jalan. Maka pilihan akan dana menjadi sangat krusial dan
terbatas sumbernya.
Salah satunya adalah referensi dari Pak Warsita di mana beliau adalah
civil kontraktor yang saya tunjuk sebagai pelaksana pekerjaan fisik pabrik
hydrated lime ini. Alasanya satu, Pak Warsita memiliki sejarah panjang dengan
perusahaan konstruksi Jepang sehingga standar hi grade lime pabrik yang akan
kami bangun memenuhi standar presisi Jepang yang akurat dan efisien. Pak Warsita sudah tiga puluh tahun di dunia kontruksi steel
structure dan factory plant, mitra Jepang seperti Mitstubishi, Chiyoda Keiso, JGC dan banyak perusahaan Jepang adalah mitra lama beliau.
Sehingga ketika saya ada masalah
keuangan, dia mereferensikan saya untuk bertemu dengan salah seorang rekanannya
yang katanya sebagai orang yang dihormati semua orang Jepang di Indonesia dan di tanah air
mereka di Nippon, di Jepang-nya. Katanya orangnya sudah
tua, 65 tahun, sudah dua puluh tahun di Indonesia, bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
Beliau bernama Tuan
KKB. Melihat kantornya yang berada di belakang gudang di daerah Cakung member i kesan saya sedang berhadapan dengan
seorang petinggi Yakuza.
Dari luar agak terlihat kumuh, namun di dalamnya sebuah tempat yang mewah dengan tatanan zen office ala Jepang tradisional yang kuat.
Ketika masuk keruangan Tuan KKB yang agak dalam saya
didampingi dua orang,
satu pria berbadan tegap
dan satu wanita yang kecil yang menurut saya adalah sekertaris beliau. Ketika
pintu dibuka, kedua pengantar saya membungkuk lama sekali dan mungkin
berkata-kata, “Tamu Anda sudah datang.” (kira-kira menurut perasaan saya saja). Lalu berdua dengan masih tetap
membungkuk mempersilahkan saya masuk melewati mereka berdua.
Seorang berwajah keriput kecil tua
berdiri mendekati saya sambil mengulurkan tangannya, “Wowieko san... Ogenk i desuka?” (san : panggilan
untuk menghormati orang lain, biasanya untuk yang baru dikenal, baik laki
maupun perempuan, red)
“Kabar baik, Mr. KKB,” rupanya nama saya sudah di-introduce
dengan baik oleh Pak
Warsita. Saya menjawab sambil
menjabat tangan dan membungkuk sedikit, sebisa-bisanya gaya Jepang-Jepang-an.
Bibir tuan KKB tersenyum, “Warsita san teman lama saya, Wowieko san. Saya percaya sama dia 100 porosen, dia baik,” Tuan KKB berbicara dengan logat Jepang kental sambil menggerakkan dagunya menempel
ke leher.
“Warsita san bilang ‘Shōsekkai Wowieko san perlu dibantu?”
“Haik,” saya mencoba bergaya Jepang. “Benar KKB san, pabrik kapur kami
memerlukan sedikit dana untuk menyesaikan kiln
burner kami yang kami ganti supaya lebih efisien. Namun kami tidak punya
jaminan sama sekali sebagai counter prestasinya, KKB san. Kalau KKB san bisa membantu dalam
waktu satu tahun kami akan kembalikan beserta bunga.”
“Sōdesu ka? Ow begitu ya... kamu memerlukan berapa dananya?” Tuan KKB bertanya dengan mata menatap
tajam.
Lalu saya menyebut sebuah angka.
Dia membalik badan dan mengatakan
kepada pria yang mengantar saya ke ruangan Tuan KKB, “Tasukeru Wowieko san,” (kalau tidak salah artinya bantu Tuan Wowiek), dan seterusnya saya nggak faham.
“Wah, Tuan KKB baik sekali. Ini berapa
bunganya dan kapan saya harus kembalikan?”
Tuan KKB menatap saya dan berkata, “Wowieko san ini grand, ini hadiah
buat Anda. Nanti saja kita pikirkan. Terserah Wowieko san kapan mau
kembalikan.”
Lalu dia membalik badan dan pamit, “Saya harus melanjutkan kegiatan,
asisten saya akan membantu Anda,” Tuan KKB membungkuk singkat dan jalan tegap ke ruang lain
lagi. Dan kembali asisten muda membungkuk badan dan menunjukkan arah ke mana saya harus berjalan.
“Uang sudah disediakan, Wowieko san, right this way please.”
Dua buah tas hitam tunai tersedia di
meja.
Saya terkejut, “Tunai, Pak?
“Haik,” begitu saja keluar dari mulut
asisten pria tersebut.
“Kwitansi?
Tanda terima? Perjanjian? Di mana saya harus tanda tangan?” saya bertanya dengan polosnya.
Kedua pria dan wanita hanya
tersenyum sambil membungkuk dan berkata, “Tidak perlu, Wowieko san, silahkan dibawa saja.”
Saya tercenung lama tapi saya sulit
menolak. It’s too good to be true. Saya angkat tas tersebut setelah membuka
resleting untuk melihat pecahan 50.000-an rupiah dan beberapa gepok uang dollar
US di sana.
Saya bertanya sambil pamit, “Berapakah uang ini?”
“Persis seperti Wowieko san minta,” jawab sekertaris bertubuh kecil.
Pikiran saya bicara dalam hati, kok
gampang banget, kok percaya, kok ada uangnya? Lalu saya jalan ke mobil dan menyuruh sopir jalan menuju bank
terdekat. Segera saya masukkan ke rekening perusahaan saat itu juga. Beresiko membawa tunai segini
besar.
Singkat cerita, kiln terpasang, dan
tenyata berjalan sesuai perkiraan. Produksi jalan tepat waktu sehingga lewat
satu tahun berlalu. Saya teringat kewajiban saya membayar hutang ke Tuan KKB. Sehingga sekali lagi saya
minta waktu bertemu. Jujur kalau dia mengatakan harus bayar satu bulan setelah
pertemuan ini, rasanya saya sebetulnya belum memegang uang, namun saya komit harus
menghadap.
Tuan KKB menyambut saya dengan
senyum lebar, “Wowieko
san, ogenk i desuka? Bagaimana kabarnya. Semua pasti lancar khan?”
“Iya, Tuan KKB, terima kasih atas
bantuannya,” belum melanjutkan kata-kata saya tangannya mengipas yang memberi
gesture ‘sudah jangan di teruskan’.
“Saya ke sini mau menindaklanjuti
kewajiban saya membayar hutang ke Tuan KKB.”
“Aaahhh... Sōdesu ka? Gampang itu, Wowieko san, gampang itu. O iya omong-omong boleh saya pinjam cek dan nomor rekening perusahaan Anda?”
Saya berkerut, “Untuk apa, Tuan KKB?”
“Aaahhh, katanya mau bayar hutang?”
“Oo... boleh,Tuan KKB,” saya tergagap bingung.
Kemudian dia membalik badan dan
berbicara menggunakan bahasa Jepang kepada dua orang direksinya kira-kira, saya hanya menebak dari gaya dan
busana mereka. Bertiga berbicara sangat tegas dan cepat setengah berbisik. Lalu
Tuan KKB membalik badan ke saya.
“Begini, Wowieko san, dalam dua hari ini tolong semua rekening
perusahaan Anda dikosongkan. Lalu beri saya tiga puluh cek kosong yang sudah ditandatangani oleh Anda atau yang
berwenang. Saya perlukan tiga rekening di dua bank Anda semuanya, nomer dan cek kosong tersebut dan
rekening kosong. Fahamkah Anda,Wowieko san?”
Saya kaget dan reflek menjawab, “Faham, Tuan KKB.”
Dia membungkuk lama sambil berkata, “Watashi no meiyo.” (kalau nggak salah denger dan salah arti ‘terhormat sekali saya’). “Setelah Anda memberikan ini semua,
saya consider hutang Anda lunas dan Anda tidak berhutang lagi kepada saya. Domo
arigato gosaimase.”
Asli saya bingung, kepala rasanya nggak bisa kerja. Apa-apaan ini ya?
Membayangkan suasana, posisi saya,
dan banyak hal saya seperti kerbau dicucuk hidung, manut saja. Dua hari kemudian saya laksanakan
seluruh apa yang diperintahkan.
Sebulan berlalu, segalanya berjalan
rutin.Tiba-tiba telepon
saya berdering. Tuan KKB. Terdengar suara di seberang sana, “Wowieko san, apa kabar? Kapan bisa
bertemu ke kantor saya?”
Saya langsung jawab, “Besok, Tuan KKB.”
“Aaahhh… so, ditunggu ya, domo domo,” klik, telepon ditutup.
Besoknya saya datang ke kantornya dan
disambut dengan ramah, ada lebih delapan orang menyambut saya, yang empat baru. Semua membungkuk dalam-dalam. Sambil memperkenalkan dirinya dan
membagikan kartu nama masing-masing dengan kedua tangan bergaya seperti orang
sedang memasang hio. Ada lawyer, ada finance director, dan lain-lain. Di meja
terdapat tiga
bundel dokumen tebal sekali. Seperti tumpukan lima yellow pages.
Tuan KKB kemudian berkata, “Wowieko san, ini dokumen pajak dari perusahaan
Anda. Ini ada sejumlah uang pajak yang harus Anda bayar ke negara Indonesia.
Dan ini semua adalah dokumen resmi transaksi perdagangan internasional. Ini
bukan bisnis di Indonesia, kami hanya pakai perusahaan Anda sebagai pembukuan saja.
Dan bayarkan uang ini ke negara. Negara Anda untung, tidak dirugikan, ini transaksi
sah. Bukan narkoba, bukan senjata.Sekali lagi ini transaksi sah perdagangan internasional.
Perusahaan Anda saya pakai untuk arus uang di bank. Untuk itu segala jasa pajak
Anda harus bayarkan. Negara Anda tidak dirugikan. Sekarang sudah nol lagi di rekeningAnda, itu dokumennya semua di meja
dan uang untuk biaya resmi lainya.”
“Tuan KKB, ini money laundering?”
Dia cuma tersenyum dan berkata, “Nanti kalian semua akan mengerti. Ini
bukan money laundering. Ini resmi, kamu boleh cek semuanya tertulis jelas dan
terdata jelas.”
Saya tak lama pamit dan melakukan
semua yang diperintahkan. Dan ternyata setiap tahun saya selalu mendapatkan
laporan clean and clear dari pajak juga dari instansi sejenis terkait bahkan
hingga perusahaan kami tutup dan di-declare bangkrut semua data lulus dan
bersih. Walau masih berkerut dahi hingga kini namun itu adalah pengalaman yang
tidak terlupakan. Beberapa kali saya mencoba menghubungi Tuan KKB. Semua sudah
tidak ada lagi nomor dan kontak yang bisa tersambung sehingga tidak tahu lagi
di mana.