Ayah kok nonton Bloomberg melulu, start up melulu, ? ini perkataan dari
anak saya nomor dua yang rupanya memperhatikan kebiasaan saya kalau di
rumah. Dan seperti kebiasaan saya, saya selalu menjawab, namanya juga
belajar mas?!
Dan dia benar, mata saya kalau di acara TV, Koran ada info dunia ecommerese, arahnya tertuju kesana dengan perhatian full.
Memang aneh bagi banyak orang karena saya pasang menyetel seharian TV
bisnis di rumah saya. dan ini menjadi seakan-akan tontonan wajib. Walau
mereka ngak ada yang di depan TV. Namun sesekali saya yakin mata mereka
atau telinga mereka mendengar. Dan saya biarkan saja hal itu, memang itu
tujuan saya. dan dari info itulah saya belajar terus ecommerse.
Fatur melanjutkan pertanyaannya, Ayah, itu buku-buku semua di baca
banyak banget kenapa semua bidangnya internet begitu sih? Kali ini dia
ingin tahu lebih jauh. Karena benar, di meja kerja saya di rumah buku
biografi dan buku tentang perusahaan ecommerse bergeletakan.
Saya menjawab, iya, ayah pernah di ajari dulu sekali selagi baru tamat
kuliah sama ayah angkat ayah, mr Saroyan. Kalau mau melakukan sesuatu
harus tahu ilmunya. Maka sebelum melkaukan sesuatu belajar isi kepala
dengan pengetahuan dan tindakan. Karena itu ayah selalu menyempatkan
mempelajari ecommerse saat ini selam 1,5 tahunan ini.
Itulah yang
saya ungkapkan kepada anak saya. memang benar saya sangat semangat
menambah ilmu saya dalam bidang ecommerse ini. Buku dan tulisan tentang
perusahaan dotcom google, amazon, alibaba, netspace, linkedin,
craiglist, houzz, whatapp, oracle , airbnb, semua terbaca beberapa kali
oleh saya. Biografi seperti elon musk, larry elison, paul ellen, david
karp, reid Hoffman, jack Dorsey, brian chesky, jim clark, dan masih
banyak lagi saya hafal buku dan cerita mereka. Kalau yang major seperti
sergei brin, larry page, jerry yang, steve wozniak, steve jobs itu
standar. Hafal luar kepala.
Terlepas apa yang saya pelajari,
tetap saya masih buta terhadap ecommerse. Saya mengatakan saya buta
karena mungkin secara logika saya faham, saya sudah belajar namaun bagi
saya hanya memindahkan, atau shifting mindset dari unaware ke aware.
Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari unconscious ke conscious dari tidak
menyadari menjadi sadar.
Walau pun saya sadar aware atau conscious tetap saya uncompetence, tidak berkemampuan. Saya unskill tak berketrampilan.
Jadi tetap bisnis atau apapun yang terpenting adalah berkemampuan,
competence. Jadi tidak ada cara lain melakukan tersebut adalah dengan
mengerjakannya. Inilah yang saya coba juga mulai,
Dan sejak 1. 5
tahun yang lalu saya beranikan diri untuk memulai sesuatu. Yaitu membuat
prototype bisnis model. Tidak tangung-tangung langsung 4 macam
prototip.
Sehingga puncaknya saya kemarin ber 6 megandakan
diskusi ringan sembari menunggu macet jalanan ibukota. 5 orang dihadapan
saya adalah professional yang saya “hired” untuk mengerjakan prototype
bisnis model e commerse ini.
Dari 5 orang ini, satu orang saya
sudah kenal 15 tahun, yang lain baru 6 bulan terakhir. Dan ke 5 orang di
hadapan saya kalau boleh di istilahkan adalah mandor bangunan saya
dalam bidang ecommerse. Dan dalam diskusi tersebut ternyata saya baru
menyadari bahwa waktu 1 setengah tahun sudah terlalui oleh saya dalam
memperlajari ecommerse ini, ternyata saya sudah mengganti kontraktor 4
kali, melalukan perkembangan bermetamorfosis 8 kali. Dari konsep awal,
hingga prototype terakhir ini adalah pergeseran ke8. Dan masih alpha
test. Bahkan belum beta test. ini proses menuju competence, memang harus
"pay the price".
Kembali kediskusi saya dengan putra saya, Saya
perhatikan, selagi saya berbicara dengan Fatur wajahnya, saya kok yakin
dia masih ngak faham maksud saya dengan , “namanya juga masih belajar”
ungkapan saya di awal tadi.
Saya yakin dikepalanya banyak lagi
pertanyaan namun mengeluarkannya juga ngak mudah. misalnya dikepalanya :
Ayahnya seumur segini mulai sesuatu yang baru dan ngak take off-take
off.
Lalu saya menatapnya dan balik bertanya, kenapa mas? Ada
yang mau di tanyakan lagi? Kok mengkerut gitu kayak sedang mikir? Saya
bertanya lebih dalam lagi yang di jawab olehnya, kenapa ayah mesti
belajar berlama-lama. Emang harus begitu ya berbisnis itu?
Pertanyaan itu hanya membuat saya menyadari, bahwa dalam berbicara
dengan seseroang harus lah berbicara dengan “bahasa ibu”nya orang di
hadapan kita. Di hadapan saya adalah anak saya kedua, bernama fatur yang
hobbynya olah raga terutama sepak bola dan bola basket.
Jadi
“snap judgment” saya adalah, oh saya harus berbicara sesuai dengan
tgerminologi anak muda, pengemar olah raga . bahasa ibunya adalah olah
raga.
Begini mas, mas minat bisnis?
Yang di jawab dengan menganggguk.
Tahu Earvin Johnson ? Laker?
Iyalah ayah, magic Johnson khan?
Benar , kata saya kemudian. Tahu ngak kamu kalau sekarang magic Johnson adalah pebisnis yang cukup di hormati di amerika.
Ya iyalah, aku sangat menyukai banyak atlet dan pebisnis aku tahu
banget. Magic Johnson punya jaringan starbuck di amreika lebih dari 100
outlet, punya jaringan bioskop life style di berbagai daerah
afroamerican yang sangat sukses dan laku. Punya banyak housing property.
punya fund raiser company segala.
Good, kamu pelajari banyak dari sekeder sport tapi sampai cerita mereka saat ini update kamu mengikuti.
Iya lah yah, fatur menjawab dengan bangga akan pengetahuan dirinya.
Kamu tahu bahwa magic Johnson di usia sejak muda midupnya hanya bermain
olah raga terutama basket. Dan kamu tahu apa resep dia sukses? Kok bisa
pebasket menjadi pebisnis semudah menjetikan jari?
Fatur menggeleng. iya tidak tahu.
Saya memulai sedikit cerita, Ketika magic Johnson pension dari NBA dia
memiliki banyak uang untuk melakukan apapun dan dia memutuskan untuk
berbisnis.
Dan hari dimana dia mulai memutuskan berbisnis, dia
mencari orang yang akan di pilihnya untuk menjadi mentor bisnianya. Bisa
di bayangkan, multimillion dollar man, dalam berbisnis tetap memerlukan
mentor. Mentor bisnis.
Magics tidak berani gegabah langsung
berbisnis, berinvestasi. Dia bijak, dia cari mentor dan belajar dulu.
Dan pilihanya jatuh kepada pengusaha afroamerican yang cukup sukses
dimana dulu maigic Johnson sewaktu SMA pernah magang sebagai office boy
di sana.
Dengan nama besar, sebagai sport celebrity, dengan uang
banyak maka dia menefon kenalan lamanya tersebut. Dengan diplomasi khas
jenaka Magic Johnson dia meminta kenalanya tersebut untuk menjadi mentor
bisnisnya.
Yang ternyata menjawab dengan lugas, dia tidak mau
menjadi mentor bisnis magic Johnson. Magic Johnson kecewa, namun tidak
menyerah. Dia menceritakan pengalamanya melamar mentornya dan di tolak
kepada beberapa sahabatnya di LA laker sperti brian scott yang semua
terkejut karena Magic Johnson di kenal sebagai lobbyist unggul dan tidak
ada yang akan saya no dengan penawarannya.
Dan persistennya
magics hingga 3 kali diminta kenalanya menjadi mentornya yangs elalu di
tolak hingga suatu hari sang kenalan tersbeut menjawab yes, I would with
one condition. Dia mau menjadi mentor dengan satu syarat.
Dia
harus mengenal siapa magic Johnson. Dengan sebuah pertanyaaan: Do you
read news papaers? Kenalanya bertanya..ya di jawab cepat yes offcourse.
Kenalanya bertanya lagi, what do you read?
Di jawab magic Johnson, sport pages off course , I am a sportman!
Di jawab oleh kenalanya, well, I can’t be your business mentor then?
Magic bertanya., why?
If you are a business man, you should read business news. I repeat you only read, see, feel business.
Magic Johnson baru menyadari apa yang akan dilakukan setahun setelah
kejadian itu. Dia harus meletakan “database” bisnis dikepalanya. dia
mulai membaca, mendengar, menonton, diskusi, semuanya tentang bisnis.
dan itulah moment dimana dia memulai bisnis dengan 2 hal, mentor sebagai
pelaku competence dan ilmu bisnis dikepala.
Kalimat saya
bercerita pun saya akhiri melihat Fatur manggut-manggut kepalanya. Yang
dalam hati saya berbicara dnegan diri sendiri, mudah-mudahan kamu
mengerti ya nak. # may peace be upon us