Rabu, 28 Oktober 2015

“ Benar, kita mungkin pohon yang berbeda, namun di sini kita bertumbuh bersama”

Ayah kok nonton Bloomberg melulu, start up melulu, ? ini perkataan dari anak saya nomor dua yang rupanya memperhatikan kebiasaan saya kalau di rumah. Dan seperti kebiasaan saya, saya selalu menjawab, namanya juga belajar mas?!
Dan dia benar, mata saya kalau di acara TV, Koran ada info dunia ecommerese, arahnya tertuju kesana dengan perhatian full.
Memang aneh bagi banyak orang karena saya pasang menyetel seharian TV bisnis di rumah saya. dan ini menjadi seakan-akan tontonan wajib. Walau mereka ngak ada yang di depan TV. Namun sesekali saya yakin mata mereka atau telinga mereka mendengar. Dan saya biarkan saja hal itu, memang itu tujuan saya. dan dari info itulah saya belajar terus ecommerse.
Fatur melanjutkan pertanyaannya, Ayah, itu buku-buku semua di baca banyak banget kenapa semua bidangnya internet begitu sih? Kali ini dia ingin tahu lebih jauh. Karena benar, di meja kerja saya di rumah buku biografi dan buku tentang perusahaan ecommerse bergeletakan.
Saya menjawab, iya, ayah pernah di ajari dulu sekali selagi baru tamat kuliah sama ayah angkat ayah, mr Saroyan. Kalau mau melakukan sesuatu harus tahu ilmunya. Maka sebelum melkaukan sesuatu belajar isi kepala dengan pengetahuan dan tindakan. Karena itu ayah selalu menyempatkan mempelajari ecommerse saat ini selam 1,5 tahunan ini.
Itulah yang saya ungkapkan kepada anak saya. memang benar saya sangat semangat menambah ilmu saya dalam bidang ecommerse ini. Buku dan tulisan tentang perusahaan dotcom google, amazon, alibaba, netspace, linkedin, craiglist, houzz, whatapp, oracle , airbnb, semua terbaca beberapa kali oleh saya. Biografi seperti elon musk, larry elison, paul ellen, david karp, reid Hoffman, jack Dorsey, brian chesky, jim clark, dan masih banyak lagi saya hafal buku dan cerita mereka. Kalau yang major seperti sergei brin, larry page, jerry yang, steve wozniak, steve jobs itu standar. Hafal luar kepala.
Terlepas apa yang saya pelajari, tetap saya masih buta terhadap ecommerse. Saya mengatakan saya buta karena mungkin secara logika saya faham, saya sudah belajar namaun bagi saya hanya memindahkan, atau shifting mindset dari unaware ke aware. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari unconscious ke conscious dari tidak menyadari menjadi sadar.
Walau pun saya sadar aware atau conscious tetap saya uncompetence, tidak berkemampuan. Saya unskill tak berketrampilan.
Jadi tetap bisnis atau apapun yang terpenting adalah berkemampuan, competence. Jadi tidak ada cara lain melakukan tersebut adalah dengan mengerjakannya. Inilah yang saya coba juga mulai,
Dan sejak 1. 5 tahun yang lalu saya beranikan diri untuk memulai sesuatu. Yaitu membuat prototype bisnis model. Tidak tangung-tangung langsung 4 macam prototip.
Sehingga puncaknya saya kemarin ber 6 megandakan diskusi ringan sembari menunggu macet jalanan ibukota. 5 orang dihadapan saya adalah professional yang saya “hired” untuk mengerjakan prototype bisnis model e commerse ini.
Dari 5 orang ini, satu orang saya sudah kenal 15 tahun, yang lain baru 6 bulan terakhir. Dan ke 5 orang di hadapan saya kalau boleh di istilahkan adalah mandor bangunan saya dalam bidang ecommerse. Dan dalam diskusi tersebut ternyata saya baru menyadari bahwa waktu 1 setengah tahun sudah terlalui oleh saya dalam memperlajari ecommerse ini, ternyata saya sudah mengganti kontraktor 4 kali, melalukan perkembangan bermetamorfosis 8 kali. Dari konsep awal, hingga prototype terakhir ini adalah pergeseran ke8. Dan masih alpha test. Bahkan belum beta test. ini proses menuju competence, memang harus "pay the price".
Kembali kediskusi saya dengan putra saya, Saya perhatikan, selagi saya berbicara dengan Fatur wajahnya, saya kok yakin dia masih ngak faham maksud saya dengan , “namanya juga masih belajar” ungkapan saya di awal tadi.
Saya yakin dikepalanya banyak lagi pertanyaan namun mengeluarkannya juga ngak mudah. misalnya dikepalanya : Ayahnya seumur segini mulai sesuatu yang baru dan ngak take off-take off.
Lalu saya menatapnya dan balik bertanya, kenapa mas? Ada yang mau di tanyakan lagi? Kok mengkerut gitu kayak sedang mikir? Saya bertanya lebih dalam lagi yang di jawab olehnya, kenapa ayah mesti belajar berlama-lama. Emang harus begitu ya berbisnis itu?
Pertanyaan itu hanya membuat saya menyadari, bahwa dalam berbicara dengan seseroang harus lah berbicara dengan “bahasa ibu”nya orang di hadapan kita. Di hadapan saya adalah anak saya kedua, bernama fatur yang hobbynya olah raga terutama sepak bola dan bola basket.
Jadi “snap judgment” saya adalah, oh saya harus berbicara sesuai dengan tgerminologi anak muda, pengemar olah raga . bahasa ibunya adalah olah raga.
Begini mas, mas minat bisnis?
Yang di jawab dengan menganggguk.
Tahu Earvin Johnson ? Laker?
Iyalah ayah, magic Johnson khan?
Benar , kata saya kemudian. Tahu ngak kamu kalau sekarang magic Johnson adalah pebisnis yang cukup di hormati di amerika.
Ya iyalah, aku sangat menyukai banyak atlet dan pebisnis aku tahu banget. Magic Johnson punya jaringan starbuck di amreika lebih dari 100 outlet, punya jaringan bioskop life style di berbagai daerah afroamerican yang sangat sukses dan laku. Punya banyak housing property. punya fund raiser company segala.
Good, kamu pelajari banyak dari sekeder sport tapi sampai cerita mereka saat ini update kamu mengikuti.
Iya lah yah, fatur menjawab dengan bangga akan pengetahuan dirinya.
Kamu tahu bahwa magic Johnson di usia sejak muda midupnya hanya bermain olah raga terutama basket. Dan kamu tahu apa resep dia sukses? Kok bisa pebasket menjadi pebisnis semudah menjetikan jari?
Fatur menggeleng. iya tidak tahu.
Saya memulai sedikit cerita, Ketika magic Johnson pension dari NBA dia memiliki banyak uang untuk melakukan apapun dan dia memutuskan untuk berbisnis.
Dan hari dimana dia mulai memutuskan berbisnis, dia mencari orang yang akan di pilihnya untuk menjadi mentor bisnianya. Bisa di bayangkan, multimillion dollar man, dalam berbisnis tetap memerlukan mentor. Mentor bisnis.
Magics tidak berani gegabah langsung berbisnis, berinvestasi. Dia bijak, dia cari mentor dan belajar dulu. Dan pilihanya jatuh kepada pengusaha afroamerican yang cukup sukses dimana dulu maigic Johnson sewaktu SMA pernah magang sebagai office boy di sana.
Dengan nama besar, sebagai sport celebrity, dengan uang banyak maka dia menefon kenalan lamanya tersebut. Dengan diplomasi khas jenaka Magic Johnson dia meminta kenalanya tersebut untuk menjadi mentor bisnisnya.
Yang ternyata menjawab dengan lugas, dia tidak mau menjadi mentor bisnis magic Johnson. Magic Johnson kecewa, namun tidak menyerah. Dia menceritakan pengalamanya melamar mentornya dan di tolak kepada beberapa sahabatnya di LA laker sperti brian scott yang semua terkejut karena Magic Johnson di kenal sebagai lobbyist unggul dan tidak ada yang akan saya no dengan penawarannya.
Dan persistennya magics hingga 3 kali diminta kenalanya menjadi mentornya yangs elalu di tolak hingga suatu hari sang kenalan tersbeut menjawab yes, I would with one condition. Dia mau menjadi mentor dengan satu syarat.
Dia harus mengenal siapa magic Johnson. Dengan sebuah pertanyaaan: Do you read news papaers? Kenalanya bertanya..ya di jawab cepat yes offcourse.
Kenalanya bertanya lagi, what do you read?
Di jawab magic Johnson, sport pages off course , I am a sportman!
Di jawab oleh kenalanya, well, I can’t be your business mentor then?
Magic bertanya., why?
If you are a business man, you should read business news. I repeat you only read, see, feel business.
Magic Johnson baru menyadari apa yang akan dilakukan setahun setelah kejadian itu. Dia harus meletakan “database” bisnis dikepalanya. dia mulai membaca, mendengar, menonton, diskusi, semuanya tentang bisnis. dan itulah moment dimana dia memulai bisnis dengan 2 hal, mentor sebagai pelaku competence dan ilmu bisnis dikepala.
Kalimat saya bercerita pun saya akhiri melihat Fatur manggut-manggut kepalanya. Yang dalam hati saya berbicara dnegan diri sendiri, mudah-mudahan kamu mengerti ya nak. # may peace be upon us