Rabu, 28 Oktober 2015

“ JIka meragukan diri sendiri anda sudah kalah”


Salah satu kelemahan saya ternyata tidak pandai melihat hal yang detail. Saya ini "global" banget cara berfikirnya. Bagi teman-teman yang pasti sudah banyak faham dunia karakter manusia tentunya faham sekali akan hal ini.
Hal ini menjadi kesamaan juga dengan istri saya, kami berdua sama sama global cara berfikirnya, dan perbedaan kami satu dengan yang lain adalah dia berfikir "structural" dia runut rapi sementara saya unstuctur, tidak runut. Hal inilah sumber salah komunikasi kami tersering.
Atau ada kasus anak tertua kami yang menginjak remaja. Kalau di suruh ibunya ketika bangun tidur , selalu tidak di kerjakan. Sehingga ibunya senewn berat. Dan meng-klaim itu tuh, anak ayah ! nurutnya sama ayah.
Sehingga saya harus bergerak turun tangan baru anak kami melakukan sesuai perintah ibunya yang saya mengucapkan. Lama-lama saya gerah juga. Lalu saya mulai memperhatikan apa yang terjadi ketika suatu hari sang ibu memerintahkan anak kami untuk merapihkan kamarnya namun tidak kunjung di kerjakan.
Sang ibu senewan dan marah-marah. Dan mulai kalimat, tuh yah, ajarin dong anaknya!..kalimat berjarak dengan menggunakan istilah “anak nya” itu kata-kata berbahaya dalam jangka panjang. Karena ngak ada istilah anak mu, anak nya, yang benar adalah anak kita. Maka saya harus turun gunung nih “merapihkan” pikiran yang mulai “off side “ itu.
Lalu saya tanya, emang ngomong apa tadi, di jawab sang ibu, ya seperti biasa, kamu khan anak gadis ya rapihkan dong kamarnya, jangan males!”
Saya mulai meneliti pemilihan kata yang sang ibu lakukan.
Yuuup, saya dapat!
Saya mengatakan, begini, saya tahu masalahnya, si mbak itu anaknya cara berfikirnya "detail" rinci , sementara sang ibu berfikiranya global. Disini saya mulai tangkap perbedaan pemahaman arti kata “rapihkan”. Karena di kepala sang anak rapihkan itu apa? khan ada pembantu? Khan tiap hari sudah di rapihkan lalu apa? sang anak “ hang” ngak faham.
Maka saya mengatakan begini, yuk ikut ayah ke atas ke kakamr si mbak. Kita harus berkomunikasi cara si mbak, jangan pakai cara kita yang global. Yang rinci. Begini ngomongnya, mbak, kamu khan sudah gadis, hal yang bersifat pribadi, baju daleman kamu, celana, pakaian, buku-buku pelajaran kamu taruh balik pada tempatnya. Yang kotor taruh di tempat pakaian kotor yang baju rapih sudah di setrika sama ayuk di masukan ke lemari.
Tanpa saya berkata dua kali semua dikerjakan. Dan dia tahu urusan ngepel, ngelap, sisanya urusan pembantu, tapi dia mengerjakan porsi nya. Melihat si mbak mengerjakan dengan santai sang ibu baru ngeh selama ini ternyata instruksi nya kurang di fahami.
Inilah hal kecil yang merubah suasana rumah. Karena ketika kita faham cara berfikir lawan bicara maka kita bisa memilih kalimat dan kata-kata yang tepat yang dipahami.
Nah globalnya cara berfikir saya inimenjadi kelemahan saya di satu sisi didalam melihat masalah. Ketika suatu hari saya sedang ada pertemuan makan siang. Dalm diskusi tersebut teman saya meminta pendapat tentang usaha bakso di sebuah warung dengan menyewa ruko di bilangan Bekasi.
Dia memiliki ketrampilan dalam membuat baksa sapi dengan rasa yang luar biasa enak, namun mahal karena usnsur daging nya murni, 80% daging sapi pilihan dan 20% tepung. Dimana menurutnya kalo bakso itu di jual umum dangingnya berbading tepung bisa 50:50 lalu di tambah penyedap dan perasa daging. Dan, diua tidak melakukan 2 hal itu tanpa meyedap dan tanpa perasa daging. Semua alami, bumbu alami sehingga jatunya perkilo daging bakso nya lebih mahal hamoir 2 kali lipat dari bakso pada umumnya.
Dia berdua dengan mitranya ingin berdagang, bakso mutu tinggi. Namun di pasar orang masih meilhat 2 hal, harga dan rasa. Unsur sehat dan kwalitas belum banyak yang menyadari, melakukan edukasi bisa lama dan kapan balik modalnya. Atau dagang dengan harga 2 kali competitor ya bisa ngak laku!
Mendengar sahabat saya bercerita dan meminta saran saya. saya kok “hang” ya. Kepala saya mendadak menjadi bingung. Begitu detail dan mikro saya ngak “dapet” sudut pandangnya.
Lama saya terdiam. Mau jawabdari mana ya untuk menolong atau memberi saran dirinya. Saya ini bukan coach bisnis, saya ini bukan konsultan kewirausahaan. Saya ini bisnis ya action saja ngak mikir panjang. Namun ketika di minta saran ternyata saya ngak “instant” bisa jawab, terlalu rinci jawabnya aplikasi yang di butuhkannya.
Harus aplikatif, harus membumi, harus bisa dikerjakan. Bukan wacana di awing-awang, bukan saran tanpa pengalaman. Saya tidak terlalu berpengalaman di dunia retail rinci ini, walau dulu punya swalayan hingga 11 buah, tapi itu dulu.
Time change, waktu bergeser, bisnis bergeser. Bergeser di cara berbisnis, bergeser di pemahaman usher atau pemakainya. Bergesernya informasi, bergeser di “harapan” marketnya. Apa lagi menarget pasar generasi “thumbies” generasi pakai jempol.
Anak muda sekarang semua apa apa pakai jempol, remote, handphone, gadget, toys, joystick semua di jari. Generasi ini sangat sensitive dengan informasi dan gampang komen. Ngak dalam, tapi kuat pengeruh di “peer” nya.
Masuk di bisnis retail, di red ocean market yang kompetitif, labour insentif bergantung pada banyak sumbar daya manusia, dengan “noise” ramai. “voice” kita bisa tenggelam. Membuat “noise” kita menjadi “ voice” itu strategi tersendiri. Apa lagi dia memilih akan membuka usaha di daerah perumahan, bukan di lokasi “crowd gather” tempat berkumpul nya keramaian seperti pasar atau mall. Hal ini membuat saya belum bisa memberi saran lebih dalam. Nasehat apa yang harus saya berikan kepadanya.
Terlalu detail mematikan otak saya yang global ini. Bener, “devil is in detail”. Hal buruk itu baru terlihat ketika kita rinci masalahnya. Mungkin sabahat bisa bantu? Apa yang bisa kita sarankan agar sahabat kita ini bisa “survive” di bisnis nya yang baru akan di mulainya. # may peace be upon us.