Rabu, 28 Oktober 2015

OTORITER ATAU PERMISIF ?




Negara besar Indonesia dewasa ini merupakan hasil perubahan pola pikir dan pola pandang selama berabad-abad. Konsep tradisional tentang pemerintahan adalah kerajaan, yakni hak ilahi bagi raja. Lalu sebuah paradigma yang berbeda dikembangkan. Pemerintahan adalah rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lahirlah demokrasi konstitusional dengan memberanikan diri memerdekakan bangsa ini dari penjajahan Belanda di mana penjajah pada awalnya menunggangi para raja di berbagai wilayah Indonesia. Demokrasi membebaskan energi dan kecerdasan manusia secara luar biasa. Standar kehidupan baru dibuat. Kebebasan dan kemerdekaan memiliki arti baru.
Saya ingat sebuah perubahan pola pandang dan pola pikir kecil yang saya alami pada sebuah dialog dengan putri saya bernama Azka. Di suatu senja sambil bercengkrama bersama keluarga, Azka menyatakan sebuah pendapat yang merubah banyak hal dalam kehidupan saya pribadi. Dia menginginkan memelihara seekor anjing!!
“Ayah, boleh nggak Mbak Azka punya anjing?”
Saya terdiam cukup lama. Otak saya berfikir keras mengenai citra anjing dari sisi agama yang saya anut. Anjing adalah binatang yang tidak memiliki harkat yang baik bagi sebagian orang yang beragama Islam. Bahkan banyak yang mengharamkan walaupun dalilnya tidak jelas. Najis liurnya dipermasalahkan. Banyak orang tidak suka dengan anjing berdasarkan masukan atau induksi dari lingkungan. Khususnya kaum yang mendapat asupan doktrin agama. Saya adalah salah satunya.
Azka melanjutkan, “Kata ayah Mbak Azka (dia menyebut dirinya dengan nama mbak) harus menjadi seorang yang bertanggung jawab. Dengan memelihara anjing mbak khan bisa belajar bertanggung jawab. Masa’ belajar tanggung jawab jadi pemimpin cuma di omongan doang — dikasih wejangan sama ayah — kapan praktekinnya? Kapan mbak bisa belajar bertanggung jawab kalau mbak tidak diberikan sebuah tugas dan kekuasaan?” Azka dengan merengek memohon permintaannya dikabulkan.
Hah… anak saya berusia sebelas tahun memiliki sebuah permohonan dan argumen yang kuat seperti ini? saya berkata dalam hati.
Saya tidak segera menjawab permohonannya. Sulit merubah apa isi peta otak saya tentang anjing. Ribuan macam prasangka yang ada di kepala saya cukup membuat lidah terhenti bicara. Apa kata orang nanti? Orang Islam memelihara anjing di rumahnya. Rumah yang ada anjing dijauhi malaikat, doanya tidak diterima. Tamu tidak berkenan dan lain sebagainya.
Dalam pikiran yang lain, permohonan Azka adalah sebuah kebenaran pendidikan tanggung jawab yang ingin dipraktekkannya dan mungkin saya bisa patahkan dengan sebuah tindakan otoriter, dengan mengatakan, “Tidak boleh pelihara anjing!”
Namun itu bukan hal yang baik karena menjilat ludah sendiri akan pelajaran yang telah diajarkan bahwa otoriter hanyalah tindakan yang menguntungkan sementara, jangka panjang otorirarian belum pernah ada yang berhasil.
Yang saya lakukan berikutnya adalah mencoba menggali informasi lebih dalam lagi.
“Kenapa anjing, Nak? Kenapa tidak kucing saja?”
“Mbak suka sih sama kucing tapi tidak mau memeliharanya. Kucing itu binatangnya males dan licik. Tidak menurut, tidak pernah mau nurut perintah. Perilakunya mbak nggak suka walaupun mukanya lucu.”
“Kalau anjing?” saya menyelidik.
“Anjing bisa mbak suruh-suruh. Mereka lebih lincah. Mereka bisa diajari. Mereka bisa menjaga rumah dan menjaga mbak kalau tidak ada orang dirumah. Pokoknya anjing lebih banyak manfaatnya deh, Ayah, percaya deh.”
Bagi saya itu adalah sebuah argumen yang sangat masuk di akal. Apakah harus saya patahkan dengan ego ilmu agama yang saya miliki?
“Bukannya kamu tahu bahwa liurnya anjing itu najis sehingga dilarang oleh banyak orang yang tahu agama?” saya mencoba membuka sisi pandang lainnya dari Azka.
“Semua yang kotor kata Ayah najis, khan?” dia balik bertanya. “Ya bersihin aja. Bukan anjingnya yang salah, Ayah, najisnya yang tidak boleh. Mbak janji deh akan bertanggung jawab membersihkan kotoran yang najis. Kebersihan akan mbak jaga, Ayah, itu tanggung jawab mbak.”
Wah, rasanya seperti disambar geledek mendengar sebuah pertahanan keyakinan seperti ini oleh anak sendiri. (note : saya pernah dua kali disambar petir di lapangan golf dan lapangan basket sehingga badan saya terjatuh dan panas sekujur tubuh, jadi saya tahu rasanya disambar geledek). Saya diceramahi oleh putri sendiri yang umurnya terpaut 27 tahun lebih muda.
Dapat Anda bayangkan bagaimana perasaaan saya saat itu? Pola pandang dan pola pikir saya berubah. Tiba-tiba saya melihat segalanya secara berbeda. Karena saya melihat dengan cara berbeda, maka saya berfikir dengan cara berbeda. Saya merasa dengan cara berbeda. Saya berperilaku dengan cara berbeda. Seketika itu juga saya menjadi menyukai anjing. Menghormati dan mengagumi pendapat anak sendiri. Keraguan saya hilang. Saya tidak perlu lagi khawatir untuk mengendalikan sikap perilaku saya.
Lalu saya bertanya, “Khan melihara anjing mahal biayanya?”
“Gini lho, Ayah, kalau Ayah nggak setuju ya nggak apa-apa. Nggak usah buat pertanyaan yang diputer-puter yang nantinya mbak jadi nggak piara anjing. Poinnya mbak ingin jadi anak bertanggung jawab, bisa memimpin seperti nasehat ayah. Ajarin jangan pake ngomong, mbak nggak ngerti. Kalau pakai praktek dengan memelihara anjing siapa tahu bisa belajar tanggung jawab. Kasih makan jam tertentu, mandiin, ajak jalan dan olahraga anjingnya. Ngajarin disiplin ke anjingnya untuk pup di tempatnya, untuk duduk manis di sudut ruang, dan lain lain.”
“Kalau Ayah nggak setuju, kasih mbak sebuah tanggung jawab lainnya. Kalau disiplin belajar, disiplin olahraga, itu khan disiplin diri. Kalau melihara anjing itu disiplin kepemimpinan. Ini semua pelajaran yang ayah ajarkan lho.”
Aee mateee…saya benar-benar pusing dengar argumennya.
Azka melanjutkan, “Kalau emang mahal, kita cari jalan keluar. Di warung belakang sekolah nggak ada yang jual burger. Mbak khan sudah dua tahun ini jualan burger di bazaar komplek rumah kalau tujuh belas-an, laku banget khan? Jadi kita jualan burger aja di sekolah. Pagi-pagi masak lalu titip di warung dan bagi hasil dengan penjaga warung. Nanti penjaga warung tinggal ngangetin. Pokoknya gitu deh, Ayah. Mbak khan sering lihat banyak orang nitip dagangan di bubur ayam Om Sugeng.” (note : kami memiliki empat warung bubur ceker Sukabumi di daerah Jatiwaringin dan Bekasi yang dikelola oleh mitra saya almarhum Mas Sugeng dan keluarga)
Pikiran saya keras berputar. Azka hanya membalik seluruh apa yang saya ajarkan. Saya posisinya saat itu adalah posisi di sudut ring dengan double cover di tonjokin Mike Tyson.
Di sebuah keluarga yang saya coba bangun dengan keterbukaan, egaliter kesamaan serta mendahulukan keluargafamily first value , saat itu saya merasa di persimpangan. Mengeluarkan jurus otoritatif atau mempertahankan permisif. Semuanya indah, semuanya benar, semuanya ada konsekwensi. Dalam sebuah perjuangan yang dilihat adalah hasil jangka panjang bukan kemenangan sesaat. Sikap permisif di jangka panjang lebih ringan, lebih efektif namun mengerjakankannya adalah penaklukan ego. (berlanjut jika di perkenankan..)