Negara
besar Indonesia dewasa ini merupakan hasil perubahan pola pikir dan pola
pandang selama berabad-abad.
Konsep tradisional tentang pemerintahan adalah kerajaan, yakni hak ilahi bagi
raja. Lalu sebuah paradigma yang berbeda dikembangkan. Pemerintahan adalah
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Lahirlah demokrasi konstitusional dengan
memberanikan diri memerdekakan bangsa ini dari penjajahan Belanda di mana penjajah pada awalnya
menunggangi para raja di berbagai
wilayah Indonesia. Demokrasi
membebaskan energi dan kecerdasan manusia secara luar biasa. Standar kehidupan
baru dibuat. Kebebasan dan kemerdekaan memiliki arti baru.
Saya
ingat sebuah perubahan pola pandang dan pola pikir kecil yang saya alami pada
sebuah dialog dengan putri saya bernama Azka. Di suatu
senja sambil bercengkrama bersama keluarga, Azka menyatakan sebuah pendapat
yang merubah banyak hal dalam kehidupan saya pribadi. Dia menginginkan
memelihara seekor anjing!!
“Ayah,
boleh nggak
Mbak
Azka punya anjing?”
Saya
terdiam cukup lama. Otak saya berfikir keras mengenai citra anjing dari sisi
agama yang saya anut. Anjing adalah binatang yang tidak memiliki harkat yang
baik bagi sebagian orang yang beragama Islam. Bahkan banyak yang mengharamkan
walaupun dalilnya tidak jelas. Najis liurnya dipermasalahkan. Banyak orang
tidak suka dengan anjing berdasarkan masukan atau induksi dari lingkungan.
Khususnya kaum yang mendapat asupan doktrin agama. Saya adalah salah satunya.
Azka
melanjutkan, “Kata ayah Mbak
Azka (dia menyebut dirinya dengan nama mbak) harus menjadi seorang yang
bertanggung jawab. Dengan memelihara anjing mbak khan bisa belajar bertanggung
jawab. Masa’ belajar tanggung jawab jadi pemimpin cuma di omongan doang — dikasih
wejangan sama ayah — kapan praktekinnya? Kapan mbak bisa belajar bertanggung
jawab kalau mbak tidak diberikan sebuah tugas dan kekuasaan?” Azka dengan
merengek memohon permintaannya dikabulkan.
“Hah…
anak saya berusia sebelas tahun memiliki sebuah permohonan dan argumen yang
kuat seperti ini?”
saya
berkata dalam hati.
Saya
tidak segera menjawab permohonannya. Sulit merubah apa isi peta otak saya
tentang anjing. Ribuan macam prasangka yang ada di kepala saya cukup membuat lidah
terhenti bicara. Apa
kata orang nanti? Orang Islam
memelihara anjing di rumahnya.
Rumah yang ada anjing dijauhi malaikat, doanya tidak diterima. Tamu tidak
berkenan dan lain sebagainya.
Dalam
pikiran yang lain, permohonan Azka adalah sebuah kebenaran pendidikan tanggung
jawab yang ingin dipraktekkannya dan mungkin saya bisa patahkan dengan sebuah
tindakan otoriter, dengan mengatakan, “Tidak boleh pelihara anjing!”
Namun
itu bukan hal yang baik karena menjilat ludah sendiri akan pelajaran yang telah
diajarkan bahwa otoriter hanyalah tindakan yang menguntungkan sementara, jangka
panjang otorirarian belum pernah ada yang berhasil.
Yang
saya lakukan berikutnya adalah mencoba menggali informasi lebih dalam lagi.
“Kenapa
anjing, Nak? Kenapa tidak kucing saja?”
“Mbak
suka sih sama kucing tapi tidak mau memeliharanya. Kucing itu binatangnya males
dan licik. Tidak menurut, tidak pernah mau nurut perintah. Perilakunya mbak
nggak suka walaupun mukanya lucu.”
“Kalau
anjing?” saya menyelidik.
“Anjing
bisa mbak suruh-suruh.
Mereka lebih lincah. Mereka bisa diajari. Mereka bisa menjaga rumah dan menjaga
mbak kalau tidak ada orang dirumah. Pokoknya anjing lebih banyak manfaatnya deh,
Ayah, percaya deh.”
Bagi
saya itu adalah sebuah argumen yang sangat masuk di akal. Apakah harus saya
patahkan dengan ego ilmu agama yang saya miliki?
“Bukannya
kamu tahu bahwa liurnya anjing itu najis sehingga dilarang oleh banyak orang
yang tahu agama?” saya mencoba membuka sisi pandang lainnya dari Azka.
“Semua
yang kotor kata Ayah najis, khan?” dia balik bertanya. “Ya bersihin aja. Bukan
anjingnya yang salah,
Ayah,
najisnya yang tidak boleh. Mbak janji deh akan bertanggung jawab membersihkan
kotoran yang najis. Kebersihan akan mbak jaga, Ayah, itu tanggung jawab mbak.”
Wah,
rasanya seperti disambar geledek mendengar sebuah pertahanan keyakinan seperti
ini oleh anak sendiri. (note : saya pernah dua kali disambar petir di lapangan golf dan lapangan basket
sehingga badan saya terjatuh dan panas sekujur tubuh, jadi saya tahu rasanya disambar
geledek). Saya diceramahi oleh putri sendiri yang umurnya terpaut 27 tahun
lebih muda.
Dapat
Anda bayangkan bagaimana perasaaan saya saat itu? Pola pandang dan pola pikir
saya berubah. Tiba-tiba saya melihat segalanya secara
berbeda. Karena saya melihat dengan cara berbeda, maka saya berfikir dengan
cara berbeda. Saya merasa dengan cara berbeda. Saya berperilaku dengan cara
berbeda. Seketika itu juga saya menjadi menyukai anjing. Menghormati dan
mengagumi pendapat anak sendiri.
Keraguan
saya hilang. Saya tidak perlu lagi khawatir untuk mengendalikan sikap perilaku
saya.
Lalu
saya bertanya, “Khan melihara anjing mahal biayanya?”
“Gini
lho, Ayah, kalau Ayah nggak setuju ya nggak apa-apa. Nggak usah buat pertanyaan
yang diputer-puter yang nantinya mbak jadi nggak piara
anjing. Poinnya mbak ingin jadi anak bertanggung jawab, bisa memimpin seperti
nasehat ayah. Ajarin jangan pake ngomong, mbak nggak ngerti. Kalau pakai praktek
dengan memelihara anjing siapa tahu bisa belajar tanggung jawab. Kasih makan
jam tertentu, mandiin, ajak jalan dan olahraga anjingnya. Ngajarin disiplin ke
anjingnya untuk pup di tempatnya, untuk duduk manis di sudut ruang, dan lain
lain.”
“Kalau
Ayah
nggak setuju, kasih mbak sebuah tanggung jawab lainnya. Kalau disiplin belajar,
disiplin olahraga, itu khan disiplin diri. Kalau melihara anjing itu disiplin
kepemimpinan. Ini semua pelajaran yang ayah ajarkan lho.”
Aee
mateee…saya benar-benar
pusing dengar argumennya.
Azka
melanjutkan, “Kalau emang mahal, kita cari jalan keluar. Di warung belakang
sekolah nggak ada yang jual burger. Mbak khan sudah dua tahun ini jualan burger di bazaar komplek rumah kalau
tujuh belas-an,
laku banget khan? Jadi kita jualan burger aja di sekolah. Pagi-pagi masak lalu titip di warung dan
bagi hasil dengan penjaga warung. Nanti penjaga warung tinggal ngangetin. Pokoknya gitu deh, Ayah. Mbak khan sering lihat
banyak orang nitip dagangan di bubur ayam Om Sugeng.” (note : kami memiliki
empat warung bubur ceker Sukabumi di daerah Jatiwaringin dan Bekasi yang
dikelola oleh mitra saya almarhum Mas Sugeng dan keluarga)
Pikiran
saya keras berputar. Azka hanya membalik seluruh apa yang saya ajarkan. Saya
posisinya saat itu adalah posisi di sudut ring dengan double cover di tonjokin Mike Tyson.
Di sebuah keluarga yang saya coba bangun dengan
keterbukaan, egaliter kesamaan serta mendahulukan keluarga — family
first value —, saat itu saya merasa di persimpangan.
Mengeluarkan jurus otoritatif atau mempertahankan permisif. Semuanya indah,
semuanya benar, semuanya ada konsekwensi. Dalam sebuah perjuangan yang dilihat
adalah hasil jangka panjang bukan kemenangan sesaat. Sikap permisif di jangka
panjang lebih ringan, lebih efektif namun mengerjakankannya adalah penaklukan
ego. (berlanjut jika di perkenankan..)