Selagi masa konstruksi pabrik
hydrated lime di tahun
1995 terjadi masalah. Perhitungan awal yang menggunakan sistem pembakaran
vertical kiln ternyata tidak menghasilkan mutu kapur bakar (kapur tohor) yang
baik. Ukuran batuan kapur yang besar (sebesar bola) membuat sisi dalam tidak
terbakar dan kalau pun
terbakar, sisi luar menjadi overburn.
Ini tantangan tersendiri. Awalnya mana saya tahu akan ada
masalah seperti ini, bisnis memang sebuah ketrampilan yang harus dijalani bukan
wacana. Jadi menjalaninya perlu seribu satu cara ide kreatif menyelesaikan
masalah. Saya yang berlatar belakang bukan teknis atau tambang, terpusing-pusing dibuatnya. Cara terbaik adalah belajar lagi dan belajar
lagi.
Maka saya pergi ke Perth Australia, ke sebuah perusahaan bernama Phyroterm. Ini adalah perusahaan
design engineering. Pemiliknya Mr Max Van Durnum. Warga Australia turunan Belanda. Di mana saya kenal dia? Ada sebuah sesi
cerita menarik berhubungan dengan Max. Salah satunya dia adalah coach rowing
saya dulu di Menlo
College, pelatih dayung di Amerika dulu. Saya akan ceritakan di
sesi lain. Singkat cerita Max dengan saudaranya yang super kreatif membuat
perusahaan Phyroterm
ini. Perusahaan invention alat-alat mekanik pabrik.
Di workshop-nya gabungan laboratorium teknik dan
pabrik robot. Saya menceritakan masalah yang Calsindo sedang alami. Ingin membuat
Ca(OH)2 dengan mutu tinggi namun tidak bisa menggunakan vertical kiln karena
jenis batuan kapur di Cileungsi agak lunak (jika dibandingkan dengan kapur di
daerah Tegal, Padalarang, Bantul).
Dari sisi teknis, kapur lunak mudah
ditambang, mudah dibakar, namun cara bakarnya yang belum ada solusi. Pakai
vertical kiln kapurnya pecah dan membuat jalan keluar kapur buntu. Dari sisi
pabrik kapur Calsindo awalnya menggunakan vertical kiln, ini terjadi karena
kebodohan saya percaya pada pabrik yang menjual alat ini, mesin 3R dari Cina.
Alasan klasik, lebih murah. Namun ternyata tidak bisa dagang, lha buat apa? Hal ini membuat saya belajar banyak bahkan investasi jadi
overbudget, harus menambah dana lagi. Biaya over run begini membuktikan satu
hal, saya ceroboh.
Setelah saya menceritakan masalah
yang saya hadapi, Max
Van Durnum melakukan ritual yang biasa
dilakukannya, silent mood. Hening dan diam. Saya menyibukkan diri membaca majalah-majalah di sekitar kamar kerjanya. Terkadang
sudut mata saya melirik ke arah
coach saya dulu itu, dan saya masih memanggil dia “coach”. Dia merobek-robek kertas, namun pikirannya ke mana-mana. Matanya menerawang jauh. Inilah posisi seseorang lagi
trancenden,
lagi trance,
lagi fly. Ya… sebaiknya saya tinggalkan dia
sendirian. Lalu saya pergi ke perpustakaan
publik, mencari
tahu solusi lain.
Esok harinya Max memanggil saya di kamar kerjanya.
Sekarang kamar kerjanya bentuknya sudah nggak karuan, berantakan, lalu dia
bilang, “I
think I
got it!”
“Well, those statement of your… got it! It’s sound familiar to me, right?!”
Dia tertawa terbahak-bahak. Ini adalah kata-kata yang diucapkan pada saat satu bulan pertama dia menjadi pelatih
rowing dulu. Kalimatnya adalah, “See, you don’t get it do ya? I guess you never get it do ya?
You just don’t get it? You never get it?”, itu saja kata-kata yang diulangi setiap kami mendayung sampai di finish line
sehingga kami harus ulang-ulang ratusan
kali mendayung di Still
Water berdelapan. Sekarang kata-kata“got it!” keluar lagi dari mulutnya.
Lalu dia menceritakan teori landasan
logikanya. Dia ambil penggaris platik, dia gosok-gosokkan di rambut sehingga menjadi medan magnet lalu dia dekatkan ke
kertas robekan dan kertas itu melayang-layang. Iya, ini mainan SD dulu. “Lalu?” saya bertanya meminta penjelasan lebih jauh lagi.
“Api (burner) sifatnya sama, anti gravitasi, jadi kita buat kiln posisinya
tidur dan material mengambang jalan di atas panas titik bakar kapur. Kapurnya melayang di atas burner (pembakar).”
Saya agak bingung namun logika saya
mulai faham.
“Saya kasih nama sistem ini fludized
bed kiln,” kata
Max semangat.
“Lalu ukuran batuan?” saya bertanya.
“Secara kalkulasi kira-kira ukurannya seperti peable atau kelereng, 1-3 cm. Waktu bakar
menjadi hemat, produksi meningkat, investasi sama dengan vertical kiln namun
kapasitas bisa tiga
kali lipat. Namun itu semua masih di dalam hitungan kertas, saya harus buat pilot plant
atau mesin skala lab. Kira-kira satu bulan lagi jadi.”
Ya sudah saya ambil kursus saja lagi
deh. Belajar adalah sisi lain hobby saya, dan belajar apa saja termasuk satu
bulan belajar di tahun 1995 itu, belajar menembak (shooting target ) di Perth,
di sebuah sekolah paramiliter di mana jasa lulusannya banyak dipakai sebagai
para contrador di Amerika Latin. Tiap hari kerjaannya adalah running, fitness
dan shooting (di lain
cerita saya urai).
Satu bulan berlalu, lab Max siap. Burner dipanaskan 950
derajat celcius lalu batuan dimasukkan. Dan benar, batu tersebut melayang, merah warnanya, lalu keluar di pnemumatic
stainless pipe hasilnya CaO mutu tinggi. Dikasih air (H20) tak lama bubuk putih
Ca (OH)2 tersedia, mutu 99
persen, impuritienya kecil sekali di bawah 1 persen. Kagum saya dengan inovasi
alat ini. Pertanyaan selanjutnya, berapa biayanya? Ketika disebutkan angka oleh Max dan draft agreement oleh Max, cukup membuat saya mengerutkan
dahi.
Pertaruhannya adalah, saya memerlukan tambahan
dana investasi sehingga harus mencari funder, teknologi baru yang belum teruji
di skala pabrik komersial. Di sisi
lain, pembangunan pabrik sudah 60 persen tinggal menunggu tanur kiln ini. Menunda memutuskan biaya bunga
ikut naik, biaya SDM ikut naik. Jadi — teringat kata-kata Max dulu — “If
you never throw the dice you will never have a six”. Di dalam dunia perdaduan, angka
enam adalah angka terbaik. Jadi untuk mendapatkan angka enam atau perolehan
terbaik dadunya harus dilempar artinya harus dijalankan. Jadi , saya teken itu agreement, dan kerja, kerja, kerja, hope the best, dapat funding plus
mesin jalan baik. #
peace be upon us
Diehard (bersambung perlu ditanyakan)