Rabu, 28 Oktober 2015

“ Untuk hidup “ China” berencana menambang di Bulan, sementara “Indonesia” masih mikir bagaimana untuk hidup dari bulan ke bulan”


Salah satu infrastruktur yang lagi di genjot oleh negara saat ini adalah ketersedian kelistrikan. Di canangkan dalam 5 tahun kedepan adalah 35 000 mega watt. Bagi kaum optimis maka hal ini bisa di capai, bagi kaum pesimis ini bahan ledekan yang bagus.
Kalau saya boleh tanya, anda termasuk yang mana?
Kita semua tahu bahwa syarat utama dalam investasi pembangunan adalah infrastuktur. Seperti jalanan , pelabuhan, bandara, terminal, hub support distribusi, dan kelistrikan juga salah satunya yang dalam daftar produksi,bahkan ada di daftar nomor 1 bagi dunia investasi produksi.
Betul, ada banyak lain lagi yang tak kalah penting seperti kestabilan keamanan, kemudahaan perizinan, ketersediaan bahan baku dan kwalitas SDM untuk pembangunan dan itu di bagi oleh departemen lainnya.
Rumit memang membangun itu. Apa lagi tanpa rencana. Ada rencana saja tidak segera bisa di jalankan.
Jadi urusan kelistrikan kita membahas bukan dari sisi optimis dan pesimis, atau bahasa psikologinya bukan dari kaca mata risk taker versus safety player. Tapi kita menggunakan cara pandang orang yang mengerti masalah, dan yang tidak tahu masalah. Dari mereka yang berpengetahuan versus orang yang tahu karena di “feed” oleh opini, terutama opini media.
Nah saya dimana? Maka saya sebenernya tidak masuk kaum kiri atau kanan, jadi saya termasuk orang yang sok tahu, dan pura-pura tahu..hehe
Begini kaca mata saya melihat kelistrikan dan rencana pemerintah mengadakan 35.000 Mega Watt tersebut. Ketika di canangkan maka di kepala saya ada 3 hal yang harus di kerjakan oleh “traktor”pelaksana pengadaan kelistrikan tersebut.
Pertama adalah feed stock atau ketersedian bahan pembangkit listrik atau power plant tersebut. Saat ini ada 5 macam bahan bakunya. Batu bara, fossil oil atau minyak bumi, gas , air (hidro), dan geo thermal panas bumi.
Saat ini komposisi penggunan bahan baku dominasi terbanyak adalah batu bara. Yang jadi pertanyaan saya adalah kedepan rencananya dimana yang akan di bangun power plant nya dan apa yang akan digunakan bahan bakunya?
Mengapa ini saya pertanyakan terlebih dahulu? Karena membangun power plant akan efisien jika dekat dengan sumber bahan baku dan dekat dengan pemakainya. Peta itu jadi terlebih dahulu, rencana kerja itu lengkap dulu datanya.
Namun saya harus jujur, saya agak sedikit berfikir tentang batu bara karena efek nya mulai dari rusaknya lingkungan tambang hingga efek “sulfur” hujan kuning membuat saya sesungguhnya menyarankan teknologi yang digunakan harus “green technology” atau pro environment . yang saya tahu itu mahal dan harus disiplin serta high regulation.
Mahalnya investasi berefek mahalnya harga listrik.
Fossil oil dan gas bisa dikatakan paling mahal bahan bakunya namun handling nya mudah. Jadi feeds mengadaan dan ketersedian bahan baku adalah hal pertama. Saya yakin 100% semuanya ada di bumi nusantara.
Menjadi efisien murah dan terserap adalah tantangan nomor dua. Masalah itu di nomor dua adalah ketersedian lahan dan pembebasan lahan.
Karena jauh-jauh lokasinya maka untuk menditribusikan listrik tersebut ternyata memerlukan 40.000 KM sambungan kabel mulai dari power plant, gardu induk , transmisi hingga ke indusrti pengguna. Membangun distribusi dan mengerjakannya adalah hal yang sulit. Medannya diantara hutan dan laut.
Lalu yang ketiga adalah system pembangkitnya. Dengan 5 macam bahan baku itu menentukan pembangkit listriknya tenaga apa, uap? Air? Gas? Minyak? Batubara?
Kalau pertanyaan ini diajukan kesaya maka yang saya jawab adalah, seluruh pembangkit di Kalimantan pakai batubara karena lokasi tambang dan penggunakanya di sana. Bangun pabrik smelter untuk nickel, copper, gold di Kalimantan juga. Bangun kawasan industry pengolahan bahan mineral semua di Kalimantan saja. Termasuk hilirisasi industry turunan dari mineral juga di Kalimantan.
Di Sulawesi listrik pakai gas karena gas donggi sinoro bisa buat feed listrik satu Sulawesi. Tidak usah di eksport gasnya. Untuk pengadaan dalam negeri saja yaitu Sulawesi. Cadangan gas donggi bisa buat 50 tahun listrik di sulawesi.
Kawasan timur Indonesia saat ini banyak menggunakan listrik bertenaga minyak bumi dan ini mahal dalam jangka panjang karena urusan minyak bumi kita masih impor. Jadi untuk tidak import minyak bumi untuk pembangkit listrik sebaiknya juga menggunakan gas.
Gas di papua besar sekali, di sorong itu banyak gas. Gas tangguh itu besar, gas masela di Maluku besar sekali. Hanya tinggal buat LNG plant dan distribusi pakai kapal maka selain kita mengurangi import minyak bumi , bahan bakunya dekat dan murah distribusinya.
Bali, NTT, NTB dan Madura ambil listrik dengan bahan baku gas juga yang ada di Madura. Di pulau Madura , di 3 kabupaten, yaitu bangkalan, sampan, sumenep perusahaan gas yang beroperasi disana ada 15 perusahan lebih yang menghasilkan gas sangat besar, semua mulai produksi di tahun 2017 samapai 30 tahun kedepan. Gasnya berlebih. Bangun pembangkit tenaga gas di sana dan distribusikan ke jawa timur bali, NTB, NTT.
Efek nomor satu dari gasisasi litrik adalah saya yakin kita tidak lagi mengimport 150 triliun untuk membeli minyak bumi BMM. Jadi dengan satu dayung 2 3 pulau terlapaui. Dengan merubah gas sebagai sumber listrik, kita bisa memenuhi kebutuhan listrik dan menyetop import minyak BBM. Semoga saya menulis ini tidak sedang tidur dan bermimp atau tidak sedang datang bulan.i # peace be upon us