Ada
hal yang membuat saya harus bolak-balik
Semarang-Cepu-Pati dalam minggu kemarin berkali-kali.
Yaitu kami menemukan fakta bahwa unit usaha yang kami bangun di tahun 2008
hingga saat ini sudah menginjak tahun keempat tidak pernah untung. Berbisnis
jika tidak ada untung di pembukuan adalah hal yang tabu. Banyak pengusaha yang
akan mengatakan bahwa kalau bisnis nggak ada untungnya, mendingan uang tersebut
ditaruh di deposito dapet bunga tanpa repot kerja. Sementara kalau berbisnis, nggak untung apa lagi rugi ditambah
kepala pusing berurusan dengan banyak pihak buat apa. Itu sebuah kesia-siaan.
Mungkin saya setuju dengan pernyataan itu namun saya mempunyai sisi lain dalam
melihat hal ini.
Banyak
rekan pebisnis yang mengalami pengalaman pahit berbisnis tidak untung oleh
mereka terkadang diberi filosofi sedikit agar terlihat tidak terlalu disalahkan
misalnya, yang penting kita dapet ilmu, yang penting kita dapet netwotk baru. Banyak hal eufimisme — penghalusan — seperti itu agar tidak
kecewa-kecewa amat. Namun bagi saya kalau berbisnis lalu tidak mendapatkan
keuntungan, ini adalah asli kebodohan saya. Pasti ketidaktelitian saya, pasti
keterburu-buruan saya. Pastinya
tidak ada yang saya salahkan siapa pun atau hal di luar saya.
Urusan
di atas, yaitu kota Cepu-Pati-Semarang ini hubungannya adalah
sebuah usaha yang kami bangun di tahun 2008. Asal muasalnya adalah kami
menemukan flare gas di daerah Semanggi,
Blora, Jawa Tengah milik Pertamina EP yang secara data cukup
ekonomis untuk dibuat CNG, Compress Natural Gas. Dengan berbekal pengalaman
pabrik LPG kecil kami di daerah Prabumulih di tahun 2000 maka kami melakukan
study pasar dan teknis secara cepat terhadap peluang bisnis CNG ini.
Bergabung
dalam bidang ini dua mitra kami yang baru sehingga kami memutuskan membuat SPV, sebuah special purpose vehicle, anak perusahaan baru, yang kami
beri nama SEP — Semanggi
Energy Pratama —.
Tim
engineering
melakukan survey teknik dan kami merasa percaya diri bahwa kami akan bisa
sukses berbisnis CNG. Bisnis ini di banyak negara sudah terbukti sukses namun
di Indonesia
di tahun 2008 tersebut belum ada yang berbisnis CNG. Kami dengan gagah berani
menyatakan SEP adalah pioneer dan mendirikan perusahaan berbisnis CNG pertama
di Indonesia. Klaim
kesombongan seperti ini ternyata tidak gratis yang di kemudian hari harus dibayar dengan banyak air mata serta keringat
kepantasan.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa di setiap industri
atau pabrik, maka ada dua
hal yang sangat krusial atau penting untuk mereka berbisnis yaitu adanya
listrik dan bahan bakar untuk burner mereka. Sebutlah steel foundries, smelter,
food industy seperti Indomie,
pabrik susu,
apa pun yang namanya pabrik dasar maka memerlukan listrik dan bahan bakar.
Berbasis minyak atau gasoline harganya selalu meningkat tajam, mahal. Maka
mengunakan gas
adalah murah dan ramah lingkungan.
Yang
jadi kendala adalah distribusinya. Gas di sisi hulu atau di well, di
sumur,
sangat murah namun mengirimnya ke para off taker atau prabrik ini menjadi
kendala dan biaya bisa menjadi tidak feasible alias mahal. Ada tiga hal yang biasanya dilakukan dalam
mengirim gas ini, yaitu dengan pipa, high pressure pipe, dengan vessel atau
tanker atau melalui darat dikirim via GTM truck atau Gas Transport Module yang
berbentuk tubing di dalam kontainer
20 footers atau 40 footers.
Ketika
kami menemukan gas yang dibakar percuma milik Pertamina EP di daerah Blora ini maka kami dengan spartan dan pede mengajukan diri ke Pertamina membeli gas tersebut. Tentunya bagi Pertamina ini adalah faedah yang
besar alias extra income. Setelah kami hitung investasi lahan, compressor dan juga gas separator
pembersihan H2S dan CO2 ditambah alat tranportasi GTM kami percaya bahwa bisnis CNG bisa sukses.
Tinggal
kami harus mencari market alias buyer CNG tersebut. Secara kalkulasi di daerah Semarang, Kudus, Solo, Pati, yang namanya industri luar biasa besarnya sehingga kami
pun optimis pasar siap. Optimisme inilah menurut saya yang akhirnya membutakan
mata kami. Banyak hal yang kami abaikan. Kami merasa posisi gas plant CNG kami terdekat dengan
pasar. Kami hanya radius 150 kilometer sudah bisa mencapai seluruh peminat CNG,
di mana sumber gas terdekat praktis bisa dikatakan tidak ada di Jawa Tengah
kecuali di posisi kami, di Cepu. Kalau pun ada yaitu di Tuban dan Gresik, Jawa Timur, di mana jaraknya yang 250 kilometer menjadi tidak
ekonomis. Belum lagi permintaan Jawa
Timur
yang cukup besar, alias gas Jawa
Timur
sebaiknya untuk kebutuhan Jawa
Timur.
Karena semakin dekat jarak semakin kompetitif alias murah harga gasnya.
Dalam
waktu singkat permintaan dan kontrak dari perusahaan makanan di Kendal, Pati dan pabrik rokok utama Kudus meminta CNG. Hati kami bungah,
bangga bercampur senang dan super optimis. Sekali lagi apa yang terlihat cerah
tersebut akan berbeda di mata mereka yang sudah berpengalaman. Apakah ini
benar-benar cerah atau ini hanya banyangan semu. Nantinya terkuak hal-hal yang
nyata yang tidak terlihat, yang halus dan yang mempengaruhi keuntungan bisa
hilang!
Kami
pun melakukan investasi, dari uang sendiri, secara nilai bisnis ini bukan
bisnis berskala besar, belum . Size-nya masih UKM kok, namun bank belum
bisa menerima sehingga kami memutuskan menggunakan seluruhnya capital sendiri,
urunan. Sesuai share, sesuai kapabilitas. Kami optimis begitu ada turn over,
revenue maka refinance atau dibiayai menggunakan dana perbankan menjadi mudah. Refinance bahkan kami sudah melamun
untuk melakukan mark-up
karena memiliki value sebagai pioneer dan bisnisnya bagus sehingga bisa up-front untung di depan. Sekali lagi,
itu bicara sombong karena mendahului Yang Maha Kuasa, bicara optimis, bicaranya
pemimpi.
Seluruh
alat terbaik, mesin terbaik terpasang, bisnis jalan sesuai jadwal. Turn over revenue mulai jalan
di tahun 2009. Fakta mulai terkuak. Ternyata hingga saat ini kami berhasil menciptakan penjualan dan sepertinya
berbisnis namun hanya bisa untuk menutupi overhead bulanan saja. Di ujung
pembukuan nol, impas. Jika dihitung investasi… belum ada satu sen pun masuk kembali ke kantong
kami. Bagaimana mengatakan untung atau bisnis ini bagus, investasi saja belum
kembali!!
Sejak
enam
bulan ini kami melakukan penyelidikan dengan secara menyeluruh. Di mana bottle
neck-nya,
di mana terjadi masalah penyempitan keuntungan ini. Di sinilah bagi saya
tantangan terbesar berbisnis. Inilah yang membuat tidak bisa tidur dengan enak
pada malam hari karena terkadang terbangun memikirkan masalah ini. Mencari akar
masalah adalah seni tersendiri. Menyelesaikan masalah kalau akar masalahnya
benar maka mudah, namun kalau tidak terdapat data yang benar asal muasalnya
maka tidak akan bisa selesai masalah tersebut.
Hal
inilah yang membuat saya berada di tengah hutan jati di tempat sepi di sumur Semanggi berjarak 30 kilometer dari kota Cepu yang juga sepi. Hal inilah
membuat saya harus mendatangi para off taker kami satu persatu. Hal inilah yang
membuat saya duduk di samping sopir
GTM yang mendistribusikan CNG, hal inilah yang membuat saya bolak-balik ke Pertamina EP di Cirebon
pusatnya sumur Cepu.
Hal inilah yang membuat saya bermalam-malam duduk dan tinggal bersama di mess
karyawan di Cepu.
Kami harus menerima data real yang benar dari penyidikan yang benar.
Segala
keoptimisan di awal sirna semua, segala mimpi di awalnya memudar, yang ada
tinggal kecemasan dan mencoba menjaga semangat self push mebakar motivasi diri
sendiri. Benarlah kata Malcom Goldwell bahwa sebelum sepuluh ribu jam melakukan
hal yang sama seseorangbelum dikatakan faham, mengerti , memahami, makrifat
atau menjadi master. Di mana setelah sepuluh ribu jam melakukan hal tersebut maka bisnis akan
menjadi mudah alias segala keputusan bisa dilakukan dengan snap judgment. Kami
di SEP jauh belum mencapai kemakrifatan bisnis CNG. Di kereta malam Rajawali
jurusan Cepu-Semarang tulisan ini di-upload agar mendapat dorongan semangat
menuntaskan sepuluh ribu jam dari para sahabat.