Rabu, 28 Oktober 2015

HARGA SEBUAH KESOMBONGAN



Ada hal yang membuat saya harus bolak-balik Semarang-Cepu-Pati dalam minggu kemarin berkali-kali. Yaitu kami menemukan fakta bahwa unit usaha yang kami bangun di tahun 2008 hingga saat ini sudah menginjak tahun keempat tidak pernah untung. Berbisnis jika tidak ada untung di pembukuan adalah hal yang tabu. Banyak pengusaha yang akan mengatakan bahwa kalau bisnis nggak ada untungnya, mendingan uang tersebut ditaruh di deposito dapet bunga tanpa repot kerja. Sementara kalau berbisnis, nggak untung apa lagi rugi ditambah kepala pusing berurusan dengan banyak pihak buat apa. Itu sebuah kesia-siaan. Mungkin saya setuju dengan pernyataan itu namun saya mempunyai sisi lain dalam melihat hal ini.
Banyak rekan pebisnis yang mengalami pengalaman pahit berbisnis tidak untung oleh mereka terkadang diberi filosofi sedikit agar terlihat tidak terlalu disalahkan misalnya, yang penting kita dapet ilmu, yang penting kita dapet netwotk baru. Banyak hal eufimisme penghalusan seperti itu agar tidak kecewa-kecewa amat. Namun bagi saya kalau berbisnis lalu tidak mendapatkan keuntungan, ini adalah asli kebodohan saya. Pasti ketidaktelitian saya, pasti keterburu-buruan saya. Pastinya tidak ada yang saya salahkan siapa pun atau hal di luar saya.
Urusan di atas, yaitu kota Cepu-Pati-Semarang ini hubungannya adalah sebuah usaha yang kami bangun di tahun 2008. Asal muasalnya adalah kami menemukan flare gas di daerah Semanggi, Blora, Jawa Tengah milik Pertamina EP yang secara data cukup ekonomis untuk dibuat CNG, Compress Natural Gas. Dengan berbekal pengalaman pabrik LPG kecil kami di daerah Prabumulih di tahun 2000 maka kami melakukan study pasar dan teknis secara cepat terhadap peluang bisnis CNG ini.
Bergabung dalam bidang ini dua mitra kami yang baru sehingga kami memutuskan membuat SPV, sebuah special purpose vehicle, anak perusahaan baru, yang kami beri nama SEP Semanggi Energy Pratama. Tim engineering melakukan survey teknik dan kami merasa percaya diri bahwa kami akan bisa sukses berbisnis CNG. Bisnis ini di banyak negara sudah terbukti sukses namun di Indonesia di tahun 2008 tersebut belum ada yang berbisnis CNG. Kami dengan gagah berani menyatakan SEP adalah pioneer dan mendirikan perusahaan berbisnis CNG pertama di Indonesia. Klaim kesombongan seperti ini ternyata tidak gratis yang di kemudian hari harus dibayar dengan banyak air mata serta keringat kepantasan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di setiap industri atau pabrik, maka ada dua hal yang sangat krusial atau penting untuk mereka berbisnis yaitu adanya listrik dan bahan bakar untuk burner mereka. Sebutlah steel foundries, smelter, food industy seperti Indomie, pabrik susu, apa pun yang namanya pabrik dasar maka memerlukan listrik dan bahan bakar. Berbasis minyak atau gasoline harganya selalu meningkat tajam, mahal. Maka mengunakan gas adalah murah dan ramah lingkungan.
Yang jadi kendala adalah distribusinya. Gas di sisi hulu atau di well, di sumur, sangat murah namun mengirimnya ke para off taker atau prabrik ini menjadi kendala dan biaya bisa menjadi tidak feasible alias mahal. Ada tiga hal yang biasanya dilakukan dalam mengirim gas ini, yaitu dengan pipa, high pressure pipe, dengan vessel atau tanker atau melalui darat dikirim via GTM truck atau Gas Transport Module yang berbentuk tubing di dalam kontainer 20 footers atau 40 footers.
Ketika kami menemukan gas yang dibakar percuma milik Pertamina EP di daerah Blora ini maka kami dengan spartan dan pede mengajukan diri ke Pertamina membeli gas tersebut. Tentunya bagi Pertamina ini adalah faedah yang besar alias extra income. Setelah kami hitung investasi lahan, compressor dan juga gas separator pembersihan H2S dan CO2 ditambah alat tranportasi GTM kami percaya bahwa bisnis CNG bisa sukses.
Tinggal kami harus mencari market alias buyer CNG tersebut. Secara kalkulasi di daerah Semarang, Kudus, Solo, Pati, yang namanya industri luar biasa besarnya sehingga kami pun optimis pasar siap. Optimisme inilah menurut saya yang akhirnya membutakan mata kami. Banyak hal yang kami abaikan. Kami merasa posisi gas plant CNG kami terdekat dengan pasar. Kami hanya radius 150 kilometer sudah bisa mencapai seluruh peminat CNG, di mana sumber gas terdekat praktis bisa dikatakan tidak ada di Jawa Tengah kecuali di posisi kami, di Cepu. Kalau pun ada yaitu di Tuban dan Gresik, Jawa Timur, di mana jaraknya yang 250 kilometer menjadi tidak ekonomis. Belum lagi permintaan Jawa Timur yang cukup besar, alias gas Jawa Timur sebaiknya untuk kebutuhan Jawa Timur. Karena semakin dekat jarak semakin kompetitif alias murah harga gasnya.
Dalam waktu singkat permintaan dan kontrak dari perusahaan makanan di Kendal, Pati dan pabrik rokok utama Kudus meminta CNG. Hati kami bungah, bangga bercampur senang dan super optimis. Sekali lagi apa yang terlihat cerah tersebut akan berbeda di mata mereka yang sudah berpengalaman. Apakah ini benar-benar cerah atau ini hanya banyangan semu. Nantinya terkuak hal-hal yang nyata yang tidak terlihat, yang halus dan yang mempengaruhi keuntungan bisa hilang!
Kami pun melakukan investasi, dari uang sendiri, secara nilai bisnis ini bukan bisnis berskala besar, belum . Size-nya masih UKM kok, namun bank belum bisa menerima sehingga kami memutuskan menggunakan seluruhnya capital sendiri, urunan. Sesuai share, sesuai kapabilitas. Kami optimis begitu ada turn over, revenue maka refinance atau dibiayai menggunakan dana perbankan menjadi mudah. Refinance bahkan kami sudah melamun untuk melakukan mark-up karena memiliki value sebagai pioneer dan bisnisnya bagus sehingga bisa up-front untung di depan. Sekali lagi, itu bicara sombong karena mendahului Yang Maha Kuasa, bicara optimis, bicaranya pemimpi.
Seluruh alat terbaik, mesin terbaik terpasang, bisnis jalan sesuai jadwal. Turn over revenue mulai jalan di tahun 2009. Fakta mulai terkuak. Ternyata hingga saat ini kami berhasil menciptakan penjualan dan sepertinya berbisnis namun hanya bisa untuk menutupi overhead bulanan saja. Di ujung pembukuan nol, impas. Jika dihitung investasi… belum ada satu sen pun masuk kembali ke kantong kami. Bagaimana mengatakan untung atau bisnis ini bagus, investasi saja belum kembali!!
Sejak enam bulan ini kami melakukan penyelidikan dengan secara menyeluruh. Di mana bottle neck-nya, di mana terjadi masalah penyempitan keuntungan ini. Di sinilah bagi saya tantangan terbesar berbisnis. Inilah yang membuat tidak bisa tidur dengan enak pada malam hari karena terkadang terbangun memikirkan masalah ini. Mencari akar masalah adalah seni tersendiri. Menyelesaikan masalah kalau akar masalahnya benar maka mudah, namun kalau tidak terdapat data yang benar asal muasalnya maka tidak akan bisa selesai masalah tersebut.
Hal inilah yang membuat saya berada di tengah hutan jati di tempat sepi di sumur Semanggi berjarak 30 kilometer dari kota Cepu yang juga sepi. Hal inilah membuat saya harus mendatangi para off taker kami satu persatu. Hal inilah yang membuat saya duduk di samping sopir GTM yang mendistribusikan CNG, hal inilah yang membuat saya bolak-balik ke Pertamina EP di Cirebon pusatnya sumur Cepu. Hal inilah yang membuat saya bermalam-malam duduk dan tinggal bersama di mess karyawan di Cepu. Kami harus menerima data real yang benar dari penyidikan yang benar.
Segala keoptimisan di awal sirna semua, segala mimpi di awalnya memudar, yang ada tinggal kecemasan dan mencoba menjaga semangat self push mebakar motivasi diri sendiri. Benarlah kata Malcom Goldwell bahwa sebelum sepuluh ribu jam melakukan hal yang sama seseorangbelum dikatakan faham, mengerti , memahami, makrifat atau menjadi master. Di mana setelah sepuluh ribu jam melakukan hal tersebut maka bisnis akan menjadi mudah alias segala keputusan bisa dilakukan dengan snap judgment. Kami di SEP jauh belum mencapai kemakrifatan bisnis CNG. Di kereta malam Rajawali jurusan Cepu-Semarang tulisan ini di-upload agar mendapat dorongan semangat menuntaskan sepuluh ribu jam dari para sahabat.