“Pagi, Mas, bisa merapat ke kantor besok?! Full team ya, bagian finance, bagian legal, dan lain-lain”. Itu sms pesan dari pengurus baru Koperasi Angkatan Darat minggu lalu, hari Rabu.
Sebagai
seorang anak kolong, ayah saya pensiunan Angkatan Udara. Kakek dari pihak ibu adalah
juga tentara yang walau berpangkat rendahan namun memiliki bintang gerilya
sehingga dimakamkan di Kalibata, ada empat paman yang juga di dunia ketentaraan
nasional. Mertua juga tentara. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, saya
rutin mengajar di lembaga negara
kemiliteran khususnya keilmuan intelegen. Hal nilah yang membuat saya menjadi
sangat dekat dengan dunia militer.
Terlepas
dari banyaknya fihak yang tidak menyukai keaktifan militer karena
kerepresifannya atau tindakan kekerasan yang sering dilakukan, namun terkadang demi NKRI saya
sangat memahami. Tentara di perbatasan, di daerah rawan konflik, di daerah
terpencil, di daerah dengan sarana terbatas, banyak tentara yang berbakti
dengan hati tulus tanpa pandang bulu bahwa dirinya tidak dihargai orang pusat
atau mereka-mereka yang tidak pernah sekali pun melihat apa yang tentara
kerjakan namun menghujat.
Cara
memandang banyak pihak yang sinis saya pun mengerti. Namun kalau ada pihak yang
menggembosi militer itu saya sangat tidak bisa mengerti. Militer itu penting
keberadaannya. Militer Indonesia pernah menjadi kekuatan yang paling ditakuti
di wilayah Asia.
Setidaknya terakhir di jaman Pak
Harto
derajat tersebut masih dipandang. Namun embargo sepuluh tahun oleh Amerika atas alat perang, tekanan
asing dengan berbagai cara termasuk pencitraan akan kesan militer yang
aggressor dan represif terus didengungkan dan puncaknya adalah pemandulan
kefungsian militer dan diambil alih oleh kepolisian, hal ini semua menjadikan tentara kembali ke barak
dan memiliki gerak terbatas, dan seakan menjadi anak tiri.
Padahal
untuk menjadi kekuatan ekonomi maka kekuatan militer dan keamanan harus
sejajar. Moto ribuan tahun yang diucapkan panglima perang Julius Caesar yang menyatakan “Jika Anda ingin perdamaian bersiaplah
untuk perang” adalah pernyataan seorang yang berpengalaman mengelola negara besar. Romawi disebut second
reich atau kerajaan besar kedua karena pernah menguasi sepertiga dunia.
Di
sisi lain, pujangga nusantara Ronggowarsito
menuliskan, “tata tentrem kerto raharjo”. Kalau menginginkan kerto raharjo atau
kesejahteraan, maka kita harus “tentrem” harus damai, harus tentram, harus
aman, dan untuk tentrem tersebut kata Ronggowarsito
kita harus “tata” harus diatur, harus ditata, harus manage. Singkatnya tanpa di-“tata”
tanpa rasa “tentram” tidak mungkin kita kerto raharjo atau sejahtera, yang
nantinya membuat gemah ripah lohjinawi ijo royo-royo, berkelimpahan, makmur,
sehingga bisa menata semesta ijo royo-royo.
Kembali
ke sms di atas. Kamis saya dan team hadir di ruang pertemuan di Slipi. Pertemuan yang santai
informal dan tidak terlalu formal dihadiri oleh banyak perwira menengah dan
beberapa pati. Ini adalah pertemuan untuk mereka mendapatkan masukan dari
banyak segi, dan kali ini yang dibicarakan adalah aset TNI yang mendadak
berkurang.
TNI
tidak boleh berbisnis adalah benar dan rekan-rekan militer setujui. Namun hilangnya aset produktif
membuat mereka menjadi sangat terbatas. Sudah tidak berbisnis mereka tidak
berdana. Mereka menceritakan banyaknya aset berupa tanah , bangunan yang hilang
karena bermitra dengan pihak swasta lalu entah bagaimana caranya pat gulipat tahu-tahu seluruh aset pindah
tangan, hilang dari aset TNI.
Tujuan
mereka rekan-rekan TNI mereview aset tersebut adalah sederhana, mereka ingin
semua prajurit memiliki tempat tinggal yang layak, yang wajar, bisa untuk
membangun keluarga mendidik anak. Sehingga mereka bisa membaktikan dirinya
membela kedaulatan NKRI, lebih fokus,
lebih semangat. Namun dengan hilangnya aset tersebut membuat semua menjadi
sulit.
Ini
cerita mereka, “Mas Wowiek, tahu Hotel Kartika Plasa di dekat HI, di Jalan
Tanjung Karang?” seorang perwira berpangkat kolonel mencoba menerangkan karena
melihat saya berfikir keras mengingat di mana hotel itu.
“Itu
lho yang di pojokan, yang
sekarang jadi gedung tinggi UOB apa kalo nggak salah ada tulisannya.”
“Iya,
saya tahu...
emang dulu hotel?”
saya
bertanya, kayaknya mulai keinget gambaran hotel tua di pojokan.
“Iya,
benar,
Mas.
Dan sekarang lenyap dari aset TNI. Entah diruislag, entah ditipu, entah apalah namanya, intinya
hilang aja.”
“Kok
bisa ya?”
saya
heran.
“Kita
juga memliki beberapa aset di
Bali.
Dari 100 persen
ownership,
tahu-tahu
ada yang tinggal 40 persen, ada
yang tinggal 1 persen. Begitu
bermitra swasta di awal masih 100
persen, di
tahun ke-15
tinggal 20 persen.
Itulah fakta,
Mas.
Nih saya beri data kesimpulan dari kerja rekan-rekan selama tiga bulan. Ada aset di Bali enam lahan, di tengah Kuta, di tengah Denpasar. Ada yang 2 ha, jadi 30
ruko, tiap tahun kami hanya mendapat bagi hasil 80 juta rupiah saja. Bayangkan! Kok bisa perjanjiannya begini ya?
Ini apa pejabat kita dikadalin atau kami ini tentara bodoh, atau pimpinan dulu?”
“Di
Malang ada stadion hampir dibuat mall
sama seorang pengusaha. Dan banyak aset di Malang tahu-tahu berubah jadi ruko dan
hilang di pembukuan. Di
Jakarta
jangan tanya lagi,
Mas,” seorang perwira yang pernah menjabat
di Jatim dan Bali
tersebut menguraikan banyak hal lebih rinci lagi.
“Bahkan
hampir di semua daerah, dan semuanya berada di daerah komersial bisnis distrik
yang menguntungkan. Di Bandung banyak FO aset tentara, Dago Plaza, dan lain-lain, semua sekarang
sedang direview. Di Bali
seperti Discovery
Mall,
Hotel
Kartika
Plasa,
Mercure
Hotel
samping Hard
Rock
dan lain-lain semua sedang direview. Nah tujuan team Mas kami panggil adalah
kami ingin mendapat masukan agar bagaimana isi perjanjian dan bagaimana
seharusnya TNI mendapatkan kembali haknya,” lalu kami diberikan ringkasan
perjanjian yang tentunya nama pejabat dan mitra swastanya sudah ditutup.
“Fokusnya
adalah pada perjanjian dagangnya,”
pimpinan pengembangan usaha inkop (induk koperasi) berkata.
Satu jam saya pribadi bisa menyimpulkan apa yang terjadi di dalam perjanjian
tersebut. Dan tentunya tidak boleh dipublikasi karena bukan
konsumsi publik. Namun ke depan saya yakin semua akan dibenahi.
Niat TNI baik jangan sampai pihak yang merugikan TNI ini merasa akan dirugikan,
namun TNI hanya meminta keadilan dagangnya. Karena satu tujuan utama, prajurit
harus memiliki sarana rumah yang layak, sarana kesehatan yang layak, sarana
pendidikan keluarga yang layak. Saat ini ada 300 ribu tentara yang harus
diberikan sarana tersebut. Yang sebenarnya semuanya mungkin dan bisa dilakukan.
Namun yang utama, hal-hal yang merugikan harus ditiadakan terlebih dahulu