Persepsi adalah biang kerok masalah di dunia
ini.
Percayakah Anda dengan status ini? Dalam
pelajaran millionaire mindset persepsi adalah hal yang dirubuhkan nomor satu.
Di sesi awal. Dan inilah pelajaran yang paling banyak menghasilkan resistensi atau perlawanan dari semua
peserta.
Contoh cara memandang hidup dari
beberapa orang yang berkomentar seperti ini : “Jaman sekarang banyak perempuan matre, lihat lelaki hanya
dari ukuran materi”.
Maka dalam millionaire mindset
mikirnya atau persepsinya bukan seperti pernyataan di atas namun begini, “Hanya lelaki kere
yang mengatakan bahwa semua perempuan matre!”.
Anda lihat bedanya khan? Persepsi
ini bisa membuat tertohok-tohok, namun hati kecil sebenarnya mengiyakan juga.
“Belagu banget sih orang pakai
motor Harley Davidson, suaranya menggelagar gayanya sombong”. Banyak orang
komentar seperti ini, sebenarnya pernyataan ini adalah antitesa atau lawan dari
sisi conscious pikiran yang mengatakan “Saya tidak mampu membeli motor Harley,
karena itu sebagai pelampiasan adalah talk bad atau membicarakan hal buruknya
atau melihat berpersepsi sisi negatifnya”.
Di awal-awal sesi semua diacak-acak begini,
di
mana otak
dibolak-balik. Ini adalah suatu hal yang tidak nyaman, namun dalam pikiran — di
hati kecil —, “Iya juga sih”, itu jawabnya, setidaknya dari sisi saya.
Dikarenakan sudah ada kesepakatan
antara sesama peserta dan fasilitator yang mengajar akan menggunakan bahasa
langsung maka persepsi tersinggung, harga diri — pride —, gengsi, ilmu apa pun yang Anda pegang sebagai kebenaran
versi diri peserta, harus ditanggalkan. Membawa persepsi lama akan membuat Anda
menjadi seperti apa Anda sekarang ini. Jadi dalam kelas kalimat kata-kata yang
direct menjadi senjata percepatan pembelajaran, contohnya ketika saya dijadikan
subjek tanya jawab.
“Mr Mardigu, what do you think
about Bently
or Rolls Royce? Quick answer. No thinking please?”
Saya jawab, “Mobil mewah, mobil
mahal, mobil orang kaya, mobil buat pamer...”
“Good, that is snap answer very
straight forward and it’s show you that you are having ‘poverty conscious’ itu
membuktikan kamu memiliki kesadaran miskin. Kamu berjarak dengan kekayaan dan karena
itu kamu kerja sekuat tenaga maka pola pikir miskinmu yang membawa kamu ke dunia
miskin kembali.”
Saya terkejut dengan jawabannya,
namun karena tersinggung atau persepsi sudah disepakati tidak dibawa-bawa,
ditinggalkan atau sudah dirubuhkan, maka kata-kata tersebut nancep langsung ke akar
pikiran bawah sadar rasanya.
“Bruce, how about you?” si fasilitator Geoff bertanya kepada
peserta dari Filipina yang botak skin head. Dijawab cepat oleh Bruce, “That my
car!”
“That prosperity conscious!” jawab Geoff.
Kalimat itu membawa saya melamun
teringat kembali pada suatu masa saya berdialog dengan Ketut Masagung. Anak
ketiga dari Masagung pendiri Toko Gunung Agung dan Toko Buku Walisongo. Pemilik
Hotel Nikko yang sekarang menjadi Pulman dan Gedung Wisma Nusantara dan banyak
lagi list bisnis dari ketiga putra almarhum Masagung.
Saya bertanya kepada sahabat saya
Ketut Masagung, di mana saya kenal beliau sudah lebih dari 25 tahun dan bahkan
sampai sekarang satu minggu sekali kami masih bertemu dan kalau ditambah sms
plus BBM bisa tiap dua hari sekali berkomunikasi, “Bro, bagaimana awal muasal
keluarga Masagung ini bisa membangun kelimpahan bisnis hingga seperti sekarang,
awalnya apa yang almarhum Masagung lakukan?”
Ketut Masagung bercerita dengan
ringkasan sebagai berikut, “Bapak
dulu adalah pegawai bagian sales yang gigih, setiap hari beliau berjualan buku.
Namun di hati kecilnya selalu berkata bahwa bekerja ini ada batasannya. Bekerja
itu artinya membangun kerajaan orang lain, dan ini ada batasnya. Tak lama lagi
dia akan berusaha sendiri, memiliki usaha sendiri. Membangun kerajaan sendiri.
Dan hal itu memenuhi isi kepalanya setiap saat.”
“Suatu hari ada rumah di Jalan
Kwitang 10 di mana bapak setiap hari
lewat di
sana. Rumah ini milik
sepasang suami istri warga negara Belanda. Mereka sekeluarga harus meninggalkan
Indoenesia karena sejak Perjanjian
Linggarjati ditandatangani Belanda
harus angkat kaki. Maka tahun-tahun
berikutnya banyak warga Belanda yang angkat kaki pulang ke negaranya.”
“Keluarga Belanda pemilik rumah di
Jalan Kwitang tersebut juga demikian. Mereka memasang iklan di koran dengan
harga murah namun tidak ada peminat. Memasang informasi di depan rumah dengan
harga lebih murah lagi juga tidak ada peminat. Sampailah suatu hari sang istri
Belanda itu berkata ke suaminya,
alangkah sayangnya meninggalkan aset di negara orang seperti ini. Bagaimana
kalau kita tawarkan ke orang
yang lewat sini? Saya memperhatikan ada seorang anak muda, Cina, yang secara
tampang kayaknya anak muda yang berdedikasi, rajin kerja dan pandai.”
Anak muda yang dimaksud sang istri
Belanda tersebut adalah Masagung. Maka suatu hari dipanggillah Masagung ketika
lewat di depan rumah mereka. Dan tentunya dijawab oleh Masagung betapa minatnya
dia dengan rumah tersebut. Namun begitu disebut harganya Masagung tidak
sanggup. Padahal harga tersebut sudah super-super murah dibandingkan dengan
penawaran via koran atau di reklame sekitar, tetap kemahalan karena dia belum
mengumpulkan duit sebanyak itu.
Sang suami Belanda memiliki solusi,
“Bagaimana kalau kamu cicil setiap bulan selama lima tahun?”
Kalau begini Masagung setuju. Dia
berusaha keras bekerja menyicil kewajibannya yang dikirim langsung ke rekening
ke
negara Belanda. Dan
benar dalam lima tahun kemudian dia lunasi rumah tersebut.
Ketut Masagung menyimpulkan
ceritanya, “Begini, Wiek, kalau dulu bapak tidak pernah mengatakan berkali-kali
bahwa dia akan punya bisnis dan bisnisnya akan
bermula dari rumah di Kwitang dan dia berkali-kali mengatakan setiap
lewat rumah tersebut, ‘Ini rumah gue, ini rumah gue, ini kantor gue, ini
kerajaan bisnis gue’ berulang ulang, maka dia tidak lewat daerah sana, maka
rumah itu akan laku dengan orang lain, dibeli orang lain, maka rumah itu tidak
ditawarkan kepadanya, maka rumah itu tidak menganggilnya untuk berdiskusi
bisnis, maka si Belanda itu tidak punya solusi mencicil sehingga bapak bisa
memilikinya. Dan itu adalah style bapak di dalam membangun kerjaan bisnisnya
hingga terbawa ke kami ketiga anaknya, percaya sebelum terjadi dan pasti
terjadi.”
Dan pada saat sesi tanya jawab
dengan Geoff akan persepsi prosperity conscious versus poverty conscious atau
kesadaran kemakmuran melawan kesadaran kemiskinan menjadi nyambung dan saya
memperoleh “aha experience”. Yaitu pengalaman yang membuat saya berkata dalam
hati,“Aha, sekarang saya mengerti.”