Rabu, 28 Oktober 2015

PERCAYA SEBELUM TERJADI DAN PASTI TERJADI (seri ramtha)



Persepsi adalah biang kerok masalah di dunia ini.
Percayakah Anda dengan status ini? Dalam pelajaran millionaire mindset persepsi adalah hal yang dirubuhkan nomor satu. Di sesi awal. Dan inilah pelajaran yang paling banyak menghasilkan resistensi atau perlawanan dari semua peserta.
Contoh cara memandang hidup dari beberapa orang yang berkomentar seperti ini : “Jaman sekarang banyak perempuan matre, lihat lelaki hanya dari ukuran materi”.
Maka dalam millionaire mindset mikirnya atau persepsinya bukan seperti pernyataan di atas namun begini, “Hanya lelaki kere yang mengatakan bahwa semua perempuan matre!”.
Anda lihat bedanya khan? Persepsi ini bisa membuat tertohok-tohok, namun hati kecil sebenarnya mengiyakan juga.
“Belagu banget sih orang pakai motor Harley Davidson, suaranya menggelagar gayanya sombong”. Banyak orang komentar seperti ini, sebenarnya pernyataan ini adalah antitesa atau lawan dari sisi conscious pikiran yang mengatakan “Saya tidak mampu membeli motor Harley, karena itu sebagai pelampiasan adalah talk bad atau membicarakan hal buruknya atau melihat berpersepsi sisi negatifnya”.
Di awal-awal sesi semua diacak-acak begini, di mana otak dibolak-balik. Ini adalah suatu hal yang tidak nyaman, namun dalam pikiran — di hati kecil —, “Iya juga sih”, itu jawabnya, setidaknya dari sisi saya.
Dikarenakan sudah ada kesepakatan antara sesama peserta dan fasilitator yang mengajar akan menggunakan bahasa langsung maka persepsi tersinggung, harga diri — pride —, gengsi, ilmu apa pun yang Anda pegang sebagai kebenaran versi diri peserta, harus ditanggalkan. Membawa persepsi lama akan membuat Anda menjadi seperti apa Anda sekarang ini. Jadi dalam kelas kalimat kata-kata yang direct menjadi senjata percepatan pembelajaran, contohnya ketika saya dijadikan subjek tanya jawab.
“Mr Mardigu, what do you think about Bently or Rolls Royce? Quick answer. No thinking please?”
Saya jawab, “Mobil mewah, mobil mahal, mobil orang kaya, mobil buat pamer...”
“Good, that is snap answer very straight forward and it’s show you that you are having ‘poverty conscious’ itu membuktikan kamu memiliki kesadaran miskin. Kamu berjarak dengan kekayaan dan karena itu kamu kerja sekuat tenaga maka pola pikir miskinmu yang membawa kamu ke dunia miskin kembali.”
Saya terkejut dengan jawabannya, namun karena tersinggung atau persepsi sudah disepakati tidak dibawa-bawa, ditinggalkan atau sudah dirubuhkan, maka kata-kata tersebut nancep langsung ke akar pikiran bawah sadar rasanya.
“Bruce, how about you?” si fasilitator Geoff bertanya kepada peserta dari Filipina yang botak skin head. Dijawab cepat oleh Bruce, “That my car!”
“That prosperity conscious!” jawab Geoff.
Kalimat itu membawa saya melamun teringat kembali pada suatu masa saya berdialog dengan Ketut Masagung. Anak ketiga dari Masagung pendiri Toko Gunung Agung dan Toko Buku Walisongo. Pemilik Hotel Nikko yang sekarang menjadi Pulman dan Gedung Wisma Nusantara dan banyak lagi list bisnis dari ketiga putra almarhum Masagung.
Saya bertanya kepada sahabat saya Ketut Masagung, di mana saya kenal beliau sudah lebih dari 25 tahun dan bahkan sampai sekarang satu minggu sekali kami masih bertemu dan kalau ditambah sms plus BBM bisa tiap dua hari sekali berkomunikasi, “Bro, bagaimana awal muasal keluarga Masagung ini bisa membangun kelimpahan bisnis hingga seperti sekarang, awalnya apa yang almarhum Masagung lakukan?”
Ketut Masagung bercerita dengan ringkasan sebagai berikut, “Bapak dulu adalah pegawai bagian sales yang gigih, setiap hari beliau berjualan buku. Namun di hati kecilnya selalu berkata bahwa bekerja ini ada batasannya. Bekerja itu artinya membangun kerajaan orang lain, dan ini ada batasnya. Tak lama lagi dia akan berusaha sendiri, memiliki usaha sendiri. Membangun kerajaan sendiri. Dan hal itu memenuhi isi kepalanya setiap saat.”
“Suatu hari ada rumah di Jalan Kwitang 10 di mana bapak setiap hari lewat di sana. Rumah ini milik sepasang suami istri warga negara Belanda. Mereka sekeluarga harus meninggalkan Indoenesia karena sejak Perjanjian Linggarjati ditandatangani Belanda harus angkat kaki. Maka tahun-tahun berikutnya banyak warga Belanda yang angkat kaki pulang ke negaranya.”
“Keluarga Belanda pemilik rumah di Jalan Kwitang tersebut juga demikian. Mereka memasang iklan di koran dengan harga murah namun tidak ada peminat. Memasang informasi di depan rumah dengan harga lebih murah lagi juga tidak ada peminat. Sampailah suatu hari sang istri Belanda itu berkata ke suaminya, alangkah sayangnya meninggalkan aset di negara orang seperti ini. Bagaimana kalau kita tawarkan ke orang yang lewat sini? Saya memperhatikan ada seorang anak muda, Cina, yang secara tampang kayaknya anak muda yang berdedikasi, rajin kerja dan pandai.”
Anak muda yang dimaksud sang istri Belanda tersebut adalah Masagung. Maka suatu hari dipanggillah Masagung ketika lewat di depan rumah mereka. Dan tentunya dijawab oleh Masagung betapa minatnya dia dengan rumah tersebut. Namun begitu disebut harganya Masagung tidak sanggup. Padahal harga tersebut sudah super-super murah dibandingkan dengan penawaran via koran atau di reklame sekitar, tetap kemahalan karena dia belum mengumpulkan duit sebanyak itu.
Sang suami Belanda memiliki solusi, “Bagaimana kalau kamu cicil setiap bulan selama lima tahun?”
Kalau begini Masagung setuju. Dia berusaha keras bekerja menyicil kewajibannya yang dikirim langsung ke rekening ke negara Belanda. Dan benar dalam lima tahun kemudian dia lunasi rumah tersebut.
Ketut Masagung menyimpulkan ceritanya, “Begini, Wiek, kalau dulu bapak tidak pernah mengatakan berkali-kali bahwa dia akan punya bisnis dan bisnisnya akan bermula dari rumah di Kwitang dan dia berkali-kali mengatakan setiap lewat rumah tersebut, ‘Ini rumah gue, ini rumah gue, ini kantor gue, ini kerajaan bisnis gue’ berulang ulang, maka dia tidak lewat daerah sana, maka rumah itu akan laku dengan orang lain, dibeli orang lain, maka rumah itu tidak ditawarkan kepadanya, maka rumah itu tidak menganggilnya untuk berdiskusi bisnis, maka si Belanda itu tidak punya solusi mencicil sehingga bapak bisa memilikinya. Dan itu adalah style bapak di dalam membangun kerjaan bisnisnya hingga terbawa ke kami ketiga anaknya, percaya sebelum terjadi dan pasti terjadi.”
Dan pada saat sesi tanya jawab dengan Geoff akan persepsi prosperity conscious versus poverty conscious atau kesadaran kemakmuran melawan kesadaran kemiskinan menjadi nyambung dan saya memperoleh “aha experience”. Yaitu pengalaman yang membuat saya berkata dalam hati,“Aha, sekarang saya mengerti.”