Ada
sebuah tradisi yang tidak umum (mungkin) di keluarga kami. Yaitu “menanam pohon
pada saat hari ulang tahun sebanyak jumlah umur”. Tradisi ini sendiri baru kami
kerjakan semenjak tahun 2004. Asal muasalnya lebih lucu lagi yaitu ketika
seorang sahabat lama tak bertemu bernama Irvan. Dia adalah salah seorang jamaah
tabligh. Cerita pengalamannya khuruj — keluar berdakwah —, perbuatan atau
berjalan keluar rumah melaksanakan ajaran Islam menyebarkan ajaran dengan
perilaku yang membuat kami terinspirasi untuk menanam. (Bersama tabligh ini saya pernah aktif sekitar lima tahun-an namun memilih beraktivitas
lain dan mengenang kebersamaan dengan tabligh sebagai pengalaman beragama yang
indah).
Mas
Irvan silaturahmi ke rumah saya di bilangan Bekasi suatu hari. Rumah saya ada di
perumahan Taman Bougenvile Kalimalang. Rumah kami kalau secara ukuran bisa
dikatakan kecil sekali hanya 150 M2 bentuk letter L. Berdiri dilahan 550 M2. Maka sisi
lahan lainya – bentuk L lawanya, saya tanam tanaman kelapa sebanyak sepuluh
buah. Kelapa ini langsung
saya tanam dengan ukuran batang lima meter. Alias begitu ditanam pohonnya
memang sudah besar. Karena berakar serabut maka bisa dipindah-pindah, lain halnya kalau berakar tunggal
seperti pohon beringin. Perlu teknik khusus memindahkan pohon yang sudah berbatang lebih dari lima meter.
Saya
tanami pula palem ekor tupai, palem raja, pinang, dan lain-lain. Lebih dari dua puluh jenis pohon ini semua
memiliki kesamaan, batang
lurus, daun seperti
payung (pohon kelapa). Jadi walaupun panas Bekasi terik, rumah kami lebih adem.
Pohon-pohon tersebut ditanam di sisi pagar, sisi dekat rumah, sehingga meski
ada dua puluh batang pohon tetap saja main bola dan main basket bisa dilakukan.
Kami masih memiliki 350 M2 lahan di bawahnya untuk aktifitas.
Seluruh
lantai di bawahnya saya pasang marmer, memutupi 250 M2 lahan. Iya marmer! Untuk resapan air 100 M2 tanah tetap
terbuka plus tanaman hias. Marmer Tulungagung berwarna putih. Ini yang dianggap
teman-teman aneh. Marmer
di halamam rumah di bawah pohon kelapa untuk main basket dan aktivitas menerima
tamu?!
Ini
sebenarnya adalah memenuhi rasa kagum atas lantai marmer di sekeliling Ka’bah. Sepulang haji pertama tahun
1995 saya terus membayangkan betapa “dingin”-nya lantai marmer di sekeliling Ka’bah. Dulu saya berfikir
dipasangin AC di bawah lantai Ka’bah.
Ternyata tidak. Marmer alam tebal dan indah itu secara alami menghasilkan
“dingin” konstan.
Bandingkan dengan lantai keramik cetakan pabrik yang menghiasi lantai di luar Masjidil Haram. Kalau Anda tidak
pakai sandal bisa melepuh kulit, atau kulit kaki bisa melekat nempel di keramik
jika panas siang bolong yang terkadang bisa lebih dari 45 derajat celcius di
kota Mekkah.
Dari
sana saya terinpirasi.
Lantai
belakang rumah dan taman
kelapa juga harus mengggunakan marmer. Dan benar setelah atas dipayungi daun
kelapa yang menutupi seluruh lahan termasuk atap rumah saya yang lebih rendah,
alur angin depan dibuka sehingga angin mengalir di bawah sepoi-sepoi, dan benar
saja rumah jadi adem, dingin.
Kembali
ke Mas
Irvan selagi silaturahmi mengatakan, “Saya baru pulang khuruj dari selatan Rusia. Semua kamu muslimin di sana
adalah pengikut Imam Hambali. Komunitas Islam di sana adalah kaum pragmatis,
bukan pemikir seperti pengikut Imam Syafii yang banyak diambil risalahnya di penyebaran
agama Islam di Indonesia. Jadi mereka punya kebiasaan tanpa tahu asal ajaran
atau bahkan haditsnya, misalnya setiap belakang rumah selalu disarankan menanam
pohon.” (note: detail hadits saya lupa, saya hanya menyitir perkataan Mas Irvan).
Dia
menjelaskan, (setelah hadits itu diurai),“Ternyata manusia memerlukan oksigen
yang dihasilkan dari tumbuhan. Oksigen yang dihirup seorang manusia itu sama dengan yang dihasilkan oleh
tanaman kira-kira sejumlah
seratus pohon
besar. Dengan bahasa lain, kalau dalam hidup manusia belum menanam seratus pohon maka dia seakan
berhutang pada bumi. Saudara-saudara muslim di selatan Rusia atau di utara India kebanyakan menanam pohon di
belakang rumahnya. Sehingga sejuk dan segar udara di sekitar rumah dan hidup
berimbang dengan
alamnya. Saya sewaktu ke sana heran karena
ketika ditanya apa latar belakang mereka menanam, mereka menjawab, ‘tradisi!’. Padahal saya tahu ada haditsnya,” Mas Irvan menguraikan dengan
semangat.
“Itulah
yang saya sebut dengan pragmatis. Doer-pelaku. Sedangkan thinker atau kaum
pemikir sebenarnya banyak yang tahu
juga, tetapi belum tentu melakukan,”
Mas Irvan
sangat gairah menceritakan perjalananya yang sangat berkesan tersebut.
“Antum
menanam ini tahu haditsnya?
“Nggak,” saya menjawab cepat.
“Haha... kalau lihat perjalanan hidup
antum emang semua insting ya kayaknya haha...” itu komentar Mas Irvan yang kalau saya pikir-pikir, bener juga. Saya jarang mikir, semua insting J.
Hasil
silaturahim tersebut saya diskusikan dengan keluarga, lalu kita sepakat membuat
gerakan. Menanam pohon di saat ulang tahun sebanyak jumlah umur.
Di
tahun 2004 di mana keluarga mulai mencanangkan maka saya menanam langsung
lumpsum sejumlah seluruh hutang-hutang tanaman masa lalu, kala itu saya
berulang tahun ke-38 jadi 741 pohon! Saya tanam di desa Colo, Gunung Muria,
Kudus. Semua pohon buah seperti mangga, duku, durian, manggis, dan lain-lain.
Dan
begitu seterusnya hingga tahun ini. Tahun ini semua tanaman kami tanam di
daerah Sentul
yang gersang.
September ini Fatur
berulang tahun ke-15, lalu saya 46 tahun ini dan Malkia 3 tahun.
Di
ujung tulisan ini, ada yang miris bercerita tentang rumah selain cerita tentang
tanaman.
Karena
di suatu masa yang lalu saya harus kehilangan rumah tersebut untuk membayar
kewajiban hutang dan menutupi kerugian bisnis yang sangat besar yang hingga
saat ini kenangan akan rumah tersebut plus halaman taman kecil di belakang
terus terpatri kuat sehingga saya mengucap, suatu saat semua akan kembali bisa
dimiliki dan jauh-jauh lebih baik.