Rabu, 28 Oktober 2015

TRADISI MENANAM POHON



Ada sebuah tradisi yang tidak umum (mungkin) di keluarga kami. Yaitu “menanam pohon pada saat hari ulang tahun sebanyak jumlah umur”. Tradisi ini sendiri baru kami kerjakan semenjak tahun 2004. Asal muasalnya lebih lucu lagi yaitu ketika seorang sahabat lama tak bertemu bernama Irvan. Dia adalah salah seorang jamaah tabligh. Cerita pengalamannya khuruj — keluar berdakwah —, perbuatan atau berjalan keluar rumah melaksanakan ajaran Islam menyebarkan ajaran dengan perilaku yang membuat kami terinspirasi untuk menanam. (Bersama tabligh ini saya pernah aktif sekitar lima tahun-an namun memilih beraktivitas lain dan mengenang kebersamaan dengan tabligh sebagai pengalaman beragama yang indah).
Mas Irvan silaturahmi ke rumah saya di bilangan Bekasi suatu hari. Rumah saya ada di perumahan Taman Bougenvile Kalimalang. Rumah kami kalau secara ukuran bisa dikatakan kecil sekali hanya 150 M2 bentuk letter L. Berdiri dilahan 550 M2. Maka sisi lahan lainya – bentuk L lawanya, saya tanam tanaman kelapa sebanyak sepuluh buah. Kelapa ini langsung saya tanam dengan ukuran batang lima meter. Alias begitu ditanam pohonnya memang sudah besar. Karena berakar serabut maka bisa dipindah-pindah, lain halnya kalau berakar tunggal seperti pohon beringin. Perlu teknik khusus memindahkan pohon yang sudah berbatang lebih dari lima meter.
Saya tanami pula palem ekor tupai, palem raja, pinang, dan lain-lain. Lebih dari dua puluh jenis pohon ini semua memiliki kesamaan, batang lurus, daun seperti payung (pohon kelapa). Jadi walaupun panas Bekasi terik, rumah kami lebih adem. Pohon-pohon tersebut ditanam di sisi pagar, sisi dekat rumah, sehingga meski ada dua puluh batang pohon tetap saja main bola dan main basket bisa dilakukan. Kami masih memiliki 350 M2 lahan di bawahnya untuk aktifitas.
Seluruh lantai di bawahnya saya pasang marmer, memutupi 250 M2 lahan. Iya marmer! Untuk resapan air 100 M2 tanah tetap terbuka plus tanaman hias. Marmer Tulungagung berwarna putih. Ini yang dianggap teman-teman aneh. Marmer di halamam rumah di bawah pohon kelapa untuk main basket dan aktivitas menerima tamu?!
Ini sebenarnya adalah memenuhi rasa kagum atas lantai marmer di sekeliling Ka’bah. Sepulang haji pertama tahun 1995 saya terus membayangkan betapa “dingin”-nya lantai marmer di sekeliling Ka’bah. Dulu saya berfikir dipasangin AC di bawah lantai Ka’bah. Ternyata tidak. Marmer alam tebal dan indah itu secara alami menghasilkan “dingin” konstan. Bandingkan dengan lantai keramik cetakan pabrik yang menghiasi lantai di luar Masjidil Haram. Kalau Anda tidak pakai sandal bisa melepuh kulit, atau kulit kaki bisa melekat nempel di keramik jika panas siang bolong yang terkadang bisa lebih dari 45 derajat celcius di kota Mekkah.
Dari sana saya terinpirasi. Lantai belakang rumah dan taman kelapa juga harus mengggunakan marmer. Dan benar setelah atas dipayungi daun kelapa yang menutupi seluruh lahan termasuk atap rumah saya yang lebih rendah, alur angin depan dibuka sehingga angin mengalir di bawah sepoi-sepoi, dan benar saja rumah jadi adem, dingin.
Kembali ke Mas Irvan selagi silaturahmi mengatakan, “Saya baru pulang khuruj dari selatan Rusia. Semua kamu muslimin di sana adalah pengikut Imam Hambali. Komunitas Islam di sana adalah kaum pragmatis, bukan pemikir seperti pengikut Imam Syafii yang banyak diambil risalahnya di penyebaran agama Islam di Indonesia. Jadi mereka punya kebiasaan tanpa tahu asal ajaran atau bahkan haditsnya, misalnya setiap belakang rumah selalu disarankan menanam pohon.” (note: detail hadits saya lupa, saya hanya menyitir perkataan Mas Irvan).
Dia menjelaskan, (setelah hadits itu diurai),“Ternyata manusia memerlukan oksigen yang dihasilkan dari tumbuhan. Oksigen yang dihirup seorang manusia itu sama dengan yang dihasilkan oleh tanaman kira-kira sejumlah seratus pohon besar. Dengan bahasa lain, kalau dalam hidup manusia belum menanam seratus pohon maka dia seakan berhutang pada bumi. Saudara-saudara muslim di selatan Rusia atau di utara India kebanyakan menanam pohon di belakang rumahnya. Sehingga sejuk dan segar udara di sekitar rumah dan hidup berimbang dengan alamnya. Saya sewaktu ke sana heran karena ketika ditanya apa latar belakang mereka menanam, mereka menjawab, tradisi!’. Padahal saya tahu ada haditsnya, Mas Irvan menguraikan dengan semangat.
Itulah yang saya sebut dengan pragmatis. Doer-pelaku. Sedangkan thinker atau kaum pemikir sebenarnya banyak yang tahu juga, tetapi belum tentu melakukan,” Mas Irvan sangat gairah menceritakan perjalananya yang sangat berkesan tersebut.
Antum menanam ini tahu haditsnya?
Nggak,” saya menjawab cepat.
Haha... kalau lihat perjalanan hidup antum emang semua insting ya kayaknya haha...itu komentar Mas Irvan yang kalau saya pikir-pikir, bener juga. Saya jarang mikir, semua insting J.
Hasil silaturahim tersebut saya diskusikan dengan keluarga, lalu kita sepakat membuat gerakan. Menanam pohon di saat ulang tahun sebanyak jumlah umur.
Di tahun 2004 di mana keluarga mulai mencanangkan maka saya menanam langsung lumpsum sejumlah seluruh hutang-hutang tanaman masa lalu, kala itu saya berulang tahun ke-38 jadi 741 pohon! Saya tanam di desa Colo, Gunung Muria, Kudus. Semua pohon buah seperti mangga, duku, durian, manggis, dan lain-lain.
Dan begitu seterusnya hingga tahun ini. Tahun ini semua tanaman kami tanam di daerah Sentul yang gersang. September ini Fatur berulang tahun ke-15, lalu saya 46 tahun ini dan Malkia 3 tahun.
Di ujung tulisan ini, ada yang miris bercerita tentang rumah selain cerita tentang tanaman. Karena di suatu masa yang lalu saya harus kehilangan rumah tersebut untuk membayar kewajiban hutang dan menutupi kerugian bisnis yang sangat besar yang hingga saat ini kenangan akan rumah tersebut plus halaman taman kecil di belakang terus terpatri kuat sehingga saya mengucap, suatu saat semua akan kembali bisa dimiliki dan jauh-jauh lebih baik.