Rabu, 28 Oktober 2015

INIKAH PROSPERITY CONSCIOUS ITU? (seri ramtha)



Sepulangnya dari belajar.
Jujur, tiga bulan setelah kembali saya belum memulai mempraktekkan. Belief system saya tertabrak-tabrak. Nasib kita yang menentukan? Sementara saya punya keyakinan nasib ditentukan Tuhan. Sebuah tabrakan belief system. Saya belum bisa terima. Kalau saya tidak terima, saya harus menerima kondisi sekarang. Berhutang dan hidup susah. Memulai sesuatu akan terbawa putaran sama. Memulai yang baru harus merubah belief system. Ini pengalaman saya. Mungkin hanya terjadi pada saya.

Pelajaran me-cancel doa
Dalam sebuah sesi di millioanire mindset ada pelajaran berfikir dan berdoa yang tidak boleh di-cancel. Contohnya, saya diperintahkan memohon, waktu itu. Misalnya memohon, berikan satu milyar rupiah pada akhir bulan ini. Saya manut, “Yaa Alloh saya minta satu milyar di rekening saya akhir bulan ini”. Lidah saya berucap, hati kecil saya berkata lain, mungkinkah? Dari mana caranya? Dan perkataan di hati kecil itu di pelajaran yang saya peroleh adalah me-cancel doa. Hal itu membatalkan doa.
Dalam membuat permohonan tidak boleh di-cancel. Percaya utuh. Setiap keraguan harus dipanjatkan lagi permohonan. Ulang lagi. Karena permohonannya di-cancel sendiri. Ribuan kali saya coba, ribuan kali saya cancel. Belief system saya belum bisa terima. Masak sih? Kok gitu doang? Emang bisa? Dari mana caranya?
Di tahun 2001 itu saya bekerja untuk menutupi biaya hidup dan sebagian cicilan hutang. Posisi sebagai Direktur Bisnis Advisor dari sebuah investment banking ternama PT. Refund (sekarang bernama PT. Recapital) di Jakarta cukup besar kompensasi bulanannya. Namun hanya kerja kontrak. Hanya dari 2000-2002, 24 bulan. Kontrak akan berakhir sembilan bulan lagi dari masa saya ke Australia tersebut.
Suatu pagi. Saya meminta anak kedua saya, Fathur yang berusia lima tahun, “Mas Fathur, tolong ayah diambilkan sepatu. Yang hitam,” kata saya.
Fathur diam saja.
Saya ulangi sekali lagi, “Fathur... kamu dengar khan ayah suruh apa?”
Dia tetap diam dan berjalan menjauh. Suara saya tinggikan, intonasi suara saya tekan. Dia diam menunduk.
Emosi saya terpancing, “Ini anak kok gak nurut sih?!” kata saya dalam hati. Saya berjalan ke arahnya. Gerakan marah terpancar di wajah saya. Matanya menatap saya tepat di mata saya. Agak ketakutan ekspresinya.
Saya kaget, “Kok dia takut?” saya berkata dalam hati. Langsung saya berlutut menyejajarkan matanya dengan mata saya. Ini adalah metode dasar psikologi mendidik anak di mana mata sejajar menunjukkan kesetaraan, kesederajatan. Kalau atas bawah, anak di bawah dan orang tua di atas, bola mata anak yang pupil (hitam) di posisi atas ini sangat sugestif membuat posisi orang tua otoritatif dan si anak inferior. Di kondisi saya dan Fathur kondisi tersebut tidak boleh, saya lagi marah, Fathur lagi takut. Jadi langsung saya sejajarkan sehingga dia nyaman karena merasa sederajat.
Saya ubah ekpresi saya, saya datarkan suara saya. “Tolong ambilkan sepatu ayah, sayang?”
Kaki saya dipeluknya. Bahasa tubuhnya saat itu yang saya rasakan adalah dia tidak mengizinkan saya berangkat bekerja.
Kembali saya terhenyak. Tadinya mau marah, namun signal yang diberikannya cukup kuat, “Jangan pergi! Ayah belum memberikan banyak rekening emosi ke Fathur”. Itu yang saya dapat.
Rekening emosi saya kurang kepada Fathur. Lama saya menatap wajahnya. Tiba-tiba saya putuskan... “Baik, ayah tidak bekerja hari ini. Kamu mau apa, sayang?”
“Ajarin mas Fathur naik sepeda roda dua, Ayah, terus main layangan? Boleh?” pintanya dengan lagak lucu memiringkan kepala.
Saya mengangguk. Saya telepon sekertaris saya si Yola, “Tolong bilang pada pimpinan, Pak Rosan, saya tidak masuk, off.”
Seharian saya ajari Fathur naik sepeda roda dua, sorenya kami bermain layangan, tujuh jam sangat padat berkualitas setidaknya menurut saya. Malamnya dia memijat-mijat sebagain tubuh saya. Nikmat sekali rasa dihati. Tiada tara rasanya. Ah... enak ya berkumpul dengan orang yang kita cintai, mengerjakan hal yang kita cintai, mendapatkan uang tak terhingga.
Seperti KLIK terjadi di otak .
Saya mendadak seperti mendengar saya berbicara pada diri saya sendiri, “Katanya ingin punya anak sholeh, kok ngaji diajari orang lain, belajar sepeda dengan orang lain, belajar baca tulis sama orang lain, bagaimana rekening emosi bisa tumbuh? Bukannya dulu pernah mengatakan bahwa kalau bisa setiap sel dari anak yangtumbuh saya memiliki andil terbesar, agar di kemudian hari tidak ada sesal? Sementara faktanya, setiap hari sibuk. Pagi berangkat anak belum bangun, pulang anak sudah tidur. Ketemu di kala weekend sudah kecapekan pengen istirahat. Anak tahu-tahu tumbuh membesar dan membesar tanpa ada kontribusi apa-apa dari saya...”
Saya terhenyak.
Lalu saya putuskan seketika itu juga tanpa pikir, cikar kanan... vaya condios. Kita bakar kapal!! Ini istilah saya mengandaikan tindakan seorang panglima perang Jabbal Tariq sewaktu menaklukan Gibraltar. Pasukannya kalah jumlah dan nyali ciut mau mundur. Jabbal Tariq memerintahkan bakar kapal. Sehingga pasukannya tidak ada pilihan kecuali maju berperang.
Besoknya saya membuat surat resign. Tertuju pada partner owner perusahaan tersebut, Rosan Roslani. Saya mendadak percaya 100 persen bahwa uang akan datang ke saya. Tanpa usaha banyak. Dan saya tidak pernah cancel. Utuh saya percaya permohonan itu pada Tuhan. Entah mengapa. Tapi saya percaya dan semangat sekali.
Hari berlalu tanpa ada yang istimewa. Herannya orang modern seperti saya tidak banyak tanya-tanya. Enjoy total. Benar seperti orang aneh. Nggak mikir blass.
Sore itu saya menyiram bunga. Di luar dari kebiasaan. Saya tidak pernah siram bunga.
Tahu-tahu sebuah motor menghampiri. Pengemudinya menggunakan helm berkaca gelap. Saya tidak tahu siapa dia.
“Sore, Bapak...” katanya sambil membuka helm.
Eh... Ray Sahanaya rupanya. Dia orang Ambon tetangga saya yang tinggal berjarak tiga rumah di sebelah. Dia mengontrak di sana.
“Begini, Bapak... Bapak adakah uang sepuluh juta di tangan?” katanya dengan logat Ambon yang kental.
“Maksudmu?”
“Begini, Bapak, beta mau jual samua barang di rumah beta, Bapak. Beta jual sepuluh juta, Bapak. Termasuk motor baru ini, Bapak. TV, kulkas, AC, kontrakan rumah, samua Bapak ambil boleh kah?”
“Wah... Ray, jujur uangku hanya enam juta. Ini pun buat bayar hutang besok,” saya menjawab apa adanya.
Dia terdiam. Kemudian berkata, “Beta dapat kerja kapal, Bapak. Malam ini kapal so angkat jangkar, jam sambilan kita so balayar, Bapak. Beta dikontrak tiga tahun, Bapak. Gaji bagus 2500 dollar sabulan, Bapak. Beta harus cepat-cepat balik pelabuhan, Bapak.”
Lalu dia terlihat berfikir sebentar dan kemudian berkata, “Baiklah, Bapak... beta kasih Bapak samua. Bisa kasih enam juta sekarang kah?”
“Ada,” saya menjawab. Saya masuk ke dalam, satu menit keluar saya berikan uang enam juta. Dia senang sekali, giginya yang putih berkilat tak pernah hilang dari bibirnya. Ray menandatangani tanda terima dan tiga lembar kwitansi kosong untuk motor dan kunci kontrakan. Bawa koper berangkat pakai ojek. Saya terdiam. Memegang dua kunci. Satu kunci rumah kontrakan, satu kunci motor beserta surat-surat.
Saya ke kontrakannya yang lebih luas sedikit dibanding rumah kontrakan saya. Cukup rapi untuk seorang bujangan. Barang-barangnya terawat. Keesokan harinya saya jual semuanya kecuali motor yang saya butuhkan mengganti Honda Tiger saya, juga ongkos sekolah ke Australia. Total saya memperoleh sisa uang 19 juta! Dan rumah kontrakan yang masih satu tahun lagi. Catatan : kontrakan saya tinggal tersisa dua bulan kala itu.
Inikah prosperity conscious itu?