Sepulangnya dari belajar.
Jujur, tiga bulan setelah kembali saya
belum memulai mempraktekkan. Belief system saya tertabrak-tabrak. Nasib kita yang menentukan? Sementara saya punya
keyakinan nasib ditentukan Tuhan. Sebuah tabrakan belief system. Saya belum
bisa terima. Kalau saya tidak terima, saya harus menerima kondisi sekarang.
Berhutang dan hidup susah. Memulai sesuatu akan terbawa putaran sama. Memulai yang
baru harus merubah belief system. Ini pengalaman saya. Mungkin hanya terjadi
pada saya.
Pelajaran me-cancel doa
Dalam sebuah sesi di millioanire
mindset ada pelajaran berfikir dan berdoa yang tidak boleh di-cancel. Contohnya, saya diperintahkan memohon,
waktu itu. Misalnya memohon, berikan satu milyar rupiah pada akhir bulan ini.
Saya manut, “Yaa Alloh saya minta satu milyar di rekening saya akhir bulan
ini”. Lidah saya berucap, hati kecil saya berkata lain, mungkinkah? Dari mana caranya? Dan perkataan di hati kecil itu di pelajaran yang saya
peroleh adalah me-cancel
doa. Hal itu membatalkan doa.
Dalam membuat permohonan tidak
boleh di-cancel.
Percaya utuh. Setiap keraguan harus dipanjatkan lagi permohonan. Ulang lagi.
Karena permohonannya di-cancel
sendiri.
Ribuan kali saya coba,
ribuan kali saya cancel. Belief system saya belum bisa terima. Masak sih? Kok
gitu doang? Emang bisa? Dari mana caranya?
Di tahun 2001 itu saya bekerja
untuk menutupi biaya hidup dan sebagian cicilan hutang. Posisi sebagai Direktur
Bisnis Advisor dari sebuah investment banking ternama PT. Refund (sekarang
bernama PT. Recapital) di Jakarta cukup besar kompensasi bulanannya. Namun
hanya kerja kontrak. Hanya dari 2000-2002, 24 bulan. Kontrak akan berakhir
sembilan bulan lagi dari masa saya ke Australia tersebut.
Suatu pagi. Saya meminta anak kedua
saya, Fathur yang berusia lima tahun, “Mas Fathur, tolong ayah diambilkan
sepatu. Yang hitam,” kata saya.
Fathur diam saja.
Saya ulangi sekali lagi, “Fathur... kamu dengar khan ayah suruh apa?”
Dia tetap diam dan berjalan
menjauh. Suara saya tinggikan, intonasi suara saya tekan. Dia diam menunduk.
Emosi saya terpancing, “Ini anak
kok gak nurut sih?!”
kata saya dalam hati. Saya berjalan ke arahnya. Gerakan marah terpancar di
wajah saya. Matanya menatap saya tepat di mata saya. Agak ketakutan
ekspresinya.
Saya kaget, “Kok dia takut?” saya berkata dalam hati. Langsung saya
berlutut menyejajarkan matanya dengan mata saya. Ini adalah metode dasar
psikologi mendidik anak di mana
mata sejajar menunjukkan
kesetaraan, kesederajatan. Kalau atas bawah, anak di bawah dan orang tua di
atas, bola mata anak yang pupil (hitam) di posisi atas ini sangat sugestif
membuat posisi orang tua otoritatif dan si anak inferior. Di kondisi saya dan
Fathur kondisi tersebut tidak boleh, saya lagi marah, Fathur lagi takut. Jadi langsung saya sejajarkan sehingga
dia nyaman karena merasa sederajat.
Saya ubah ekpresi saya, saya
datarkan suara saya. “Tolong ambilkan sepatu ayah, sayang?”
Kaki saya dipeluknya. Bahasa
tubuhnya saat itu yang saya rasakan adalah dia tidak mengizinkan saya berangkat
bekerja.
Kembali saya terhenyak. Tadinya mau
marah, namun signal yang diberikannya cukup kuat, “Jangan pergi! Ayah belum
memberikan banyak rekening emosi ke Fathur”. Itu yang saya dapat.
Rekening emosi saya kurang kepada
Fathur. Lama saya menatap wajahnya. Tiba-tiba saya putuskan... “Baik, ayah tidak
bekerja hari ini. Kamu mau apa, sayang?”
“Ajarin mas Fathur naik sepeda roda
dua, Ayah, terus main layangan? Boleh?” pintanya dengan lagak lucu memiringkan
kepala.
Saya mengangguk. Saya telepon
sekertaris saya si Yola, “Tolong bilang pada pimpinan, Pak Rosan, saya tidak masuk, off.”
Seharian saya ajari Fathur naik
sepeda roda dua, sorenya kami bermain layangan, tujuh jam sangat padat
berkualitas setidaknya menurut
saya. Malamnya dia memijat-mijat sebagain
tubuh saya. Nikmat sekali rasa dihati. Tiada tara rasanya. Ah... enak ya berkumpul dengan orang yang kita
cintai, mengerjakan hal yang kita cintai, mendapatkan uang tak terhingga.
Seperti KLIK terjadi di otak .
Saya mendadak seperti mendengar
saya berbicara pada diri saya sendiri, “Katanya ingin punya anak sholeh, kok
ngaji diajari orang lain, belajar sepeda dengan orang lain, belajar baca tulis
sama orang lain, bagaimana rekening emosi bisa tumbuh? Bukannya dulu pernah
mengatakan bahwa kalau bisa setiap sel dari anak yangtumbuh saya memiliki andil
terbesar, agar di kemudian hari tidak ada sesal? Sementara faktanya, setiap
hari sibuk. Pagi berangkat anak belum bangun, pulang anak sudah tidur. Ketemu
di kala weekend sudah kecapekan pengen istirahat. Anak tahu-tahu tumbuh
membesar dan membesar tanpa ada kontribusi apa-apa dari saya...”
Saya terhenyak.
Lalu saya putuskan seketika itu
juga tanpa pikir, cikar kanan... vaya
condios. Kita bakar kapal!! Ini istilah saya mengandaikan tindakan seorang
panglima perang Jabbal Tariq sewaktu menaklukan Gibraltar. Pasukannya kalah
jumlah dan nyali ciut mau mundur. Jabbal Tariq memerintahkan bakar kapal.
Sehingga pasukannya tidak ada pilihan kecuali maju berperang.
Besoknya saya membuat surat resign.
Tertuju pada partner owner perusahaan tersebut, Rosan Roslani. Saya mendadak
percaya 100 persen bahwa uang akan datang ke saya. Tanpa usaha banyak. Dan saya tidak
pernah cancel. Utuh saya percaya permohonan itu pada Tuhan. Entah mengapa. Tapi
saya percaya dan semangat sekali.
Hari berlalu tanpa ada yang
istimewa. Herannya orang modern seperti saya tidak banyak tanya-tanya. Enjoy
total. Benar seperti orang aneh. Nggak mikir blass.
Sore itu saya menyiram bunga. Di luar dari kebiasaan. Saya tidak pernah
siram bunga.
Tahu-tahu sebuah motor menghampiri. Pengemudinya
menggunakan helm berkaca gelap. Saya tidak tahu siapa dia.
“Sore, Bapak...” katanya sambil membuka helm.
Eh... Ray Sahanaya rupanya. Dia
orang Ambon tetangga saya yang tinggal berjarak tiga rumah di sebelah. Dia mengontrak di sana.
“Begini, Bapak... Bapak adakah uang
sepuluh juta di tangan?” katanya
dengan logat Ambon yang kental.
“Maksudmu?”
“Begini, Bapak, beta mau jual samua barang di rumah beta, Bapak. Beta jual sepuluh
juta,
Bapak. Termasuk motor
baru ini,
Bapak. TV, kulkas, AC,
kontrakan rumah, samua Bapak ambil boleh kah?”
“Wah... Ray, jujur uangku hanya
enam juta. Ini pun buat bayar hutang
besok,” saya menjawab apa adanya.
Dia terdiam. Kemudian berkata,
“Beta dapat kerja kapal, Bapak.
Malam ini kapal so angkat jangkar, jam sambilan kita so balayar, Bapak. Beta dikontrak tiga tahun, Bapak. Gaji bagus 2500 dollar sabulan, Bapak. Beta harus cepat-cepat balik pelabuhan, Bapak.”
Lalu dia terlihat berfikir sebentar
dan kemudian berkata, “Baiklah, Bapak... beta kasih Bapak samua. Bisa kasih enam juta
sekarang kah?”
“Ada,” saya menjawab. Saya masuk ke
dalam, satu menit keluar saya berikan uang enam juta. Dia senang sekali,
giginya yang putih berkilat tak pernah hilang dari bibirnya. Ray menandatangani
tanda terima dan tiga lembar kwitansi kosong untuk motor dan kunci kontrakan.
Bawa koper berangkat pakai ojek. Saya
terdiam. Memegang dua kunci. Satu kunci rumah kontrakan, satu kunci motor
beserta surat-surat.
Saya ke kontrakannya yang lebih
luas sedikit dibanding rumah kontrakan saya. Cukup rapi untuk seorang bujangan.
Barang-barangnya terawat. Keesokan harinya saya jual semuanya kecuali motor
yang saya butuhkan mengganti Honda Tiger saya, juga ongkos sekolah ke
Australia. Total saya memperoleh sisa uang 19 juta! Dan rumah kontrakan yang
masih satu tahun lagi. Catatan : kontrakan saya tinggal tersisa dua bulan kala
itu.
Inikah prosperity conscious itu?