Semenjak
tahun 1995 saya mendirikan sebuah lembaga penyantun yatim dan anak terlantar di daerah Jatibening, Bekasi. Ini adalah cikal bakal
Rumah Yatim Indonesia. Dahulu tempat itu adalah toko swalayan yang saya bangun
untuk memenuhi animo kebutuhan barang sehari-hari untuk daerah sekitarnya. Namun
sepulang berhaji saya ubah niat dan mewakafkan tanah tersebut buat panti yatim.
Di
tahun 1995 ke bawah memang kompetitor toko swalayan belum ada, dan sesuai
dengan perkiraan saya pemain toko serba ada swalayan berkembang. Bukan karena
takut bersaing saya memindahkan corporate
action dari pasar swalayan ke yayasan yang terkesan idealis menyantuni anak
terlantar. Saya melihat jika sebuah yayasan yang non profit tidak berorientasi
keuntungan sekalipun, jika dikelola dengan profesional akan menguntungkan???
Perlu
diingat keuntungan itu tidak melulu berbentuk uang, namun ada yang juga tidak kalah
penting adalah kekayaan network atau kenalan atau saudara baru atau koneksi. Dan saya percaya di daerah tersebut
untuk waktu lama kami sebagai penyantun anak terlantar tidak akan mempunyai
kompetitor. Dan dengan membangun panti akan menimbulkan rasa nyaman dan
kepercayaan terhadap Mirah Swalayan lainnya.
Sebuah
strategi dari para pengelola yayasan yang dipimpin oleh seorang reformis muda
bernama Muhammad Ali
yang tidak pernah mau memakai sorban, yang menggunakan pendekatan egaliter
kesetaraan dengan mitra dan anak asuh adalah membuat warung soto di depan
yayasan. Di mana
pada suatu hari Pak
Ali
baru datang setelah mudik pulang ke kampung halamannya di Lamongan, ia
mendatangi kantor saya dengan ceria. “Mas, aku baru pulang kampung! Wah, aku
makan soto Lamongan dari saudara sepupuku di Pasar Lamongan, rasanya luar
biasa, lalu aku nawari dia untuk buka cabang di Jatibening yang aku garansi
pasti laku.”
“Lalu
Cak
Nur (sepupu Pak
Ali) mengizinkan anaknya dua orang yang sudah mengikuti dan
mengerti cara membuat soto untuk berangkat. Sekarang saya sedang merapikan
ruang depan yayasan yang sekarang jadi tempat pengetikan komputer,” lanjutnya bercerita. “Saya kasih
AC dan aku rombak seperti warung asli dan aku taruh gerobaknya di depan warung
biar kecium aroma soto Lamongan dari orang yang lewat dan pangkalan ojek di
depan yayasan,” Pak Ali merinci rencananya.
“Modal
dari mana,
Pak
Ali?”
saya bertanya.
“Gak
banyak, AC aku nyicil dari temannya
Mas
Wowiek si Amrin tukang kredit barang elektronik kira-kira 70.000
rupiah seminggu. Dan
ongkos rombakan cuma cat aja yang harganya mahal. Kalo untuk tukang, anak-anak yayasan
sudah mahir-mahir!”
jawabnya.
Seminggu
kemudian dua anak muda tampangnya lugu datang ke yayasan dan mendemokan
masakannya. Benar
kata Pak Ali, rasanya memang gurih dan wanginya khas. Setelah mencari sumber-sumber bahan baku ayam, beras dan lain
sebagainya,
dan Pak Ali sudah mantap,
warung soto
dibuka di LA Café-Lamongan Asli Café. Harga Rp 3.000 satu mangkok
nasi dan soto. Saya sempat kaget dengan harganya. Mana untung dagang dengan harga
segitu di Jabotabek?
“Ini
strategi promo,
nanti akan dinaikkan apa bagaimana?” saya bertanya.
“Ya
memang segitu,”
kata Pak
Ali mantap.
Ternyata
dalam waktu dua jam
buka soto habis, demikian esoknya hingga sekarang telah hampir satu tahun. Saya
penasaran lalu bertanya, untuk jual segitu apa bisa untung. Saya bertanya perlu kepastian. Yang
di jawab oleh
Pak
Ali,
“Kalau secara materi impas-impas saja,
ada untung sedikit, penjualan sehari bisa sampai Rp 400.000- an. Tapi tahu nggak, Mas? Infaq dan sedekah harian dan
bulanan ke yayasan sekarang naik dua
sampai tiga
kali lipat. Donatur puas melihat anak-anak melayani dan terharu, banyak anak-anak kita
sekarang mendapat orang tua asuh secara pribadi dan mereka ikut memonitor
langsung perkembangan anak asuhnya.
Oo… itu yang dimaksud dengan nilai
tambah ‘value added’
toh?!
BU ELA
Saya menemui Ibu Ela di
rumahnya, depan Masjid Jami
Al Hidayah di Darmaga Lonceng, Bogor. Menemuinya tidak butuh waktu lama, karena
hampir semua orang di dekat masjid
itu kenal Ibu Ela. Rumahnya ada di dalam gang, sedikit di bibir sungai. Saya mengucap salam dan dijawab oleh
tetangganya.
“Mas, cari Bu Ela ya?”
“Iya… orangnya ada, Bu?” tanya saya.
“Oh... dia lagi di sungai,” kata ibu tadi.
“Ngapain, Bu?” saya bertanya lagi. Mungkin sedang
mencuci pakaian, pikir saya.
“Memang kerjaannya
tiap hari ke sungai, mungutin sampah-sampah plastik dari botol kemasan sabun atau
shampoo. Bentar
lagi juga pulang,”
jawab
ibu
tadi panjang lebar.
Informasi
yang saya terima ternyata benar adanya. Ibu Ela adalah wanita yang pekerjaannya
memang mengumpulkan sampah plastik
dari kemasan. Cuma saya tidak terbayang, bahwa untuk memperolehnya, dia harus
memungut di sungai.
Tak
beberapa lama, datang wanita paruh baya, kurus, rambutnya diikat ke belakang,
banyak warna putihnya. Ibu Ela. Mengenakan baju bergambar salah satu calon
presiden dan wakil presiden pada pemilihan presiden tahun 2004 lalu.
Saya
langsung menyapa. “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum
salam. Ada apa ya,
Pak?” tanya Ibu Ela.
“Saya
dari tabloid An Nuur, mendapat cerita dari seseorang untuk menemui Ibu. Kami mau wawancara sebentar,
boleh, Bu?”
saya menjelaskan dan menggunakan
Tabloid An Nuur sebagai penyamaran.
“Oh... boleh, silahkan masuk.”
Ibu
Ela masuk lewat pintu belakang. Saya menunggu di depan. Tak beberapa lama,
lampu listrik di ruang tengahnya menyala,
dan pintu depan pun dibuka.
“Silahkan
masuk…”
Saya
masuk ke dalam ‘ruang tamu’ yang diisi oleh dua kursi kayu yang sudah reot.
Tempat dudukannya busa yang sudah bolong di bagian pinggir. Rupanya Ibu Ela
hanya menyalakan lampu listrik jika ada tamu saja. Kalau rumahnya ditinggalkan,
listrik biasa dimatikan. Berhemat,
katanya.
“Sebentar
ya, Pak, saya ambil air minum dulu,”
kata Ibu Ela.
Yang
dimaksud Ibu Ela dengan ambil air minum adalah menyalakan tungku dengan kayu
bakar dan di atasnya ada sebuah panci
yang diisi air. Ibu Ela harus memasak air dulu untuk menyediakan air minum bagi
tamunya.
“Iya, Bu... nggak usah repot-repot,” kata saya nggak enak.
Kami
pun mulai ngobrol, atau ‘wawancara’.
Ibu
Ela ini usianya 54 tahun, pekerjaan utamanya mengumpulkan plastik dan menjualnya seharga Rp 7.000
per kilo. Ketika saya tanya aktivitasnya selain mencari plastik, “Mengaji,”
katanya.
“Hari
apa aja, Bu?” tanya saya.
“Hari
Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu.” jawabnya. Hari Jum’at dan Minggu adalah
hari untuk menemani ibu yang dirawat di rumahnya.
Oh…
jadi mengaji rupanya yang jadi aktivitas paling banyak. Ternyata dalam
pengajian itu biasanya ibu-ibu pengajian yang pasti mendapat minuman kemasan,
secara sukarela dan otomatis akan mengumpulkan gelas kemasan air mineral dalam
plastik dan menjadi oleh-oleh untuk Ibu Ela. Hmm, sambil menyelam minum air
rupanya. Sambil mengaji dapat plastik.
Saya
tanya lagi,“Paling jauh pengajiannya di
mana, Bu?”
“Di
dekat terminal Bubulak, ada majelis taklim tiap Sabtu. Saya selalu hadir;
ustadznya bagus sih…” kata Ibu Ela.
“Ke sana naik mobil dong?” tanya saya.
“Saya
jalan kaki,”
kata Ibu Ela
“Kok
jalan kaki?”
tanya saya penasaran.
Penghasilan
Ibu Ela sekitar Rp 7.000 sehari. Saya mau tahu alokasi uang itu untuk kehidupan
sehari-harinya. Bingung juga bagaimana bisa hidup dengan uang Rp 7.000 sehari.
“Iya… Mas, saya
jalan kaki dari sini.
Ada jalan pintas, walaupun harus lewat sawah dan jalan kecil. Kalau saya jalan
kaki, khan saya punya sisa uang Rp 2.000 yang harusnya buat ongkos, nah itu
saya sisihkan untuk sedekah ke ustadz…” Ibu Ela menjelaskan.
“Maksudnya,
uang Rp 2.000 itu Ibu kasih ke Pak
Ustadz?” saya
melongo. “Khan Ibu nggak punya uang,” gumam saya dalam hati.
“Iya,
yang Rp 2.000 saya kasih ke Pak Ustadz… buat sedekah,” kata Ibu Ela, datar.
“Kenapa
Bu, kok dikasihin?” saya masih bengong.
“Soalnya,
kalau saya sedekahkan, uang Rp 2.000 itu udah pasti milik saya di akherat,
dicatet sama Allah. Kalau uang sisa yang saya miliki bisa aja rezeki orang
lain, mungkin rezeki tukang beras, tukang gula, tukang minyak tanah….” Ibu Ela
menjelaskan. Kedengarannya
jadi seperti pakar pengelolaan keuangan keluarga yang hebat.
Dzig!
Saya seperti ditonjok Cris John. Telak!
Ada
rambut yang serempak berdiri di tengkuk dan tangan saya. Saya merinding! Ibu Ela tidak tahu kalau dia
berhadapan dengan saya, seorang sarjana ekonomi yang seumur-umur belum
pernah menemukan teori pengelolaan keuangan seperti itu. Jadi, Ibu Ela menyisihkan uangnya,
Rp 2.000 dari Rp 7.000 sehari untuk disedekahkan kepada sebuah majelis karena berpikiran bahwa itulah yang akan menjadi haknya di akherat kelak!
‘Wawancara’
yang sebenarnya jadi-jadian itu pun segera berakhir. Saya pamit
dan menyampaikan bahwa kalau sudah dimuat saya akan menemui Ibu Ela kembali,
mungkin minggu depan.
Saya
sebenarnya on mission, mencari orang-orang seperti Ibu Ela yang cerita hidupnya
bisa membuat ‘merinding’. Saya sudah menemukan kekuatan di balik kesederhanaan. Keteguhan yang
menghasilkan kesabaran. Ibu Ela terpilih untuk mendapatkan sesuatu yang
istimewa dan tak terduga.
Minggu
depannya, saya datang kembali ke Ibu Ela, kali ini bersama dengan kru televisi
dan seorang presenter kondang yang mengenakan tuxedo, topi tinggi, wajahnya
dihiasai janggut palsu, mengenakan kaca mata hitam dan selalu membawa tongkat.
Namanya Mr. EM (Easy Money).
Kru
yang bersama saya adalah kru Uang Kaget, program di RCTI yang telah memilih Ibu
Ela sebagai ‘bintang’ di salah satu episode yang menurut saya salah satu yang
terbaik. Saya mengetahuinya, karena di
balik
kacamata hitamnya, Mr. EM seringkali tidak kuasa menahan air mata yang membuat
matanya berkaca-kaca.
Tidak terlihat di televisi, tapi saya merasakannya.
Ibu
Ela mendapatkan ganti Rp 2.000 yang disedekahkannya dengan Rp 10 juta dari uang
kaget. Entah berapa yang Allah ganti di akherat kelak. Ibu Ela membeli beras,
kulkas, makanan, dan
lain-lain untuk melengkapi rumahnya. Entah apa yang dibelikan
Allah untuk rumah indahnya di akherat kelak, semoga,
insyaa Alloh...
Sudahkah
kita menyisihkan ongkos ke akherat?