Rabu, 28 Oktober 2015

VALUE ADDED




Semenjak tahun 1995 saya mendirikan sebuah lembaga penyantun yatim dan anak terlantar di daerah Jatibening, Bekasi. Ini adalah cikal bakal Rumah Yatim Indonesia. Dahulu tempat itu adalah toko swalayan yang saya bangun untuk memenuhi animo kebutuhan barang sehari-hari untuk daerah sekitarnya. Namun sepulang berhaji saya ubah niat dan mewakafkan tanah tersebut buat panti yatim.
Di tahun 1995 ke bawah memang kompetitor toko swalayan belum ada, dan sesuai dengan perkiraan saya pemain toko serba ada swalayan berkembang. Bukan karena takut bersaing saya memindahkan corporate action dari pasar swalayan ke yayasan yang terkesan idealis menyantuni anak terlantar. Saya melihat jika sebuah yayasan yang non profit tidak berorientasi keuntungan sekalipun, jika dikelola dengan profesional akan menguntungkan???
Perlu diingat keuntungan itu tidak melulu berbentuk uang, namun ada yang juga tidak kalah penting adalah kekayaan network atau kenalan atau saudara baru atau koneksi. Dan saya percaya di daerah tersebut untuk waktu lama kami sebagai penyantun anak terlantar tidak akan mempunyai kompetitor. Dan dengan membangun panti akan menimbulkan rasa nyaman dan kepercayaan terhadap Mirah Swalayan lainnya.
Sebuah strategi dari para pengelola yayasan yang dipimpin oleh seorang reformis muda bernama Muhammad Ali yang tidak pernah mau memakai sorban, yang menggunakan pendekatan egaliter kesetaraan dengan mitra dan anak asuh adalah membuat warung soto di depan yayasan. Di mana pada suatu hari Pak Ali baru datang setelah mudik pulang ke kampung halamannya di Lamongan, ia mendatangi kantor saya dengan ceria. “Mas, aku baru pulang kampung! Wah, aku makan soto Lamongan dari saudara sepupuku di Pasar Lamongan, rasanya luar biasa, lalu aku nawari dia untuk buka cabang di Jatibening yang aku garansi pasti laku.”
“Lalu Cak Nur (sepupu Pak Ali) mengizinkan anaknya dua orang yang sudah mengikuti dan mengerti cara membuat soto untuk berangkat. Sekarang saya sedang merapikan ruang depan yayasan yang sekarang jadi tempat pengetikan komputer,” lanjutnya bercerita. “Saya kasih AC dan aku rombak seperti warung asli dan aku taruh gerobaknya di depan warung biar kecium aroma soto Lamongan dari orang yang lewat dan pangkalan ojek di depan yayasan,” Pak Ali merinci rencananya.
“Modal dari mana, Pak Ali?” saya bertanya.
“Gak banyak, AC aku nyicil dari temannya Mas Wowiek si Amrin tukang kredit barang elektronik kira-kira 70.000 rupiah seminggu. Dan ongkos rombakan cuma cat aja yang harganya mahal. Kalo untuk tukang, anak-anak yayasan sudah mahir-mahir!” jawabnya.
Seminggu kemudian dua anak muda tampangnya lugu datang ke yayasan dan mendemokan masakannya. Benar kata Pak Ali, rasanya memang gurih dan wanginya khas. Setelah mencari sumber-sumber bahan baku ayam, beras dan lain sebagainya, dan Pak Ali sudah mantap, warung soto dibuka di LA Café-Lamongan Asli Café. Harga Rp 3.000 satu mangkok nasi dan soto. Saya sempat kaget dengan harganya. Mana untung dagang dengan harga segitu di Jabotabek?
“Ini strategi promo, nanti akan dinaikkan apa bagaimana?” saya bertanya.
“Ya memang segitu,” kata Pak Ali mantap.
Ternyata dalam waktu dua jam buka soto habis, demikian esoknya hingga sekarang telah hampir satu tahun. Saya penasaran lalu bertanya, untuk jual segitu apa bisa untung. Saya bertanya perlu kepastian. Yang di jawab oleh Pak Ali, “Kalau secara materi impas-impas saja, ada untung sedikit, penjualan sehari bisa sampai Rp 400.000- an. Tapi tahu nggak, Mas? Infaq dan sedekah harian dan bulanan ke yayasan sekarang naik dua sampai tiga kali lipat. Donatur puas melihat anak-anak melayani dan terharu, banyak anak-anak kita sekarang mendapat orang tua asuh secara pribadi dan mereka ikut memonitor langsung perkembangan anak asuhnya.
Oo… itu yang dimaksud dengan nilai tambah ‘value added toh?!

BU ELA
Saya menemui Ibu Ela di rumahnya, depan Masjid Jami Al Hidayah di Darmaga Lonceng, Bogor. Menemuinya tidak butuh waktu lama, karena hampir semua orang di dekat masjid itu kenal Ibu Ela. Rumahnya ada di dalam gang, sedikit di bibir sungai. Saya mengucap salam dan dijawab oleh tetangganya.
“Mas, cari Bu Ela ya?”
“Iya… orangnya ada, Bu?” tanya saya.
“Oh... dia lagi di sungai,” kata ibu tadi.
“Ngapain, Bu?” saya bertanya lagi. Mungkin sedang mencuci pakaian, pikir saya.
“Memang kerjaannya tiap hari ke sungai, mungutin sampah-sampah plastik dari botol kemasan sabun atau shampoo. Bentar lagi juga pulang,jawab ibu tadi panjang lebar.
Informasi yang saya terima ternyata benar adanya. Ibu Ela adalah wanita yang pekerjaannya memang mengumpulkan sampah plastik dari kemasan. Cuma saya tidak terbayang, bahwa untuk memperolehnya, dia harus memungut di sungai.
Tak beberapa lama, datang wanita paruh baya, kurus, rambutnya diikat ke belakang, banyak warna putihnya. Ibu Ela. Mengenakan baju bergambar salah satu calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan presiden tahun 2004 lalu.
Saya langsung menyapa. “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam. Ada apa ya, Pak?” tanya Ibu Ela.
“Saya dari tabloid An Nuur, mendapat cerita dari seseorang untuk menemui Ibu. Kami mau wawancara sebentar, boleh, Bu?” saya menjelaskan dan menggunakan Tabloid An Nuur sebagai penyamaran.
“Oh... boleh, silahkan masuk.”
Ibu Ela masuk lewat pintu belakang. Saya menunggu di depan. Tak beberapa lama, lampu listrik di ruang tengahnya menyala, dan pintu depan pun dibuka.
“Silahkan masuk…”
Saya masuk ke dalam ‘ruang tamu’ yang diisi oleh dua kursi kayu yang sudah reot. Tempat dudukannya busa yang sudah bolong di bagian pinggir. Rupanya Ibu Ela hanya menyalakan lampu listrik jika ada tamu saja. Kalau rumahnya ditinggalkan, listrik biasa dimatikan. Berhemat, katanya.
“Sebentar ya, Pak, saya ambil air minum dulu,” kata Ibu Ela.
Yang dimaksud Ibu Ela dengan ambil air minum adalah menyalakan tungku dengan kayu bakar dan di atasnya ada sebuah panci yang diisi air. Ibu Ela harus memasak air dulu untuk menyediakan air minum bagi tamunya.
“Iya, Bu... nggak usah repot-repot,kata saya nggak enak.
Kami pun mulai ngobrol, atau ‘wawancara’.
Ibu Ela ini usianya 54 tahun, pekerjaan utamanya mengumpulkan plastik dan menjualnya seharga Rp 7.000 per kilo. Ketika saya tanya aktivitasnya selain mencari plastik, “Mengaji,” katanya.
“Hari apa aja, Bu?” tanya saya.
“Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu.” jawabnya. Hari Jum’at dan Minggu adalah hari untuk menemani ibu yang dirawat di rumahnya.
Oh… jadi mengaji rupanya yang jadi aktivitas paling banyak. Ternyata dalam pengajian itu biasanya ibu-ibu pengajian yang pasti mendapat minuman kemasan, secara sukarela dan otomatis akan mengumpulkan gelas kemasan air mineral dalam plastik dan menjadi oleh-oleh untuk Ibu Ela. Hmm, sambil menyelam minum air rupanya. Sambil mengaji dapat plastik.
Saya tanya lagi,“Paling jauh pengajiannya di mana, Bu?”
“Di dekat terminal Bubulak, ada majelis taklim tiap Sabtu. Saya selalu hadir; ustadznya bagus sih…” kata Ibu Ela.
“Ke sana naik mobil dong?” tanya saya.
“Saya jalan kaki,” kata Ibu Ela
“Kok jalan kaki?” tanya saya penasaran.
Penghasilan Ibu Ela sekitar Rp 7.000 sehari. Saya mau tahu alokasi uang itu untuk kehidupan sehari-harinya. Bingung juga bagaimana bisa hidup dengan uang Rp 7.000 sehari.
“Iya… Mas, saya jalan kaki dari sini. Ada jalan pintas, walaupun harus lewat sawah dan jalan kecil. Kalau saya jalan kaki, khan saya punya sisa uang Rp 2.000 yang harusnya buat ongkos, nah itu saya sisihkan untuk sedekah ke ustadz…” Ibu Ela menjelaskan.
“Maksudnya, uang Rp 2.000 itu Ibu kasih ke Pak Ustadz?” saya melongo. “Khan Ibu nggak punya uang,” gumam saya dalam hati.
“Iya, yang Rp 2.000 saya kasih ke Pak Ustadz… buat sedekah,” kata Ibu Ela, datar.
“Kenapa Bu, kok dikasihin?” saya masih bengong.
“Soalnya, kalau saya sedekahkan, uang Rp 2.000 itu udah pasti milik saya di akherat, dicatet sama Allah. Kalau uang sisa yang saya miliki bisa aja rezeki orang lain, mungkin rezeki tukang beras, tukang gula, tukang minyak tanah….” Ibu Ela menjelaskan. Kedengarannya jadi seperti pakar pengelolaan keuangan keluarga yang hebat.
Dzig! Saya seperti ditonjok Cris John. Telak! Ada rambut yang serempak berdiri di tengkuk dan tangan saya. Saya merinding! Ibu Ela tidak tahu kalau dia berhadapan dengan saya, seorang sarjana ekonomi yang seumur-umur belum pernah menemukan teori pengelolaan keuangan seperti itu. Jadi, Ibu Ela menyisihkan uangnya, Rp 2.000 dari Rp 7.000 sehari untuk disedekahkan kepada sebuah majelis karena berpikiran bahwa itulah yang akan menjadi haknya di akherat kelak!
‘Wawancara’ yang sebenarnya jadi-jadian itu pun segera berakhir. Saya pamit dan menyampaikan bahwa kalau sudah dimuat saya akan menemui Ibu Ela kembali, mungkin minggu depan.
Saya sebenarnya on mission, mencari orang-orang seperti Ibu Ela yang cerita hidupnya bisa membuat ‘merinding’. Saya sudah menemukan kekuatan di balik kesederhanaan. Keteguhan yang menghasilkan kesabaran. Ibu Ela terpilih untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa dan tak terduga.
Minggu depannya, saya datang kembali ke Ibu Ela, kali ini bersama dengan kru televisi dan seorang presenter kondang yang mengenakan tuxedo, topi tinggi, wajahnya dihiasai janggut palsu, mengenakan kaca mata hitam dan selalu membawa tongkat. Namanya Mr. EM (Easy Money). Kru yang bersama saya adalah kru Uang Kaget, program di RCTI yang telah memilih Ibu Ela sebagai ‘bintang’ di salah satu episode yang menurut saya salah satu yang terbaik. Saya mengetahuinya, karena di balik kacamata hitamnya, Mr. EM seringkali tidak kuasa menahan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca. Tidak terlihat di televisi, tapi saya merasakannya.
Ibu Ela mendapatkan ganti Rp 2.000 yang disedekahkannya dengan Rp 10 juta dari uang kaget. Entah berapa yang Allah ganti di akherat kelak. Ibu Ela membeli beras, kulkas, makanan, dan lain-lain untuk melengkapi rumahnya. Entah apa yang dibelikan Allah untuk rumah indahnya di akherat kelak, semoga, insyaa Alloh...
Sudahkah kita menyisihkan ongkos ke akherat?