Rabu, 28 Oktober 2015

KERAMPOKAN DALAM TIGA BULAN




Pertolongan Tuhan pelan sekali datangnya namun percayalah Dia tidak pernah terlambat.
Bahkan kalau tidak sabar-sabar, saya sampai di ujung harapan seakan pertolongan itu seakan tidak akan pernah datang. Namun bagi saya yang penting bukan bagaimana atau kenapa, saya hanya berpegang satu, saya percaya dan percaya sekali bahwa pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat.
Dalam mengarungi perjalanan hidup, beberapa kali saya harus melewati masalah pelik dan dalam. Pernah mungkin saya ceritakan dalam tulisan sebelum ini, seperti dalam kurun waktu dua tahun saya bisa mengalami hal buruk beruntun “shit happened “ dalam kehidupan, maaf ... apa yang saya sentuh seakan semua jadi “tahi”. Money changer saya dalam tiga bulan dua kali kerampokan ; satu ditipu satu dirampok! Hal ini kejadian di tahun 1999-2001.
Yang membuat kesal cara mereka merampok, karena saya tahu sekali dan sudah saya ajarkan kepada anak-anak bagaimana mengatasinya dan sudah pernah saya simulasikan. Namun namanya juga manusia, banyak yang memilih belajar dari kehidupan dengan cara yang keras, hard knock. Untuk hal ini saya juga heran mengapa pilihan menjalani hidup harus kejeduk, kejedot dulu baru belajar. Dan hal ini juga terjadi pada diri saya. Sering saya geleng-geleng heran kepada diri saya sendiri.
Sahabat semua tahu pasti bahwa masa-masa tujuh hari sebelum hari raya Idul fitri adalah hari paling sibuk bagi bangsa Indonesia di seluruh penjuru nusantara. Karena 80 persen penduduk yang beragama Islam bergerak serentak mulai di lapisan strata ekonomi terbawah seperti para pembantu rumah tangga, para tenaga kerja buruh kasar, bangunan, penjaga toko, para ibu rumah tangga menyiapkan kehadiran kerabat, menggerakkan transportasi ke seluruh daerah asal hingga lapisan atas memberikan THR dan masih ribuan matrik kegiatan keseharian bergerak lebih cepat dari biasanya. Berlatar belakang apa pun kita, semua bergerak dua-tiga kali lebih cepat.
Di tahun 2000 itu, tiga hari sebelum lebaran ada permintaan pembelian dollar. Angkanya sangat besar 200.000 dollar. Di tengah hectic tinggi kegiatan bisnis saya mengharuskan diri saya berada di tengah kesibukan para dealer bertransaksi, sebagai fungsi double control. Saya tidak mengijinkan transaksi valas besar untuk di-deliver/ diantar kecuali pada pelanggan lama. Yang lainnya harus datang ke kantor di Jalan Wijaya atau TT transfer interbank.
Sampailah ada satu permintaan transaksi pembelian dollar yang minta diantar di bank di Pondok Indah yaitu HSBC. Mereka akan mentransfer rupiah ke rekening kami dan mereka meminta tunai dollar-nya di bank setelah uang masuk ke rekening kami. Sangat sederhana karena memang transaksi keseharian banyak model ini. Mendengar bahwa tansaksinya di bank saya berhenti sebentar. Insting saya tersentuh radar alarm tanda bahaya sehingga saya minta transaksi ini dibatalkan. Hal ini hanya keputusan intuisi, namun saya sangat taat akan hal ini. Jangan dijalankan, suruh mereka cari yang lain. Chief Dealer saya, Pak Undi, bertanya, “Mengapa dibatalkan, Pak? Ini transaksi besar dan harga bagus. Lumayan khan buat bonus THR anak-anak besok?”
Hal yang rasional semacam inilah tersering mengganggu intuisi. Dan itu pun terjadi pada saya, namun saya tetap bilang cari transaksi lain.  Selang satu jam sang pembeli meminta kami datang dengan harga jauh lebih bagus selisih kursnya. Sehingga Pak Undi bertanya, “Bagaimana, Pak, kita jual ke dia? Transaksi di tempat umum, aman lah. Pasti tidak ada hal negatif, seperi dirampok misalnya.”
Logika mulai main. Hitung-hitungan dalam otak menggelitik ego. Tapi saya mungkin orang yang keras kepala, tetap taat pada intuisi. Saya jawab tidak. Namun dealer-dealer tersebut memerlukan penjelasan tentunya. Biasa manusia modern, masuk di logika baru bisa faham. Sementara saya terkadang tidak memerlukan hal tersebut dimengerti, namun saya percaya. Itu lebih penting.
Saya menjelaskan berkali kali, saya ini mengerti apa arti criminal bukan karena latar belakang pendidikan namun saya adalah pelaku dan dekat dengan pelaku mulai dari yang kecil hingga jaringan internasional. (catatan : saya tentunya saat itu tidak menceritakan grand theft oto sebagai salah satu referensi pengalaman hidup saya di masa lalu membuat platform mengerti pola pikir kriminal). Saya berkata kepada mereka bahwa saya mencium aroma tak sedap. Di tengah kesibukan orang bertransaksi di bank maka kita bisa out of focus. Pikiran kita mudah ke-distract , mudah terpecah dan terganggu. Gerakan manusia monoton di bank, mengantri, ditambah gerakan jalan ke sana kemari para officer bank di masa lebaran bisa membuat kita fascinated, terpukau. Banyaknya suara melebihi sepuluh sumber suara berbeda, orang berbicara, langkah kaki, bunyi pengumunan di loud speaker, suara telepon, membuat flooding informasi di telinga sehingga bisa membuat “hang” otak beberapa saat karena informasi “jam”, macet. Itu manusiawi. Jadi saya tidak mengijinkan transaksi ini terjadi karena bisa membuat kita ditipu dengan mudah. Namun landasan putusan saya hanya feeling saja.
Karena sejak jam sembilan pagi saya mengatur pergerakan transaksi, jam dua siang saya lelah dan istirahat makan siang keluar kantor. Selama dua jam ke depan mitra saya — Yudi — yang ambil alih controlling. Singkat cerita jam empat sore saya sedang di bagian administrasi memonitor transaksi terakhir karena pasar sudah kami tutup. Alasannya bank sudah tutup dan saya tidak menginginkan memegang tunai ada di vault brankas rupiah. Rupiah di bank, dollar di brankas, ukurannya lebih ringkas. Tak lama telepon berdering. Panggilan dari Yudi. Terdengar suara tergopoh-gopoh panik dan nafas tersengal-sengah, “Boss, kita baru saja kena tipu, duit kita 200.000 dollar amblas.”
Itu kalimat yang membuat saya seperti kesamber gledek. Lemas seluruh sendi tulang saya. Saya terduduk lemas. Yudi ternyata melakukan transaksi di HSBC dan persis seperti dugaan saya, modusnya persis seperti yang saya tahu dan yang saya katakan sebelumnya. Saya marah, kecewa, bingung, semua jadi satu. Tiga hari lagi lebaran. Banyak hal berkecamuk dalam pikiran. Semua membuat saya tidak bisa mikir. Uang itu uang investor, uang itu harus dikembalikan. Belum lagi masalah bagi hasil ke mitra, ke karyawan, ke diri sendiri. Semua bayangan di pikiran berjalan dengan cepat namun waktu seakan berhenti. Waktu lama sekali detik ke detik bergerak. Perasaan hampa.
Dua jam kemudian Yudi menghadap bersama Pak Undi. Yudi mengatakan sambil menghibur saya bahwa dia akan bertanggung jawab dan berusaha mencari jalankeluar. Namun saya kecewa berat dengan dia. Saya marah sekali dengan dia. Sudah saya kasih tahu, sudah saya larang namun semua tidak dilakukan. Namun sekarang nasi telah menjadi bubur. Bagi saya saat itu fokus ke bubur saja. Kasih cakwe, kasih ayam suir, kasih kecap sambel. Lupakan nasi. Namun perasaan sulit diubah. Kebencian dan kekecewaan seakan gelas pecah. Ditempel atau dilem kembali tetap masih ada bekas.
Hati saya bukan seperti hati para aulia atau para wali Alloh kekasih Alloh yang seperti air. Air di dalam ember, Anda ambil pedang, belah itu air, tak lama air menyatu kembali. Tak bergeming. Itu hati para sufi. Namun seorang Wowiek yang asshole dan idiot ini perasaannya pecah sudah, kecewa, marah dan memaki terhadap Yudi. Sekali lagi, hidup masih terus berjalan sebagaimana mestinya. Perasaan kita bisa hampa, namun burung tetap bernyanyi, matahari tetap terbit, bumi tetap berputar, perut perlu makan, rekening bulanan harus tetap dibayar, anak harus tetap sekolah. Rasa hormat saya kepada Yudi hilang sudah dan bisnis menjadi 100 persen saya pegang penuh.
Tiga bulan berlalu. Ada sebuah telepon dari seorang mau beli dolar 50.000. Minta dikirim di kantornya di daerah Cakung. Kembali alarm insting saya kesenggol nyala. Kok Cakung? Namun ego lain bersuara, kita perlu setiap peluang menciptakan duit. Logika dan insting bertabrakan dengan order ini. Saya menugaskan kurir kepercayaan saya. Seorang yang sudah ikut saya lima tahun dan dia seorang kakak asuh di panti yatim RYI (Rumah Yatim Indonesia). Selain lincah dia jujur dan dipercaya. Walaupun polos namun kejujuran adalah utama. Saya memberi pesan, “Kalau tempatnya mencurigakan tinggalkan segera. Kalau suasananya kayak sandiwara, kayak di-set up dan feeling nyala alarmnya gak nyaman, tinggalkan segera. Nggak jadi transaksi tidak apa-apa namun kalau hilang modal jauh lebih parah. Pakai intuisi kamu, pakai hati kamu.”
Tak lama kurir berangkat, namun hati saya merasa perlu jagaan lagi, lalu saya minta berdua berangkat alias dua kurir jalan, boncengan. Satu jaga di luar, jaga di motor. Entah kenapa saat itu saya sangat sensitif. Selang dua jam setelah berangkat, Hilda — head of accounting — meneriakkan nama saya, “Pak, Pak Wowiek, ini telepon penting!”
Saya segera mendekat tanpa prasangka apa pun. “Assalamualaikum, Pak, saya baru kerampokan, Pak. Saya ketipu, Pak. Saya minta maaf, Pak... saya lengah, Pak ...” suara parah menahan tangis di ujung telepon suara kurir yang lagi kebingungan. Asli saya diam, saya hanya menunduk. Saya mengepalkan tangan, saya kesal luar biasa, saya murka!
Suara di seberang telepon menjelaskan sesuatu saya tidak dengar. Fokus saya sudah bukan di suara laporan telepon lagi. Hingga saya tersadar, dan meminta mengulangi dan menceritakan sekilas apa yang terjadi. Kurir menjelaskan, “Kami datang ke lokasi ruko, Pak, di daerah Cakung. Ruko mereka paling ujung. Ada sepuluh ruko namun yang ada dipakai hanya dua. Kayaknya ruko nggak laku, Pak. Lalu si Jono nunggu di luar, saya masuk. Saya waktu masuk memperhatikan kok barang-barangnya kayak barang bekas dan plastik. Barangnya sedikit, lalu seorang ibu datang, ‘Ini dari PNU ya? (nama money changer kami Payung Negeri Utama) dollarnya bawa?’ Saya diam aja, lalu kayaknya dia menangkap sesuatu dari wajah saya dan dijawab dengan cerita, ‘Oh maaf ya kantor baru pindah kami bisnis freight forwarder di Priok aktifitas banyaknya. Mau minum apa... tak lama saya dikasih beberapa minuman dingin.”
Lalu dia bilang, Mana dollarnya?Ada, di tas.Kita hitung di kamar kerja di dalam ya? Di sini terlalu terbuka. Mana dolarnya, Pak? katanya lagi lalu dia ambil amplop dan dia suruh saya minum dulu terus setelah minum disuruh ke dalam karena dia akan hitung dolar dan saya akan hitung rupiahnya.
“Saya lalu minum, Pak. Semenit kemudian saya masuk. Ternyata dia tidak ada di dalam. Dan rupanya ada pintu keluar, Pak. Saya buka ternyata sudah di kunci dari luar. Lalu saya ke depan panggil Jono, kami berdua dobrak pintu tersebut. Mungkin selang berbeda lima menit dari dia masuk ke dalam, begitu kami keluar emang di belakang ada banyak jalan kecil dan tidak ada orang. Kami bingung karena tidak melihat siapa-siapa. Juga bingung mau ke kiri apa ke kanan. Semua sepi dan nggak ada petunjuk. Sekarang polisi sudah datang, Pak. Saya minta maaf, Pak,” dan kalimat seterusnya mengalir tanpa saya perhatikan lagi.
Dua kejadian kehilangan dalam tiga bulan. Membuat saya berhutang dan menutup usaha tersebut. Membuat saya kehilangan kendaraan dan rumah untuk menebusnya namun masih tetap memiliki hutang. Membuat saya frustasi, membuat saya mempertanyakan pertolongan Tuhan. Membuat saya meratap, membuat saya mencari jalan keluar tanpa arah yang jelas. ( cerita bersambung) # peace be upon us
diehard