Pertolongan Tuhan pelan sekali datangnya
namun percayalah Dia tidak pernah terlambat.
Bahkan kalau tidak sabar-sabar, saya
sampai di ujung harapan seakan pertolongan itu seakan tidak akan pernah datang.
Namun bagi saya yang penting bukan bagaimana atau kenapa, saya hanya berpegang
satu, saya percaya dan percaya sekali bahwa pertolongan Tuhan tidak pernah
terlambat.
Dalam mengarungi perjalanan hidup, beberapa kali saya
harus melewati masalah pelik dan dalam. Pernah mungkin saya ceritakan dalam
tulisan sebelum ini, seperti dalam kurun waktu dua tahun saya bisa mengalami
hal buruk beruntun “shit happened “ dalam kehidupan, maaf ... apa yang saya
sentuh seakan semua jadi “tahi”. Money changer saya dalam tiga bulan dua kali
kerampokan ; satu ditipu satu dirampok! Hal ini kejadian di tahun 1999-2001.
Yang membuat kesal cara mereka
merampok, karena saya tahu sekali dan sudah saya ajarkan kepada anak-anak
bagaimana mengatasinya dan sudah pernah saya simulasikan. Namun namanya juga
manusia, banyak yang memilih belajar dari kehidupan dengan cara yang keras,
hard knock. Untuk hal ini saya juga heran mengapa pilihan menjalani hidup harus
kejeduk, kejedot dulu baru belajar. Dan hal ini juga terjadi pada diri saya.
Sering saya geleng-geleng heran kepada diri saya sendiri.
Sahabat semua tahu pasti bahwa
masa-masa tujuh hari sebelum hari raya Idul fitri adalah hari paling sibuk bagi
bangsa Indonesia di seluruh penjuru nusantara. Karena 80 persen penduduk yang
beragama Islam bergerak serentak mulai di lapisan strata ekonomi terbawah
seperti para pembantu rumah tangga, para tenaga kerja buruh kasar, bangunan,
penjaga toko, para ibu rumah tangga menyiapkan kehadiran kerabat, menggerakkan
transportasi ke seluruh daerah asal hingga lapisan atas memberikan THR dan
masih ribuan matrik kegiatan keseharian bergerak lebih cepat dari biasanya.
Berlatar belakang apa pun
kita, semua bergerak dua-tiga kali lebih cepat.
Di tahun 2000 itu, tiga hari
sebelum lebaran ada permintaan pembelian dollar. Angkanya sangat besar 200.000
dollar. Di tengah hectic tinggi kegiatan bisnis saya mengharuskan diri saya
berada di tengah kesibukan para dealer bertransaksi, sebagai fungsi double
control. Saya tidak mengijinkan transaksi valas besar untuk di-deliver/ diantar
kecuali pada pelanggan lama. Yang lainnya harus datang ke kantor di Jalan
Wijaya atau TT transfer interbank.
Sampailah ada satu permintaan
transaksi pembelian dollar yang minta diantar di bank di Pondok Indah yaitu
HSBC. Mereka akan mentransfer rupiah ke rekening kami dan mereka meminta tunai
dollar-nya di bank setelah uang masuk ke rekening kami. Sangat sederhana karena
memang transaksi keseharian banyak model ini. Mendengar bahwa tansaksinya di bank saya berhenti sebentar. Insting saya
tersentuh radar alarm tanda bahaya sehingga saya minta transaksi ini
dibatalkan. Hal ini hanya keputusan intuisi, namun saya sangat taat akan hal
ini. Jangan dijalankan, suruh mereka cari yang lain. Chief Dealer saya, Pak
Undi, bertanya, “Mengapa dibatalkan, Pak? Ini transaksi besar dan harga bagus.
Lumayan khan buat bonus THR anak-anak besok?”
Hal yang rasional semacam inilah
tersering mengganggu intuisi. Dan itu pun terjadi pada saya, namun saya tetap
bilang cari transaksi lain. Selang satu jam sang pembeli meminta
kami datang dengan harga jauh lebih bagus selisih kursnya. Sehingga Pak Undi
bertanya, “Bagaimana, Pak, kita jual ke dia? Transaksi di tempat umum, aman
lah. Pasti tidak ada hal negatif, seperi dirampok misalnya.”
Logika mulai main. Hitung-hitungan dalam otak menggelitik ego. Tapi
saya mungkin orang yang keras kepala, tetap taat pada intuisi. Saya jawab
tidak. Namun dealer-dealer tersebut memerlukan penjelasan tentunya. Biasa
manusia modern,
masuk di logika baru
bisa faham.
Sementara saya terkadang
tidak memerlukan hal tersebut dimengerti, namun saya percaya. Itu lebih
penting.
Saya menjelaskan berkali kali, saya
ini mengerti apa arti criminal bukan karena latar belakang pendidikan namun
saya adalah pelaku dan dekat dengan pelaku mulai dari yang kecil hingga
jaringan internasional. (catatan : saya tentunya saat itu tidak menceritakan
grand theft oto sebagai salah satu referensi pengalaman hidup saya di masa lalu
membuat platform mengerti pola pikir kriminal). Saya berkata kepada mereka bahwa saya
mencium aroma tak sedap. Di tengah kesibukan orang bertransaksi di bank maka
kita bisa out of focus. Pikiran kita mudah ke-distract , mudah terpecah dan
terganggu. Gerakan manusia monoton di bank, mengantri, ditambah gerakan jalan
ke sana kemari para officer bank di masa lebaran bisa membuat kita fascinated,
terpukau. Banyaknya suara melebihi sepuluh sumber suara berbeda, orang
berbicara, langkah kaki, bunyi pengumunan di loud speaker, suara telepon,
membuat flooding informasi di telinga sehingga bisa membuat “hang” otak
beberapa saat karena informasi “jam”, macet. Itu manusiawi. Jadi saya tidak
mengijinkan transaksi ini terjadi karena bisa membuat kita ditipu dengan mudah.
Namun landasan putusan saya hanya feeling
saja.
Karena sejak jam sembilan pagi saya
mengatur pergerakan transaksi, jam dua siang saya lelah dan istirahat makan
siang keluar kantor. Selama dua jam ke depan mitra saya — Yudi — yang ambil
alih controlling. Singkat cerita jam empat sore saya sedang di bagian
administrasi memonitor transaksi terakhir karena pasar sudah kami tutup. Alasannya bank sudah tutup dan saya tidak
menginginkan memegang tunai ada di vault brankas rupiah. Rupiah di bank, dollar
di brankas, ukurannya lebih ringkas. Tak lama telepon berdering. Panggilan dari Yudi. Terdengar
suara tergopoh-gopoh panik dan nafas tersengal-sengah, “Boss, kita baru saja
kena tipu, duit kita 200.000 dollar amblas.”
Itu kalimat yang membuat saya
seperti kesamber gledek. Lemas seluruh sendi tulang saya. Saya terduduk lemas.
Yudi ternyata melakukan transaksi di HSBC dan persis seperti dugaan saya,
modusnya persis seperti yang saya tahu dan yang saya katakan sebelumnya. Saya marah, kecewa, bingung, semua jadi
satu. Tiga hari lagi lebaran. Banyak hal berkecamuk dalam pikiran. Semua
membuat saya tidak bisa mikir. Uang itu uang investor, uang itu harus
dikembalikan. Belum lagi masalah bagi hasil ke mitra, ke karyawan, ke diri
sendiri. Semua bayangan di pikiran berjalan dengan cepat namun waktu seakan
berhenti. Waktu lama sekali detik ke detik bergerak. Perasaan hampa.
Dua jam kemudian Yudi menghadap
bersama Pak Undi. Yudi mengatakan sambil menghibur saya bahwa dia akan
bertanggung jawab dan berusaha mencari jalankeluar. Namun saya kecewa berat dengan
dia. Saya marah sekali dengan dia. Sudah saya kasih tahu, sudah saya larang
namun semua tidak dilakukan. Namun sekarang nasi telah menjadi bubur. Bagi saya
saat itu fokus ke bubur saja. Kasih cakwe, kasih ayam suir, kasih kecap sambel.
Lupakan nasi. Namun perasaan sulit diubah. Kebencian dan kekecewaan seakan
gelas pecah. Ditempel atau dilem kembali tetap masih ada bekas.
Hati saya bukan seperti hati para
aulia atau para wali Alloh
kekasih Alloh
yang seperti air. Air di dalam ember, Anda ambil pedang, belah itu air, tak
lama air menyatu kembali. Tak bergeming. Itu hati para sufi. Namun seorang
Wowiek yang asshole dan idiot ini perasaannya pecah sudah, kecewa, marah dan
memaki terhadap Yudi. Sekali lagi, hidup masih terus berjalan sebagaimana
mestinya. Perasaan kita bisa hampa, namun burung tetap bernyanyi, matahari
tetap terbit, bumi tetap berputar, perut perlu makan, rekening bulanan harus
tetap dibayar, anak harus tetap sekolah. Rasa hormat saya kepada Yudi hilang
sudah dan bisnis menjadi 100 persen
saya pegang penuh.
Tiga bulan berlalu. Ada sebuah
telepon dari seorang mau beli dolar 50.000. Minta dikirim di kantornya di
daerah Cakung. Kembali alarm insting saya kesenggol nyala. Kok Cakung? Namun
ego lain bersuara, kita perlu setiap peluang menciptakan duit. Logika dan
insting bertabrakan dengan order ini. Saya menugaskan kurir kepercayaan saya.
Seorang yang sudah ikut saya lima tahun dan dia seorang kakak asuh di panti
yatim RYI (Rumah Yatim Indonesia). Selain lincah dia jujur dan dipercaya.
Walaupun polos namun kejujuran adalah utama. Saya memberi pesan, “Kalau tempatnya mencurigakan tinggalkan
segera. Kalau suasananya kayak sandiwara, kayak di-set up dan feeling nyala
alarmnya gak nyaman, tinggalkan segera. Nggak jadi transaksi tidak apa-apa
namun kalau hilang modal jauh lebih parah. Pakai intuisi kamu, pakai hati kamu.”
Tak lama kurir berangkat, namun
hati saya merasa perlu jagaan lagi, lalu saya minta berdua berangkat alias dua
kurir jalan, boncengan. Satu jaga di luar, jaga di motor. Entah kenapa saat itu
saya sangat sensitif. Selang
dua jam setelah berangkat, Hilda — head of accounting — meneriakkan nama saya,
“Pak, Pak Wowiek, ini telepon penting!”
Saya segera mendekat tanpa
prasangka apa pun. “Assalamualaikum,
Pak, saya baru kerampokan, Pak. Saya ketipu, Pak. Saya minta maaf, Pak... saya
lengah, Pak ...” suara parah menahan tangis di ujung telepon suara kurir yang
lagi kebingungan. Asli
saya diam, saya hanya menunduk. Saya mengepalkan tangan, saya kesal luar biasa,
saya murka!
Suara di seberang telepon
menjelaskan sesuatu saya tidak dengar. Fokus saya sudah bukan di suara laporan
telepon lagi. Hingga saya tersadar, dan meminta mengulangi dan menceritakan
sekilas apa yang terjadi. Kurir menjelaskan, “Kami datang ke lokasi ruko, Pak,
di daerah Cakung. Ruko mereka paling ujung. Ada sepuluh ruko namun yang ada
dipakai hanya dua. Kayaknya ruko nggak laku, Pak. Lalu si Jono nunggu di luar,
saya masuk. Saya waktu masuk memperhatikan kok barang-barangnya kayak barang
bekas dan plastik. Barangnya sedikit, lalu seorang ibu datang, ‘Ini dari PNU ya? (nama money changer kami Payung Negeri
Utama) dollarnya bawa?’ Saya diam aja, lalu kayaknya dia menangkap sesuatu dari
wajah saya dan dijawab dengan cerita, ‘Oh maaf ya kantor baru pindah kami
bisnis freight forwarder di Priok aktifitas banyaknya. Mau minum apa...’ tak lama saya dikasih beberapa minuman
dingin.”
“Lalu dia bilang, ‘Mana dollarnya?’ Ada, di tas. ‘Kita hitung di kamar kerja di dalam ya?
Di sini terlalu terbuka. Mana dolarnya, Pak?’ katanya lagi lalu dia ambil amplop dan
dia suruh saya minum dulu terus setelah minum disuruh ke dalam karena dia akan
hitung dolar dan saya akan hitung rupiahnya.”
“Saya lalu minum, Pak. Semenit
kemudian saya masuk. Ternyata dia tidak ada di dalam. Dan rupanya ada pintu
keluar, Pak. Saya buka ternyata sudah di kunci dari luar. Lalu saya ke depan
panggil Jono, kami berdua dobrak pintu tersebut. Mungkin selang berbeda lima
menit dari dia masuk ke dalam, begitu kami keluar emang di belakang ada banyak
jalan kecil dan tidak ada orang. Kami bingung karena tidak melihat siapa-siapa.
Juga bingung mau ke kiri apa ke kanan. Semua sepi dan nggak ada petunjuk.
Sekarang polisi sudah datang, Pak. Saya minta maaf, Pak,” dan kalimat
seterusnya mengalir tanpa saya perhatikan lagi.
Dua kejadian kehilangan dalam tiga
bulan. Membuat saya berhutang dan menutup usaha tersebut. Membuat saya
kehilangan kendaraan dan rumah untuk menebusnya namun masih tetap memiliki
hutang. Membuat saya frustasi, membuat saya mempertanyakan pertolongan Tuhan.
Membuat saya meratap, membuat saya mencari jalan keluar tanpa arah yang jelas.
( cerita bersambung) # peace be upon us
diehard